MOJOK.CO – Dear, generasi milenial yang telah ditutup mata batinnya untuk ogah membangun Pemerintahan Jokowi ini dengan kritik.
Jika kalian adalah generasi milenial, pernah nonton film Exodus Gods and Kings?
Itu lho, film yang bercerita Ramses dan Moses yang bersaudara, kemudian berakhir jadi musuh, karena ramalan dukun kerajaan yang mengatakan, “Ramses akan diselamatkan oleh seseorang dalam perang dan nantinya si penyelamat itu akan jadi pemimpin”.
Lalu Ramses mendatangi Moses, “Jika perang nanti aku terbunuh, jangan selamatkan aku.” Sial, saat Ramses nyaris tertabrak kereta kuda dan hampir tewas, Moses menyelamatkannya.
Maknanya apa jika ditarik dalam perpolitikan Indonesia?
Ya, hampir sama. Jokowi diselamatkan oleh Sandiaga Uno. Karena Sandiaga Uno membuka puluhan lapangan kerja dan menukar dolar untuk menyelamatkan Pemerintahan Jokowi.
Eit, eit, jangan marah dulu. Othak-athik gathuk itu bisa. Semua hal nggak masuk akal bisa jadi bahan kritik. Bahkan dari hal yang paling nggak bermutu sekali pun.
Poinnya, namanya pemimpin itu harus siap dikritik. Dari sudut akademik, sudut warung kopi, bahkan dari sudut pengkolan ojek kayak analogi acakadul di atas tadi.
Ada sebuah pepatah yang berkata, “Jika ada yang mengkritik dirimu, tutuplah kupingmu jangan sumpal mulut yang mengkritikmu.” Selaras dengan kata Imam Syafi’i yang artinya, “Bergeraklah, karena kamu diam atau bergerak kamu akan dikritik.”
Ungkapan ini jadi menarik kalau mau ditarik ke kehidupan sosial sehari-hari. Sebab semuanya punya potensi untuk dikritik. Baik dia bekerja atau hanya duduk ngopi. Dan itu konsekuensi dalam berpolitik. Jika tidak dapat sahabat maka akan dapat musuh. Sesederhana itu.
Dari premis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bagaimana sikap para golongan yang pro pemerintahan Jokowi garis keras hari ini, mereka bagi saya seperti orang yang baru paham konsekuensi dari hidup bermasyarakat.
Dalam bayangan saya, orang-orang ini seperti punya kehidupan eksklusif di dalam perumahan. Di depan gang masuk dijaga satpam 24 jam. Dengan tetangga tidak saling sapa. Sangat jaga privasi. Padahal kehidupan bermasyarakat itu sangat kompleks. Tidak ikut ronda dirasani, tidak ikut kerja bakti dirasani, tidak ikut kumpul RT dirasani. Bahkan ketika ikut semuanya saja, itu pun masih bisa dirasani juga.
Hal itu menunjukkan bahwa realitas kehidupan bermasyarakat kita memang mengajarkan untuk jadi manusia yang siap dikritik. Mau yang kritik bermutu, maupun yang tidak. Kehidupan sosial kita sudah mengajari hal itu, mengajari agar selalu siap mengkritik dan siap dikritik. Sebaik apapun usaha, ya tidak mungkin memuaskan semua pihak. Kalau tidak siap dirasani atau digunjing, ya sudah pergi saja ke gunung. Hidup dengan binatang.
Lalu benang merahnya di sini. Ketika masyarakat oposisi memberikan kritik kepada pemerintah—dalam hal ini Presiden—tameng yang selalu muncul cenderung seperti ini, “Emang apa yang sudah engkau berikan untuk bangsa ini?” Atau malah menjawab, “Jangan cuma bisanya kritik doang, tapi beri solusi dong.”
Baik mari kita coba mencari analogi untuk dua jawaban di atas. Dalam kontes pencarian bakat, entah Indonesian Idol atau KDI misalnya, bagaimana jadinya jika peserta audisi menjawab dengan logika seperti itu?
Misalnya dalam kontes Indonesia Idol, seorang juri—kebetulan suara dan karyanya pas-pasan dan albumnya tidak terlalu banyak. Lalu si juri ini mengomentari peserta dengan pedas, apakah peserta ini wajar membalas, “Memang suara Anda lebih bagus dari saya?”
Secara personal Presiden Jokowi adalah orang baik. Rizal Ramli pernah berkicau dari akun Twitternya demikian juga. Akan tetapi, yang perlu dipahami bersama: Presiden bukanlah orang tapi lembaga. Nama Joko Widodo juga bukan nama perorangan. Ketika beliau jadi Presiden, ya dia adalah institusi, kebaikan personalnya tidak relevan lagi dibicarakan ketika mau mengritik kebijakannya.
Banyak orang yang ikut berdarah-darah dalam menjadikannya Presiden. Dan merunut dari pernyataan Rizal Ramli dari kicauannya, beberapa orang di belakang Jokowi-lah yang telah “berjasa” menenggelamkan rupiah seperti sekarang. Sayangnya, Presiden tidak berani memperingatkan karena tersandera politik balas budi.
Jika masih ada yang Pro-Pemerintah-Jokowi lalu bilang, tidak mungkin Pak Jokowi balas budi ke orang-orang jahat itu, saya akan tertawa ngakak. Anda ingin nyalon jadi Pak Lurah, punya tim 50 orang yang jungkir balik memperjuangkan Anda. Setelah jadi, kira-kira orang yang sudah “bekerja” untuk Anda ini diberi apa? Cuma ucapan terima kasih? Yaelah.
Itu baru tingkat Kelurahan. Kalau tingkat Presiden “ucapan terima kasih”-nya akan masuk akal kalau jauh lebih besar secara nominal. Jadi, saran saya, mari deh kita tidak perlu gaya-gayaan tutup mata kalau praktik itu tidak terjadi, atau pura-pura jadi pejuang moralis tidak tahu.
Untuk itulah saya akan mencoba mengkritik Pak Jokowi dari hal-hal yang mendasar saja. Agar tulisan di Mojok sebelumnya yang bilang bahwa kritik ke Jokowi selalu tidak mengarah ke substansi, akan saya tepis di sini. Tapi jangan marah ya? Jangan dianggap makar ya? Plis.
Mengenai adab Pemerintah, misalnya.
Coba kita lepaskan dulu atribut pro dan kontra Jokowi dan Prabowo, lalu berpikir secara jernih mengenai bangsa ini.
Pemerintah wajib tidak menjaga marwah Presiden pendahulunya? Agar Presiden Republik ini tetap terjaga wibawanya sebagai bapak bangsa. Sayangnya pemerintah saat ini sering membuat “simbol” untuk lawan politiknya dengan timing yang cerdik cenderung licik.
Pertama, misalnya saat mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik Pemerintah dan cerewet lewat akun Twitternya. Mendadak Jokowi mendatangi “Candi” Hambalang yang mangkrak.
Mata media lalu kembali menyorot kasus Hambalang era SBY yang membuat beberapa kader Demokrat ditangkap. Akhirnya muncul stigma publik bahwa SBY adalah “raja mangkrak”. Ketimbang soal moral, tindakan Jokowi ini lebih banyak kepentingan politisnya. Sebab timing Jokowi mampir ke Hambalang yang bikin tindakan tersebut jadi terkesan tindakan politis.
Kedua, adab dengan ulama yang tergabung dengan 212. Tidak bisa dipungkiri ada adab memperingatkan pemimpin dalam agama. Salah satunya jika ada kesalahan terkait kebijakan jangan peringatkan kasar di hadapan orang banyak.
Akan tetapi, jika sudah tidak bisa diperingatkan, suarakan dengan cara konstitusi, ya salah satunya dengan demonstrasi. Jika pikiran kita jernih, fungsi ulama dalam bernegara adalah sebagai kontrol. Tidak benar definisi—jika memperingatkan pemimpin (presiden) berarti ulama telah ikut politik praktis.
Ulama adalah guru bangsa, guru masyarakat, jika murid ada masalah mereka akan berkeluh kesah kepada gurunya. Guru yang memperhatikan keadaan masyarakat tentu akan memperjuangkan murid-muridnya. Tidak diam.
Jadi, ulama yang bersuara merupakan cerminan dari masyarakat yang diwakili, tidak bisa disamaratakan sebagai penebar provokasi kalau kebetulan ada di sisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Ketiga, adab terhadap tokoh bangsa seperti Mahfud MD adalah cerminan Pemimpin Bangsa tidak bisa menjaga wibawa tokoh yang dianut banyak orang.
Pernyataan dan petuah Mahfud MD selalu ditunggu banyak orang. Kita bisa lihat pengikut twitternya yang mencapai 2,2 juta orang. Dia guru bangsa. Sangat tidak beradab mempermalukan guru di hadapan jutaan muridnya.
Meskipun Mahfud sudah mengikhlaskan, tapi itu semata-mata karena jiwa besar Mahfud saja agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Dengan tidak jadinya Mahfud di detik-detik terakhir, itu sebenarnya jadi tanda bahwa Presiden Jokowi tersandera oleh institusi yang dikuasainya sendiri. Dari situlah premis Presiden bukan orang, kembali bisa saya tegaskan di sini.
Persoalannya, seringkali kritik semacam ini—terutama soal Mahfud MD—selalu akan dibalas dengan balas kritik. Seperti serangan untuk “Jenderal Kardus dan Mahar 500 Miliar” yang disebut oleh Andi Arief dan sudah diklarifikasi oleh Sandiaga Uno.
Para politikus pro Jokowi suka memperpanjang urusan tersebut. Akan tetapi ketika diajak transparansi dana kampanye pemilihan Presiden Jokowi pada 2014 misalnya, saya yakin mereka juga bakal diam.
Kritik terhadap Pemerintahannya Jokowi, jika mencarinya cuma yang receh-receh memang ada banyak sekali, tapi itu bukan berarti tidak ada yang substantif dan penting, sehingga serta-merta kritik kepada Jokowi selalu dipandang sebelah mata.
Sebab kalau Anda khawatir terhadap potensi kubu Prabowo yang dituduh fasis dan maunya menang sendiri, apa Anda pernah bertanya terhadap sikap stereotip begitu?
Lalu siapa dong yang lebih fasis kalau baru mau dikritik saja sudah menganggap yang kritik tidak kompeten karena pemilik akun Facebook pengritik pemerintah ternyata seorang kuli bangunan atau tukang parkir?
Dan karena mereka ingin protes soal kehidupan mereka, gara-gara Presidennya adalah idola Anda, mereka jadi tidak boleh bersuara begitu?
Pesan terakhir bagi generasi milenial Pro Pemerintahan Jokowi, “Jika kuping itu, tidak membuatmu mendengar, mata itu tidak membuatmu melihat. Mungkin emakmu yang bisa membangunkanmu dari mimpi.”
“Dilan belanja sana, biar tahu sekarang harga-harga naik, nggak lihat hape mulu!”
Lalu di kolom kometar di bawah tulisan ini muncul: “Makanya kerja, Bang. Jangan jadi pengangguran terus kritik Jokowi aja. Nggak bisa beli beras kan?”