Hari Jumat, Cak Dlahom benar-benar kumat. Siang, tiba-tiba dia ikut salat Jumat di masjid. Duduk di barisan paling depan, di antara deretan lelaki yang oleh orang-orang di kampung dianggap sebagai punya kelebihan dan keistimewaan. Ada Pak Lurah, ada kiai, ada ustadz, ada orang-orang kaya, ada Mat Piti, dan sebagainya. Cak Dlahom duduk di bagian tengah. Persis di belakang imam. Di sampingnya Pak Lurah dan Mat Piti.
Selesai salat, Cak Dlahom mengangkat tangannya sembari membaca doa dengan suara keras. Matanya melirik ke Pak Lurah dan Mat Piti yang duduk di kiri dan kanannya. “Ya Allah, jauhkan aku dari segala penyakit hati. Dengki, iri, hasud, ghibah, ria, cinta dunia, sumah, senang jadi pemuka dan senang jadi pesohor.”
Doa itu diulang berkali-kali dengan bahasa Arab yang fasih. Sesudahnya, dia meninggalkan masjid dan tidak menyapa orang-orang di sana. Mat Piti tertunduk, lalu diam-diam berdoa sembari menangis.
“Duh Gusti, aku malu dengan Cak Dlahom. Sungguh hatiku ini masih dipenuhi amarah. Suka bergunjing mengabarkan keburukan orang. Senang disanjung-puja, dan susah dicela. Jadikan aku gila melebihi Cak Dlahom, ya Allah.”
Puncak kumatnya Cak Dlahom, terjadi pada malam hari. Sekitar jam 10 malam, ketika tadarus Al Quran baru saja selesai di masjid, pembacanya terakhirnya hanya tinggal empat orang: Mbah Siha, imam masjid yang sepuh itu, dan Atmo anak mbah Karto, bersama dua kawannya.
Puasa memang tinggal beberapa hari lagi. Dan jangankan menderes Al Quran, orang-orang yang tarawih pun mulai banyak berkurang. Jamaah yang datang, jumlahnya sudah bisa dihitung jari. Orang-orang mungkin mulai sibuk mempersiapkan Lebaran. Sebagian mungkin sudah tidak puasa. Sudah tidak penting lagi.
Maka malam itu, Cak Dlahom diam-diam masuk ke dalam masjid yang pintunya memang tidak dikunci. Busairi dan Warkono, yang menjaga masjid, hanya lenyeh-lenyeh di teras masjid. Mereka tahu Cak Dlahom masuk masjid dan membiarkannya, karena tahu Cak Dlahom bukan pencuri.
Sekitar 30 menit kemudian, Cak Dlahom menyalakan perangkat pengeras suara di masjid lalu dia berazan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Busairi dan Warkono yang sudah tertidur, segera terbangun. Dia menyangka sudah subuh, tapi segera sadar ada yang keliru. Mereka masuk ke masjid dan mendapati Cak Dlahom berdiri di dekat mimbar. Dua tangannya menutup telinganya. Wajahnya dekat dengan mikrofon. Ya, tidak salah, Cak Dlahom memang azan. Masalahnya, azan apa?
Itu hampir tengah malam. Subuh masih jauh, isya sudah lewat, tapi dua penjaga masjid itu tak berani menegur Cak Dlahom. Hasilnya Cak Dlahom azan sampai tuntas meski yang terjadi kemudian, halaman masjid dipenuhi orang-orang kampung. Pak RT, Pak Lurah, Mat Piti semua datang.
Sebagian datang dengan wajah beringas seperti Cak Dullah, korak kampung. Badannya berotot. Tatonya sebadan. Istrinya enam. Kata orang-orang, Cak Dullah dulu imam masjid yang disegani. Dia lulusan pondok dan banting setir jadi korak karena kecewa, tapi orang-orang kampung tak punya bahan untuk menjelaskan, Cak Dullah kecewa pada apa atau siapa. Pokoknya kecewa. Hanya itu penjelasannya, dan kecewanya Cak Dullah yang semacam itu, sudah menjadi rahasia umum orang-orang di kampung.
“Busairi…Busairi, siapa yang azan itu?” Suara Cak Dullah memecah keriuhan.
Busairi tak berani menjawab. Warkono apalagi. Lalu dari dalam masjid, Cak Dlahom keluar sambil cengar-cengir. Dia menemui Cak Dullah. Orang-orang mengerebung. Pak RT mempersilakan orang-orang untuk duduk di teras dengan tertib.
“Aku yang azan Dul. Ada masalah rupanya?”
“Ya masalah, Cak. Ini waktunya orang tidur dan bukan waktunya salat.”
“Oh, begitu. Kamu terganggu?”
“Bukan saya saja, Cak, semua orang terganggu.”
“Kenapa kamu terganggu?”
“Di mana-mana azan itu ada waktunya Cak. Ini isya enggak, subuh belum, sampeyan azan.”
Suasana agak tegang. Sebagian orang mengamini pendapat Cak Dullah: Cak Dlahom memang gila. Penganut aliran sesat. Azan jam 11 malam adalah bukti, Cak Dlahom gila dan sesat.
Cak Dullah kembali bersuara. “Bagaimana ini, Pak RT, Pak Lurah? Saya kira hal-hal semacam ini tak bisa dibiarkan terus-menerus.”
“Tenang dulu. Kita dengarkan apa kata Cak Dlahom…” kata Pak RT.
“Orang gila kok diberi kesempatan terus…” kata seseorang.
“Sudah jelas-jelas sesat…”
“Sudah, diusir saja. Bikin masalah melulu.”
“Bagaimana, Cak Dlahom?”
Cak Dlahom yang sebelumnya bersuara lembut, tiba-tiba menjawab dengan suara keras.
“Dul, kamu pernah jadi imam masjid. Kamu tahu ilmu agama. Azan itu untuk apa Dul?”
“Ya panggilan untuk salat, Cak.”
“Tadi, waktu azan isya, ke mana kamu? Ke mana kalian semua? Kenapa tidak ada yang datang ke masjid?”
“Ya anu, Cak…”
“Taek kamu, Dul. Taek kalian semua. Sekarang giliran aku azan tengah malam, kalian malah datang ke masjid. Beramai-ramai. Siapa yang gila sebetulnya, Dul? Siapa yang sesat?”
“Sampeyan yang gila, Cak…eh anu…Saya Cak yang gila…”
Di teras masjid, Dullah yang penuh tato gelagapan. Dia tak berani menatap Cak Dlahom. Begitu juga yang lain. Suara Cak Dlahom yang sebetulnya, yang asli, ternyata telah melumpuhkan saraf keberingasan Dullah dan orang-orang yang marah. Satu per satu mereka meninggalkan masjid.
Mereka kini tahu, Cak Dlahom memang bertambah gila.
(sebagian diinspirasi dari cerita yang disampaikan Gus Ubaidillah, Pedurungan Semarang)