MOJOK.CO – Gara-gara pandemi novel Arok Dedes dan Arus Balik muncul dalam kesegaran konteks terbarukan. Isinya jadi gini: milenial yang terjebak dalam iklim tipu-tipu.
Masa pandemi COVID-19 dengan mengikuti sirkus pemerintah dalam memutus mata rantai penyebarannya hanya dari dalam kamar, terkadang kita merindukan buku-buku yang pernah dibaca puluhan tahun sebelumnya dan sangat berkesan.
Sekali lagi, yang berkesan. Sebab, yang tidak berkesan dan mengguncang sama sekali tidak layak diingat.
Saya melakukannya. Ada dua buku yang saya baca dua dekade silam. Mencoba “peruntungan” kesan, masih serupa kah daya gigil yang disemburkan buku yang dibaca pertama kali dengan jarak dua dekade dengan sekarang?
Buku itu berjudul Arok Dedes dan Arus Balik. Dua-duanya karya Pramoedya Ananta Toer. Dua-duanya diterbitkan Hasta Mitra. Dua-duanya luar biasa tebal. Dan, dua-duanya bercerita tentang (politik) Jawa.
Saya takjub sendiri. Ternyata, ada kesegaran perspektif dengan konteks yang baru. Konteks yang saya maksud adalah bagaimana tokoh-tokoh yang direka Pramoedya Ananta Toer itu adalah anak-anak muda belia berhadapan langsung dengan politik praktis dengan segala tipu dayanya.
Terutama sekali, dua novel politik itu saat berhadapan dengan ambyarnya frase “generasi milenial” akibat segelintir “perwakilannya” yang berumah di Istana Merdeka. Suatu generasi yang potensial ditipu kekuasaan seperti wajah “milenialis” angkatan ’66 dan ’98.
Arok dan Dedes: Dua Milenial yang Menolak Ditipu
Tokoh Ken Arok dan Ken Dedes tumbuh pasca-pencerahan pertama Nusantara di masa Darmawangsa Teguh. Untuk menggambarkan semangat kemudaan, berkali-kali Pram menyebut “umur”, “generasi baru”, “muda”.
Artinya, politik pada masanya, Arok dan Dedes adalah prototipe dari generasi milenial sebagaimana dalam sewindu ini kita kenal.
Arok bukan ujug-ujug jadi politisi muda dan punya cita-cita agung dan subversif: menjadi penguasa. Di masanya, menjadi penguasa nomor satu mustahil karena ia dari kasta paria.
Bahkan, ortu saja tidak jelas. Kemungkinan, Arok ini produk dari “cinta semalam” yang kemudian dibuang ibunya di perkuburan kampung sesaat setelah lahir untuk mengubur jejak malu.
Tahu bukan siapa-siapa, tetapi bermimpi menjadi presiden raja, adalah sebuah mimpi subversif. Impian ini selalu menyertai langkah Arok menapaki proses hidup dari masa kanak hingga remaja.
Berbab-bab dihabiskan Pram untuk memberitahu pembaca bahwa bermimpi subversif itu boleh, tetapi diiringi usaha yang juga keras. Tidak ada anak muda kere yang bermimpi menjadi penguasa nomor satu hidupnya normal seperti anak rumahan yang sepanjak kanak-kanaknya selalu dikeliling babysiter.
Arok menempuh dua musim untuk menjadi politisi andal: siang belajar habis-habisan di madrasah, malam menjadi bajing loncat.
Bandit, iya, tetapi religius. Siang membaca macam-macam kitab, malam menjarah gerobak pejabat-pejabat kaya. Bagi Arok, bandit tanpa otak dan punya ilmu pengetahuan selamanya jadi sampah rakyat.
Dengan menjadi bandit hutan, Arok melatih mentalnya menjadi pemimpin geng paling ditakuti tentara Tumapel. Geng Arok bukan untuk mem-bully cewek-cewek berpakaian minimal, meresahkan masyarakat. Geng ini merampok pedati Akuwu Tumapel yang berisi upeti untuk Raja Kediri sambil menyebarkan dakwah agitasi tentang siapa mereka ini.
Harta jarahan itu disimpan untuk logistik revolusi yang Arok tidak tahu kapan mesti ditabuh. Selain itu, bergabung dengan tenaga kawanan bandit yang dipimpinnya menjadikan Arok tidak menjadi anak muda kagetan, polosan, dan lugu kalau-kalau terjun langsung di ranah politik praktis yang memang busuk dan penuh tipu-tipu.
Karena politik adalah seni menipu, mestilah ia punya otak yang encer. Arok tahu bergaul dengan kelompok mana untuk punya menjadi cendekia progresif dari mazhab Hyang Mahadewa Syiwa.
Ia bergabung dalam lingkar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Ikatan Cendekiawan Brahmana Tumapel (ICBT) dengan tokoh utama yang menonjol adalah dua mpu, yakni Lohgawe dan Parwa.
Di lingkungan elite agama dan intelektual ini, Arok menempatkan diri bukan jadi tukang semir sandal para brahmana atau hanya manggut-manggut dalam kolakium. Karena kemampuan bahasa Sanskritnya, ia menjadi penerjemah jika ada rapat antarbrahmana dengan bahasa pengantar Sansekerta.
Bahkan, di usia 20 tahun, ia satu-satunya kawi muda menjadi pereview bayangan beberapa kitab dalam Musyawarah Kitab-Kitab yang dilakukan berhari-hari di sebuah candi di Kaki Gunung Kawi. Turut aktif dalam satu sesi mabebasan, forum membaca bersama secara bergilir.
Kadang, resensi Arok atas kitab, misalnya, Parwa ke-9 dalam Kitab Mahabharata yang diterjemahkan kawi muda usia 18 tahun bernama Sedah dari Desa Ngadiluwih, Kediri, membikin para brahmana yang hadir tercengang.
Kisah romantis ABG antara Sedah dan Prabarini dalam review Arok menempatkan posisi penerjemah kitab sebagai subjek politik.
Penerjemah itu bukan tukang. Mereka politisi kebudayaan. Penguasa lalim menjadikan mereka berubah menjadi sosok subversif. Sedah yang pacarnya dirampok Raja Jayabaya mencoba melawan sedemikian rupa dengan dengan keahliannya sebagai penerjemah kerajaan dengan kualifikasi A setelah lulus dari ujian sidang dewan pimpinan Mpu Panuluh.
Jelang berakhirnya Festival Kitab, kabar dari Panawijil bahwa Dedes dirampok Ametung. Ayah Dedes yang juga hadir dalam festival membacakan karya teranyarnya sangat terpukul.
Dari kefrustasian para brahmana yang pintar membaca kitab dan ahli sastra, tetapi tidak punya keberanian bertindak praktis, Arok tampil.
Oleh para brahmana, ia ditahbiskan sebagai garuda muda perwakilan brahmana menghukum penguasa antitani yang untuk memperkuat kekuasaannya mempercayakannya pada hasil penambangan emas.
Arok seperti ingin mengatakan, madrasah saja tidak cukup untuk menghukum komprador Tumapel yang merupakan trinitas: penguasa bodoh, angkatan militer bermental bandit, dan agamawan serakah. Arok mendesak diperlukan adalah tekad mengubahnya.
Mau konfrontasi langsung? Ngawur. Guru sastra dan sekaligus mentor politik Arok, Lohgawe, menyarankan siasat menghancurkan Ametung dari dalam peraduannya.
Sampai di sini, kita berjumpa dengan cewek milenial jelita, putri seorang penulis terkemuka. Namanya Dedes.
Ia terlahir dengan warisan utama dari Mpu Parwa berupa saham dan perusahaan kehalusan pekerti, kecintaan pada bahasa ilmu pengetahuan (Sansekerta), serta memuja dan menghafal sedemikian rupa lontar-lontar sastra.
Dedes masuk istana tidak secara baik-baik, tetapi dirampok paksa si Ametung. Ia berubah menjadi subversif saat Arok menjadi bhayangkara Akuwu.
Aih, dua kali kata “dungu” keluar dari mulut cewek Tumapel ini. Bagi Dedes, politisi tanpa cinta pada lontar dan yang tidak becus memerintah dan mengerti aspirasi kawulanya seperti Ametung tidak lebih adalah penguasa dungu.
Berkat persekongkolan keduanya membangun perusahaan start up kekuatan politik ketiga selain Gerakan Militer Gandring dan Belakangka, kekuasaan Akuwu tumbang. Bukan dengan berhadapan langsung, tetapi siasat politik yang penuh tipu daya.
Arok dan Dedes adalah dua jenis anak muda yang memilih tidak mau ditipu kekuasaan. Sebaliknya, dengan kemampuan intelektual dan pengalaman lapangan yang liat, terutama Arok, justru menipu penguasa untuk sebuah cita-cita menjadi si utama.
Galeng dan Idayu: Milenialis dari Awis Krambil Korban Tipu-Tipu Politik
Jika Arok berhasil menjadi penguasa Tumapel pada usia 23 tahun dan selanjutnya menumbangkan Raja Kediri, kisah milenial yang lain bernama Galeng dan Idayu lain sama sekali.
Galeng dan Idayu dalam kisah Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer adalah prototipe milenial yang terkenal dan masuk istana Kadipaten Tuban lewat jalur prestasi.
Galeng adalah juara gulat, Idayu adalah jawara tari. Dua-duanya dari desa yang sama, Awis Krambil. Dua-duanya datang ke istana dengan status pacaran.
Dalam perlombaan terakhir di kota, mereka “dipinang” untuk menjadi abdi dalem. Motif Adipati Wilwatikta menggaet tenaga muda ini karena keduanya dicintai kawula Tuban. Yang cowok punya kemampuan olah fisik sebagai jawara gulat, yang satunya penari terbaik tiada tanding.
Diharapkan, direkrutnya Galeng dan Idayu sebagai staf milenial—sebut saja demikian—di pendopo kadipaten bisa memperbaiki citra Wilwatikta di mata kawulanya.
Sebagai manusia muda polosan, Galeng dan Idayu tidak memiliki andil politik apa-apa.
Selamanya mereka berdua korban dari papan catur politik antara Adipati Wilwatikta dan Syahbandar Tholib Sungkar Az-Zubaid di hadapan pertentangan politik internasional antara Demak, Malaka, dan Portugis dalam Perang Laut.
Bahkan, saat Idayu diperkosa sampai hamil oleh predator seks Malik Ibarahim Syahbandar Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan jalan bius, Galeng diam saja dan tetap mengabdi sebagai staf syahbandar.
Jabatan yang disandang Galeng terlihat mentereng, yakni sebagai senapati perang laut Tuban untuk membantu Pati Unus dalam persekutuan mengusir Portugis dari Malaka. Namun, ia hanya sekrup tanpa ada pengetahuan geopolitik yang memadai. Juga, ia adalah senapati laut yang tidak pernah terlibat dalam perang kapal. Sekadar pangkat, sekadar buih.
Selain kemampuan olah fisik, salah satu kelebihan Galeng pada akhirnya hanyalah pengumpul kutipan dari guru tuanya di desa. Rama Cluring nama guru tua itu. Hampir semua “kwot” yang layak tayang di Instagram yang keluar dari renungan Galeng sesungguhnya berasal dari guru tuanya yang mati diracun antek-antek Wilwatikta.
“Seorang diri aku berseru-seru: jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan kemerosotan”.
Eh, Idayu ikut-ikutan menjadi pemasok qwot patah asa, seperti Galeng, seperti Rama Cluring:
“Emak lebih suka jadi orang biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun.”
Dan, satu lagi dari Mayora Idayu, kwot yang keren dan sangat disukai Bapak Ong Hari Wahyu yang kemudian ia sablon di kaos dan dijual secara eceran:
“Perang, kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.”
* * *
Pembaca sekalian, Arok, Dedes, Galeng, dan Idayu itu karakter, adalah cita-cita, dan sekaligus nasib dari generasi muda saat berhadapan dengan politik praktis.
Jika tidak mau ditipu kekuasaan seperti Galeng, jadilah seperti Arok yang menjadi orang nomor satu di Republik.
Macam-macam jalannya. Eksperimentasi politik untuk mendapatkan kursi tertinggi itu sudah banyak disarikan dalam album sejarah Indonesia. Direbut paksa memakai jalan Arok atau Karno atau Harto lewat jalan revolusi dan pembunuhan, ya, mangga. Mau mengendarai pemilihan umum, silahkan saja.
Namun, pastikan harus berhasil. Jika tidak, selamanya menjadi medioker. Mengais makanan sisa dari piring keramik borjuis-borjuis tua dan kapitalis birokrat yang memagari istana. Milenial pengais rezeki inilah yang kemudian bernama buzzer. Pendengung.
Istilah itu, kok, enggak nyaman di kuping. Jangan khawatir, jika tidak mau disebut dengan istilah itu karena risih, Anda bisa menyebut diri sebagai agitprop. Agitator propagandis. Lebih juang. Lebih patriotis.
Atau, golongan seperti Galeng yang diberi pangkat, tetapi tidak bisa menentukan apa-apa. Pajangan. Selamanya menjadi sekrup menjalankan permainan politik pihak lain. Atau, dalam bahasa Galeng sendiri, “korban kesia-siaan raja-raja yang dungu”.
Milenial seperti Arok dan Dedes itu jumlahnya tidak banyak. Mereka selamanya minoritas. Jika terendus, mereka cepat-cepat diberantas dan satu-satu dijejalkan ke bui.
Sementara, milenial seperti Galeng dan Idayu itu bejibun jumlahnya. Karena polos dan tidak membahayakan arus politik utama, mereka dirawat dan dijejali makanan semau-mau yang mulut dan perut mereka pintakan.
Jika hati nurani sudah tidak bisa ditanggungkan, sosok seperti Galeng ini mundur ke pedalaman, ke hutan, membangun huma dan lahan dengan kondisi kejiwaan yang remuk sambil terus memproduksi kwot tentu saja:
“Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.”
BACA JUGA Kiat Sukses Bikin Kerajaan atau tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.