Dear, Mas Agus Harimurti Yudhoyono. Bagaimana rasa kopi Anda hari ini?
Hampir sepekan ini kopi apa pun yang saya minum terasa seperti air mata. Penyebabnya, Anda kalah. Dan semakin menyesakkan saja gara-gara saya terlambat mendengar kabar pahit itu akibat tindakan absurd saya terlalu sering mematikan ponsel, itu sengaja saya lakukan demi menyelamatkan kewarasan dari perang akbar yang terjadi di media sosial.
Saya mendapatkan kabar kekalahan Anda dari tetangga sebelah. Ia juga mengidolakan Anda, dan meskipun kami kerap menggunjingkan Anda pada kesempatan apa pun, kekalahan Anda tetap menjadi sesuatu yang tak terbayangkan. Berhari-hari saya berduka hingga kantong mata saya bengkak, dan saya semakin marah ketika mendapati orang-orang yang masih saja menjadikan Anda bahan olok-olok.
Tidak seperti saya, mereka yang mengolok-olok Anda itu tak tahu bahwa keikutsertaan Anda di pilkada sama sekali tak bertujuan untuk memenangkannya, melainkan sekadar untuk menghibur warga Jakarta dan memberi amat banyak pelajaran moral secara implisit. Warga, bagaimanapun, sangat membutuhkan hiburan gratis di tengah kehidupannya yang makin rumit dan pelik.
Tak seperti cagub lainnya yang ingin dicitrakan dengan imaji tertentu, Anda justru menanggalkan beban pencitraan itu dan menjadi seutuhnya diri Anda sendiri. Itulah yang membuat Anda mampu tampil menghibur dan melakukan aksi-aksi yang akan dikenang hingga kapanpun: nekat terjun dari panggung, contohnya.
Tentu saja itu aksi yang brilian, Mas Agus. Warga memperbincangkan keberanian Anda dengan riuh di segala warung kopi, dan meme-meme jenaka bertebaran seperti wabah. Sadar atau tidak, Anda berhasil menghibur warga yang lelah diberondong berita mengenai persidangan cagub sebelah, dan Anda juga sukses mengobati pening di kepala warga akibat susah memahami visi cagub yang sebelahnya lagi.
Dan Anda, Mas Agus, tampaknya paham bahwa tugas utama politikus adalah menghibur orang banyak, pemahaman itulah yang membuat sosok Anda sulit digantikan. Tak banyak politikus yang menyadari tugas utama mereka, dan lebih sedikit lagi yang berhasil melakukannya sebaik Anda.
Haji Lulung, contohnya. Ia adalah politikus yang jauh lebih senior ketimbang Anda, tetapi ia tak kunjung menyadari tugas utamanya. Alih-alih memberi hiburan, ia lebih sering membuat warga cemas dengan kecenderungannya untuk memotong organ-organ tubuhnya sebagai taruhan. Meskipun hingga hari ini ia masih bertubuh utuh, perilaku memutilasi diri sendiri jelas tak bisa menghibur siapapun.
Mas Agus, kehilangan seseorang seberbakat Anda itulah yang membuat hati saya pilu. Belum lagi dengan mempertimbangkan betapa banyak pelajaran moral yang telah Anda berikan selama masa kampanye kemarin.
Orang-orang menganggap lebay sikap keluarga besar Anda dalam mendukung dan membela Anda. Namun, saya berani menjamin bahwa tidak ada keluarga cagub lain yang lebih kompak dan militan dibandingkan keluarga Anda. Keluarga Yudhoyono berhasil membangkitkan ingatan lawas saya pada sinetron monumental Keluarga Cemara, dan mampu merepresentasikannya dengan luar biasa.
Ayah Mas Agus, misalnya, rela turun tangan menangkis pelbagai upaya yang bertujuan untuk menggembosi elektabilitas Anda meskipun tahu bahwa nama baiknya dipertaruhkan. Sebagai mantan presiden, memang lebih elok bagi beliau jika memilih untuk mengisi masa pensiun dengan membuat lagu atau bercocok tanam ketimbang mengetik ratusan cuitan dan puluhan status, serta berkali-kali menggelar konferensi pers.
Akibatnya, Anda mungkin tahu, beliau menjadi bulan-bulanan netizen. Orang-orang menyebarkan cuitan beliau dengan kecepatan yang mengagumkan, dan jumlah meme mengenai beliau hanya bisa disaingi oleh jumlah bintang di langit.
Namun, itulah bukti cinta seorang ayah, Mas Agus. Saya yakin bahwa semua ayah bakal bersikap seprotektif ayah Anda ketika mendapati anaknya tersudut oleh pelbagai serangan.
Tak hanya ayah Anda yang membela, melainkan juga ibu, istri, dan adik Anda. Ibu Anda membalas dengan pedas komentar seorang netizen di salah satu media sosial. Istri Anda menjelma serupa bayang-bayang. Ia turut ke manapun Anda pergi, dan ia tetap di samping Anda ketika Anda terkalahkan. Adik anda? ia bahkan rela mempermalukan dirinya sendiri demi membela saudara kandungnya yang sangat berbakat.
Maka, itulah sebaik-baiknya cerminan ideal sebuah keluarga, Mas Agus. Keluarga Anda, saya berharap betul, bakal menjadi teladan keluarga-keluarga lain di Indonesia. Sekurang-kurangnya mampu mengubah sikap kaum lajang militan yang telanjur skeptis pada institusi pernikahan akibat berita perceraian yang memborbardir mereka dari segenap penjuru.
Saat kepedihan Anda telah tandas, Anda bisa melihat kekalahan ini dari perspektif lain yang lebih menyenangkan. Tidakkah Anda menyadari bahwa Anda telah selamat dari situasi yang kelak makin runyam?
Dua cagub yang tersisa akan bertarung kembali di putaran kedua April nanti. Selama menunggu waktu pemilihan itu tiba, saya menebak kalau segala keruwetan pilpres 2014 akan kembali terulang dalam bentuknya yang paling buruk: orang-orang terbelah menjadi dua kubu yang saling menelikung, saling mengadu domba, saling mengkafir-kafirkan, lalu menciptakan situasi yang tak beda jauh dari perang Mahabharata.
Itu di dunia nyata, Mas Agus, sementara di dunia maya perang teks bakal mencapai titik kegilaan yang tak pernah Anda bayangkan. Di benak kebanyakan netizen, pilkada DKI Jakarta kali ini tak sekadar penentuan nasib rakyat Jakarta untuk lima tahun ke depan, melainkan juga penentuan nasib iman rakyat Indonesia untuk jangka waktu yang tak terbayangkan. Kedua cagub telanjur diasosiasikan dengan agama, sehingga mereka menganggap kalau pihak yang menang bakal otomatis meremukkan agama pihak yang kalah.
Tentu saja itu bukanlah situasi yang menyenangkan, Mas Agus, terlebih bagi cagub yang masih bertahan. Anda barangkali akan tampak dua puluh tahun lebih tua bila berada di posisi Anies Baswedan saat ini—ia sendiri sudah renta sehingga perbedaannya tak akan begitu terlihat. Anda mesti melobi ulang pihak sana-sini, merancang program dan strategi baru, sembari digelayuti harapan jutaan orang yang menganggap Anda sebagai superhero penyelamat iman.
Oleh sebab itu, Mas Agus, saya berhenti bersedih dan mulai mendaraskan puji syukur atas kekalahan Anda. Lihatlah, Anda telah bebas dari segala situasi ruwet pilkada. Anda kini memiliki waktu yang amat banyak untuk melakukan apa pun: Anda bisa membantu ayahanda berlatih vokal, Anda bisa mengasah bakat meloncat dari panggung, Anda bisa menertawai kedua cagub dan mengarang meme apa saja yang pantas untuk mereka, dan Anda bisa memikirkan karir apa yang paling menyenangkan untuk Anda pilih.
Ah, mengenai karir, saya percaya Anda bisa menjadi apa pun dengan kecakapan dan koneksi yang Anda punya. Namun, kecuali Anda siap dibully sepanjang hayat, Anda tak mungkin menjadi tentara kembali. Dan Anda sebaiknya juga berpikir ulang untuk menceburkan diri di dunia politik. Meskipun Anda berbakat luar biasa dalam hal menghibur konstituen, tegakah Anda membikin saya menitikkan air mata dan menulis surat terbuka lagi bila Anda kalah kembali?