Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Soal Kulon Progo, Anda Tahu Rasanya Digusur?

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
16 Desember 2017
A A
Digusur_Mojok

Digusur_Mojok

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Digusur itu seperti diusir dari tanah kelahiran sendiri dengan alasan agar hidup lebih baik.”

Semalam saya mendapatkan pesan tentang ajakan solidaritas untuk warga Temon, Kulon Progo. Isinya mengingatkan saya tentang bagaimana pedihnya kehilangan rumah, lingkungan, dan jagat hidup karena digusur paksa. Anda mungkin tak pernah merasakannya, saya berharap anda tak pernah merasakannya. Digusur dalam ingatan saya sungguh sebuah proses yang melelahkan dan traumatis.

Meskipun sejak 2002 saya tinggal di Jalan Kaliurang (Jakal), saya bukanlah orang Jakal asli. Bukan yang menghabiskan masa kecil di tempat itu. Ada sebagian dari saya yang masih tertinggal di rumah saya waktu kecil dulu. Rumah masa kecil di bilangan UIN Sunan Kalijaga. Iya, UIN yang barusan dituduh mahasiswanya gak pernah salat itu.

Santai, kalau situ mau ngecek rumah saya, situ nggak bakal nemu. Di tanah itu kini sudah berdiri perpustakaan kampus yang megah, lengkap dengan parkiran motornya dan jembatan penyeberangan antar gedung. Tentu saja waktu itu UIN belum ada, yang ada IAIN.

Kadang-kadang saya kalau lagi main ke UIN, saya suka menyempatkan untuk masuk ke fakultas-fakultas UIN. Melihat jejak-jejak ingatan di titik-titik mana saya dulu main petak umpet di gedung fakultas adab atau fakultas syariah, atau bahkan di serambi masjid. Ingatan tentang rumah sebelum akhirnya digusur, terusir dari rumah sendiri.

Main bola di lapangan depan masjid, main plusutan di pager tangga demokrasi yang legendaris itu, atau coba naik ke lokasi panjat tebing anak-anak Mapala. Kadang-kadang juga tidur di ruang takmir masjid untuk nonton Liga Champions karena di rumah nyetel tipi jam 1 dini hari masih pamali, atau mancing ikan lele di bak penampungan air wudhuan masjid yang belakangan saya curiga, jangan2 itu itu lelenya Mas Sayuri (mahasiswa legendaris IAIN) yang ditulis di Mojok.co beberapa waktu lalu?

Tentu saja bentuk maupun peta lokasi gedung UIN yang sekarang tidak sama dengan bentuk bangunan IAIN yang dulu. Satu-satunya yang sama hanya rute jalannya saja. Di tempat itulah saya ikut berlari-larian bersama mahasiswa saat demo 98, ikut ngejek-ngejek polisi, ikut melempar batu kalau lagi pengen, dan kalau keadaan terdesak saya akan naik sepeda lalu gantian jadi pihak polisi.

Di momen-momen itu pula saya terkagum-kagum untuk pertama kalinya melihat senjata bedil dan panser polisi. Sampai tangis-tangisan dengan kawan karena enggak sengaja menghirup gas air mata.

Semua pengalaman itu menjadikan saya tidak bisa menemukan rumah selain apa yang bisa saya dapatkan di sana. Rumah sederhana di samping ruang kuliah Fakultas Syariah (kalau tidak salah) yang sudah tidak ada lagi.
Rumah saya waktu itu memang kecil. Sangat kecil untuk keluarga saya yang berjumlah 10 bersaudara. Namun di rumah itulah saya melewatkan banyak masa kecil dan menghabiskan waktu bersama teman-teman kecil saya.

Sayangnya, pada akhir milenium ke-2, saya diberi tahu Ibu bahwa kami semua harus pindah rumah. Rumah saya mau digusur karena memang rumah ini bukan milik keluarga saya. Ini adalah rumah dinas. Rumah dosen. Dan sebagaimana rumah dinas, bukan hak keluarga kami untuk memilikinya.

Saat mendengar itu saya tidak bisa mengelak untuk sedih. Bagaimana dengan teman-teman saya? Bagaimana dengan main plusutan di tangga demokrasi bisa saya lakukan lagi? Bagaimana dengan lapangan depan masjid yang biasa saya gunakan bermain bola di kala hujan? Bagaimana saya bisa menghilangkan itu serta-merta?

Tapi kesedihan itu tidak berlangsung lama, karena dua tahun sebelum keluarga saya pindah ke Jakal, saya mondok untuk kali pertama di Solo. Dan pada tahun kedua saya mondok, saya terkejut ketika pulang ke rumah—rumah di IAIN, sudah tidak lagi berpenghuni. Kosong. Benar-benar kosong tanpa perabotan apapun. Tidak ada apapun di sana. Saya coba mencari tetangga-tetangga saya untuk menemukan teman-teman masa kecil saya. Rumah mereka pun kosong. Teman-teman saya hilang. Masa kecil saya hilang.

Pada 2003, saat saya mendapatkan informasi bahwa rumah saya akan dibongkar dan dirubuhkan, saya sempatkan untuk pulang ke Jogja. Menuju IAIN untuk melihat rumah saya dihancurkan. Bata demi bata diremukkan tanpa ampun. Pekerja-pekerja yang melakukannya mungkin tidak merasakan apa-apa, tapi saya, seorang anak remaja yang menghabiskan belasan tahun di rumah itu tentu saja sulit untuk bisa menerimanya—meski saya sadar, rumah itu memang bukan hak keluarga kami.

Beberapa orang mungkin menganggap pindah rumah itu hal biasa, memindahkan keluarga dari satu lokasi ke lokasi itu perkara umum, tapi kadang aspek-aspek sosial dan kultur memang tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Kadang yang tak dipahami adalah digusur bukan pindah, kita dipaksa pindah. Bagi orang dewasa, hal-hal tersebut barangkali sudah jadi hal yang wajar. Tapi bagi anak-anak, hal itu mencabut akar sosial mereka.

Iklan

Itulah yang kemudian membuat saya memahami bagaimana rasanya menjadi keluarga-keluarga di Kulon Progo yang akan dipindahkan dari rumahnya. Tanah mereka dibeli secara paksa, digusur dengan represif, dan segala macam keinginan untuk bertahan dibabat.

Saya tahu betul, aparat melaksanakan amanat undang-undang. Mereka hanya melaksanakan aturan. Beberapa orang memang menyesalkan warga yang masih tinggal, yang enggan pergi dari rumahnya. Beberapa memiliki argumentasi yang masuk akal. Seperti kemajuan untuk daerah yang akan digusur. Bandar kelas internasional yang barangkali oleh masyarakat pendukung bandara bakal bisa dinikmati. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang menolak? Apakah mereka akan merasakan manfaat?

Mereka hanya orang biasa yang mengandalkan hidup dari tanah mereka. Ketika tanah mereka diganti dengan uang, mereka harus bersusah payah kembali memulai kehidupan dari nol. Memulai sesuatu yang mereka tidak bisa memahaminya. Kehidupan mereka hanya diganti nominal uang yang kelihatan menggiurkan tapi tidak menjamin kehidupan mereka lebih baik. Semata-mata hanya agar kita—orang-orang tajir ini—bisa menikmati bandara baru.

Memindahkan rumah, keluarga, dan tanah penghidupan tidak semudah yang dibayangkan—apalagi memindahkan kampung dengan beragam aspek sosial di dalamnya. Ada beragam kultur yang dicabut dari akarnya. Bahkan ketika kepindahan yang dimaksud adalah pindah ke tempat yang “lebih baik”.

Hal-hal yang juga tidak mau diperhatikan oleh pemangku-pemangku kebijakan, kecuali mereka pernah merasakannya, atau paling tidak menanyakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka? Kemajuan memang kemauan semua orang di Republik ini, hanya jika itu tidak sampai mengorbakan keluarga atau lingkungan kita. Iya, kan?

Terakhir diperbarui pada 16 Desember 2017 oleh

Tags: Angkasa PuradigusurJogjaKonflik AgrariaKulon Progopenggusuransolidaritas wargaYogyaYogyakarta
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.