Saya dan Puput sudah ada di atas ranjang besar king size atau apalah sebutan untuk ranjang besar yang cukup untuk tidur bertiga tanpa kena sikut. Puput duduk berposisi sinden menghadap kamar mandi, saya menghadap kaca rias besar di sisi kanan dan kaca jendela yang mirip pintu di depan saya. Dari tadi bola mata daya bergerak dari kanan-kiri berulang kali. Mencoba mencerna dan merangkai cerita logis.
Puput mulai bercerita kesulitannya mendapat tamu di saat pandemi. Untungnya, harga sewa hotel sangat murah saat itu. Puput bertiga di situ, sedang expo dari solo dan menyewa 2 kamar yang bersebelahan. Baru 2 malam dia menginap di hotel itu, tapi mulutnya berhenti ketika saya bertanya apakah hotel itu memiliki balkon.
“Nggak ada. Padahal enak ya kalau ada balkon, walaupun kamarnya bisa merokok,” jawabnya lalu tersenyum memandang saya.
Habis sudah. Apa yang saya takutkan terjadi. Ini sudah tidak benar dan semoga tidak ada cerita tambahan lagi.
Sebelum kami mulai bercumbu dan tenggelam di adegan panas, Puput menawarkan saya durasi yang lebih panjang lagi dengan menambah sejumlah uang. Alasannya seperti tadi, sepi tamu membuatnya dia senang dapat tamu malam itu dan menawarkan pelayanan berdurasi panjang dengan harga yang tidak mahal. Saya setuju, lagipula untuk apa saya pulang buru-buru malam itu. Bisa keluar rumah setelah berbulan-bulan mengurung diri rasanya menjadi sebuah hiburan dan kebahagiaan tersendiri.
Kami sudah tidak menggunakan pakaian, dengan posisi missionary. Puput menghadap ke langit-langit dan saya sebaliknya. Sesekali mata kami saling bertemu, mesra sekali layaknya pasangan dimabuk cinta.
Sampai akhirnya saya melihat ekspresi datar wajah puput dan bola matanya bergeser, melihat saya, melihat sisi kanan saya, kembali melihat saya dengan wajah kecut. Saya tahu ada yang tidak beres, saya berhenti, membelai pipi Puput dan mengusap kepalanya. Wajah saya menunjukkan mimik muka bertanya-tanya dan saya yakin Puput paham itu.
Kegelisahan Puput
Dia menutup mata, menarik seluruh badan saya lalu memeluk erat. Tidak mungkin dong dia fake orgasm secara tiba-tiba karena itu bisa menjadi skenario sangat jelek. Dia lalu berbisik.
“Babe, berhenti sebentar dong, please.”
“Kenapa, kamu ngerasa nggak enak?”
“Enggak, berhenti dulu sebentar aja.”
Saya masih memeluk Puput. Ketika matanya masih tertutup, saya berbisik pelan di dekat telinganya.
“Kamu ngeliat apa?”
“Hah? Apaan?”
“Kamu ngeliat ada orang lain ya?”
“Hah? Kok kamu mikir gitu?”
“Kalau iya cerita aja. Bentar, kita berhenti dulu ya, kamu bilang tapi kenapa.”
Saya menjauhkan badan saya, bergeser ke samping Puput yang sudah menarik bed cover dan badannya miring ke arah saya membelakangi jendela dan kaca rias. Kedua tangannya diletakkan di mulut dan perlahan matanya terbuka memandang saya.
Perlu beberapa menit sampai akhirnya Puput cerita. Saat memejamkan mata, tiba-tiba dia seperti berhalusinasi. Ada seorang perempuan yang terlihat seperti duduk atau lebih tepatnya menindih bagian belakang tubuh saya. Kepalanya menghadap ke bawah sementara bola matanya menatap ke arah bantal di kepala Puput, jadi pandangan mereka tidak saling bertemu.
Puput memejamkan mata beberapa kali sejak kami bercumbu dan akhirnya melakukan hubungan badan. Tiap kali dia memejamkan mata selalu ada bayangan seorang perempuan yang muncul. Mulai dari duduk di ujung tempat tidur, berjalan ke kamar mandi hingga puncaknya ada di punggung saya. Sudah seperti adegan threesome sandwich di film porno.
Tukar kamar
Sebenarnya Puput tidak yakin dengan pikirannya sampai dia membuka mata ketika ada di bawah saya. Sepersekian detik setelah membuka mata, sosok perempuan itu dapat dilihatnya dengan jelas.
Seketika mood-nya berubah dan badannya seperti kaku. Mau berteriak tapi tidak bisa. Wajah perempuan itu tidak menyeramkan menurutnya, tidak rusak, berdarah atau marah, tapi tatapan kosongnya yang membuat Puput sangat terganggu, mual, takut, heran, dan tidak percaya bisa melihat sosok sejelas itu.
Setengah jam kami duduk menghadap TV yang kami nyalakan. Kami masih terus membahas dan saya masih memeluknya yang terlihat menyisakan rasa takut dengan menggigit kuku tangannya.
Jam sudah menunjukkan angka 00:30 di layar hape saya. Kami sudah berpakaian lagi. Puput berinisiatif bertukar kamar dengan temannya selama menemani saya. Kami pun akhirnya bisa membangkitkan mood dan melanjutkan seks panas yang tertunda tadi dengan masih menyisakan banyak pertanyaan. Termasuk saya yang tidak menceritakan apa yang saya lihat saat memasuki kamar tadi.
Kami sepakat akan selesai pukul 3 pagi. Masih ada sekitar 1 jam lagi dan setelah selesai dengan urusan yang pertama, kami kembali mengobrol. Masih berusaha menghilangkan rasa takut dengan bercerita hal-hal mesum. Lalu kami mulai bercumbu lagi, berniat meneruskan agenda selanjutnya sebelum saya pulang.
Sayang, temannya menelepon, beberapa kali, membuat Puput harus berhenti dan mengangkatnya. Saya tidak tahu apa yang disampaikan temannya, tapi penjelasan Puput membuat saya terheran-heran.
Dua orang temannya mendengar pintu kaca kamar mandi diketuk 2 kali, bunyi “ceklek” seperti water heater yang sudah panas, hingga suara terkekeh pelan yang terdengar seperti tetangga kamar tertawa, tidak nyaring karena ada tembok, dan terakhir adalah bed cover yang ambles seperti diinjak atau ada sebuah benda yang diletakkan di atasnya ketika mereka berdua menonton televisi.
Seks berbayar dan gangguan
Saya pulang sebelum pukul 3 tepat. Mereka bertiga sepakat untuk tidur sekamar malam itu. Besoknya, mereka berencana pindah kamar atau mencari hotel lain.
Sementara itu, saya di dalam lift, sesaat sebelum pintu terbuka begitu tiba di lantai dasar, ada bunyi “tek, tek, tek,” dari atas kepala, plafon lift. Saya tidak terlalu takut lagi. Rasanya, pikiran sudah kembali positif dan memaklumi saja.
Namanya perbuatan mesum pasti ada saja gangguannya. Kalau tidak dari Satpol PP, orang yang tidak suka dengan perbuatan mesum, dan hobi menggerebek serta gangguan tambahan dari dunia gaib ketika seks berbayar berlangsung.
Gabungan berahi dan rasa takut memang menyeramkan.
BACA JUGA Teror 10 Hari di Jawa Timur dan kisah yang bikin sesuatu tegang lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno