Tetapi bagaimana engkau melawan kekuatan dengan dana triliunan? Demikian kira-kira kesedihan seorang kyai muda yang kami temui pada suatu sore.
Entah sudah berapa miliar digelontorkan untuk pembangunan pabrik Semen di Kendeng. Sebagian besar melawan. Sebagian mendukung, dengan alasan yang tentu kita sudah bisa menebaknya. Saat saya beberapa kali sowan ke Rembang, saya terkadang menyempatkan diri sowan pula ke tokoh yang ikut berperan menentang pembangunan pabrik semen. Kisah-kisah di balik perlawanan itu memang sering memilukan. Mungkin kita bertanya-tanya, kekuatan macam apa yang membuat mereka masih bertahan melakukan perlawanan sejak rencana pembangunan itu dibuat jauh-jauh hari sebelum semakin ramai seperti sekarang. Barangkali sudah banyak yang menuliskannya, tetapi saya ingin menulis salah satu kisah yang amat berkesan dan mengharukan dari ketulusan para petani dalam berjuang mempertahankan lahan mereka dan kelestarian alam.
Seorang kiai muda bercerita kepada saya alasan mengapa ia akan terus melakukan penentangan dengan caranya sendiri setelah cara-cara lama sering menyebabkan benturan sosial antarwarga pendukung dan penolak, dan menyebabkan friksi-friksi sosial, bahkan mungkin sampai sekarang ini. Kisah ini akan terdengar bagaikan dongeng bagi kita yang lebih sering mendengar, melihat, dan merasakan hilangnya ketulusan dan akhlak baik di dunia nyata maupun media sosial.
Setelah hampir dua tahun keliling mendampingi perlawanan, pada suatu hari ia kedatangan tamu seorang bapak petani tua dari sebuah desa yang jaraknya kurang lebih 10 kilometer dari rumah sang kiai. Petani tua itu membawakan makanan khas daerahnya, sejenis olahan nasi jagung sederhana. Sesudah diterima, kiai itu menanyakan apa keperluannya. Petani tua itu menjawab dengan takzim bahwa ia datang ingin menyampaikan rasa terima kasih telah dibela hak-haknya karena lahannya kala itu terancam oleh pabrik. Baginya, tanah pertaniannya yang tak seberapa bukan sekadar lahan mencari nafkah, tetapi juga “tanah air” amanat Tuhan yang mesti ia jaga kelestariannya.
Ia ingin membalas budi sang kiai, namun ia tak punya apa pun selain kemampuannya mengolah makanan yang sederhana. Sebab, petani tua itu bukan orang yang punya banyak uang. Maka ia membuat nasi jagung dengan cara khusus untuk diberikan kepada sang kiai sebagai tanda terima kasihnya. Ia mengatakan itu dengan rasa malu karena hadiahnya teramat sederhana.
Sang kiai terharu ketika tamu itu berkisah. Sambil makan nasi jagung yang enak itu air matanya bahkan menetes setelah ia bertanya, dengan siapa dan naik apa Bapak ke sini? Bapak petani tua menjawab bahwa dia datang dengan berjalan kaki sejauh 10 kilometer. Bagaimana tak luruh hati sang kyai mengetahui bahwa demi menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang tulus, lelaki tua itu rela berjalan kaki sejauh itu. Hadiahnya memang amat murah jika diukur dengan uang, tetapi ketulusan dan keutamaan akhlaknya tiada akan pernah bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun.
Saya masih ingat pesan kiai muda itu setelah menceritakan kisah petani tua tersebut. “Uang miliaran yang pernah hendak ditawarkan kepada saya tiada artinya dibandingkan ketulusan dan ketabahan para petani yang sederhana dan tahu cara menghormati alam dan ulama.” Beliau lalu memberi pengajian ringkas tentang dua ayat Quran yang kerap diabaikan, atau, meminjam istilah yang sedang populer, “dinistakan” oleh sebagian orang-orang beriman.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai (orang yang berbuat) kebinasaan/kerusakan.”
Barangkali tidak banyak kisah semacam ini, tetapi sesedikit apa pun kisah ini, tampaknya Tuhan masih memberi harapan kepada manusia yang sekarang semakin riuh dalam arus perebutan kekuasaan dengan mengabaikan nilai-nilai akhlak, dengan menampakkan bahwa di Wilayah Kerajaan-Nya masih ada orang-orang yang walau tidak penting di mata sesama manusia, tetapi sikap dan akhlaknya terjaga sedemikian rupa sehingga tawaran dunia tak bisa menggoyahkannya.
Sore itu, beberapa tahun lalu, saya pulang dengan membawa rasa malu dan sedih sekaligus pelajaran, betapa diri ini terlalu banyak membawa beban gengsi dan arogansi iman. Dan kemarin, kita berduka, karena seorang ibu petani Kendeng meninggal dunia dalam perjuangannya menjaga alam.
Sugeng kondur, Yu Patmi ….