MOJOK.CO – Kwitang di Jakarta Pusat menyimpan memori yang panjang. Dari dongeng Nyai Dasimah, jawara silat, hingga Bung Karno belajar Islam.
Di hadapan markas Komando Korps Marinir Kwitang, Jakarta Pusat, di jembatan di mana Sungai Ciliwung mengalir di bawahnya, Nyai Dasima dibunuh. Kisah Nyai Dasimah adalah cerita rakyat Betawi. Dia adalah gundik pria Inggris kaya raya, Edward Williams, pada masa Gubernur Jendral Raffles. Ini adalah cerita rakyat yang begitu populer bagi rakyat Betawi umumnya dan Betawi Kwitang khususnya. Sebagian orang bahkan percaya dongeng itu bersumber dari kisah nyata.
Ada 2 versi motif pembunuhan Sang Nyai. Pertama, karena pemuda Kwitang Samiun, yang menjadi gebetan Nyai Dasima, mengincar harta Nyai dan Tuan Edward. Kedua, karena istri pertama Samiun cemburu pada Dasima. Maka, si istri pertama ini mengutus Bang Puase, seorang jagoan Kwitang, untuk menghabisi Nyai Dasima. Mayat Dasima ditemukan mengambang di Sungai Ciliwung. Menurut cerita orang tua-tua, mayat Dasimah tersangkut di akar pohon di tepi sungai, persis di sebelah markas Marinir Kwitang.
Kwitang di Jakarta Pusat adalah wilayahnya para jawara silat
Kwitang merupakan satu wilayah di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Dulu, orang-orang Jakarta mengenalnya sebagai wilayah para jawara silat. Etnis Tionghoa, Arab, dan Betawi menghuni wilayah ini.
Banyak yang percaya bahwa nama Kwitang sendiri merupakan serapan dari pedagang obat merangkap sinshe dan ahli silat kuntao Tionghoa, Kwee Tang Kiam. Dia adalah kakek dari Mad Djaelani, yang pernah menjajal kehebatan silat kuntao Kwee Tang Kiam, dan memintanya mengajarkan ilmu bela diri tersebut.
Jadilah ilmu silat Kwitang, yang menggabungkan silat Betawi dan silat kuntao. Gabungan 2 aliran silat itu kemudian diajarkan dan dikenal oleh para jawara silat di banyak wilayah Betawi oleh cucu Mad Djaelani, Muhammad Zakaria Abdurachim, dikenal dengan panggilan Bang Jajak, lewat Perguruan Silat Mustika Kwitang yang didirikan sang Kakek. Bang Jajak adalah guru besar utama Mustika Kwitang dan pernah mendapat penghargaan dari MURI sebagai pesilat tertua (90 tahun) dari Betawi.
Begitu kondangnya Mustika Kwitang lantaran melahirkan banyak atlet silat nasional, bahkan internasional. Dulu, saya pernah berguru di Mustika Kwitang. Saya menyaksikan sendiri banyak jawara dan perguruan silat di Jakarta Pusat dan daerah lainnya, yang mengundang Mustika Kwitang. Tentu untuk adu kebolehan dan saling belajar jurus silat. Bang Jajak, yang berpenampilan tegap dan gagah dengan “kumis Jampang” selalu dihormati oleh para jawara silat Betawi. Dia begitu disegani.
Ketika Tugu Tani di jalan Menteng Raya akan dibangun, di atas tanah lapangan yang baru dibongkar, entah apa sebabnya, terjadi perkelahian antara anak-anak Kwitang dan Kebon Sirih. Bang Jajak yang mendapat kabar, langsung bergegas.
Dia tidak masuk ke arena perkelahian itu, tapi menuju Kebon Sirih. Dia menemui para pentolan dan jagoan Kebon Sirih, meminta agar perkelahian itu segera dihentikan. Entah bagaimana caranya, perkelahian itu memang benar-benar reda. Semua remaja yang berkelahi pulang ke rumah masing-masing.
Centeng penjaga Gunung Agung dan pelatih silat pasukan pengawal BK
Bang Jajak sendiri pernah bekerja sebagai penjaga keamanan (dulu, banyak yang menyebut profesi ini dengan istilah “centeng”) Toko Gunung Agung yang legendaris itu. Gunung Agung adalah toko buku serta keperluan sekolah dan olahraga. Terhitung sudah sangat besar dan menjadi perintis di Jakarta. Toko ini berawal pada 1953 sebagai toko sederhana yang menjual majalah, surat kabar, dan buku, milik Tjio Wie Tay (Haji Masagung).
Selain itu, Presiden Sukarno pernah mengundang Bang Jajak secara khusus ke istana. Bung Karno (BK) meminta Bang Jajak untuk memperagakan jurus-jurus silat. Selain itu, BK juga meminta Bang Jajak menjadi pelatih silat pasukan pengawalnya.
Wilayah Kwitang-Senen sejak akhir tahun 50an pernah menjadi wilayah sentra para pedagang buku baru dan bekas. Tentu saja termasuk yang bajakan. Mirip seperti shopping center di Yogyakarta. Namun, di sekitar Kwitang dan Senen para pedagang buku itu berceceran seperti kerikil di tepi-tepi jalan.
Kita sendiri tentu tidak bisa melepaskan nama Toko Gunung Agung dari situasi dan sejarah terkait perdagangan buku. Ingat salah satu adegan film Ada Apa Dengan Cinta edisi pertama? Adegan ketika Cinta ngambek dan meninggalkan Rangga di antara para penjual buku? Adegan itu diambil tidak jauh dari Toko Buku Gunung Agung, di antara para penjual buku.
Menjadi titik penting di Jakarta Pusat
Tak pelak lagi, sudah sejak awal, Toko Gunung Agung menjadi salah satu titik penting dinamika dunia literasi. Selain aktif menyelenggarakan pameran buku berskala nasional, para penyair, penulis, hingga Bung Karno sangat mendukung keberadaan titik penting ini. Apalagi di antara nama para pemegang sahamnya terdapat nama-nama Mohammad Hatta, HB. Jassin, dan Adinegoro.
Pada 15 Januari 1974, terjadi sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah. Saat itu, mahasiswa menggelar protes menolak masuknya modal asing. Tidak ada yang membayangkan kalau gerakan mereka memantik kerusuhan besar. Akibatnya, banyak toko dan kendaraan dibakar massa. Jakarta lumpuh dan kelak kita mengenalnya dengan nama Malapetaka 15 Januari atau MALARI.
Salah satu dampak terbesar dari MALARI adalah pembakaran kompleks pertokoan Pasar Senen. Kompleks tersebut terletak hanya selemparan batu dari Toko Gunung Agung.
Beruntung, adalah Bang Jajak yang mengawal Gunung Agung hingga toko tersebut tak tersentuh oleh amuk massa. Pengaruh dan wibawa Bang Jajak menyelamatkan Gunung Agung dari MALARI.
Pasar Senen dan dinamika kebudayaan nasional
Senen, Kwitang, dan Cikini yang berada dalam satu lintasan dari timur ke barat daya, adalah titik-titik penting dalam dinamika kebudayaan nasional. Di Senen, ada satu titik kumpul para seniman besar Indonesia dikenal dengan Planet Senen. Basuki Resobowo, Misbach Yusa Biran, dan Chairil Anwar adalah para seniman besar Pasar Senen.
Mundur ke arah selatan dari Planet Senen, di sisi selatan Stasiun Kereta Senen, ada gedung Wayang Orang Bharata yang dulu dikenal sebagai Adiluhung. Ke barat dari Adiluhung, ada pusat pasar buku Kramat Bunder, persis di hadapan Pasar Senen.
Persis di sebelah Kramat Bunder terdapat bioskop Grand Theater. Ini adalah salah satu bioskop legendaris di Jakarta Pusat yang dibangun Belanda pada 1920. Di seberang Grand Theater itulah Toko Gunung Agung. Termasuk para pedagang buku jalanan yang berceceran di sekitar Toko Gunung Agung. Konon, dari Taman Ismail Marzuki sambil berjalan kaki pulang ke rumahnya di Tanah Tinggi, tidak jauh dari Senen, HB. Jassin kerap berburu buku di Toko Gunung Agung dan sekitarnya.
Di tengah-tengah perkampungan Kwitang, tidak hanya terdapat perguruan silat Mustika Kwitang, tapi juga Masjid Kwitang yang bersejarah. Adalah Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi, salah satu ulama besar di Betawi dan dikenal dengan Habib Ali atau Habib Kwitang, yang mendirikan masjid tersebut.
Beliau adalah salah satu guru spiritual Bung Karno. Salah satu versi sejarah mengatakan, adalah atas saran Habib Ali, tanggal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, ditentukan.
Habib Ali yang kemudian menyelenggarakan Majelis Taklim di Masjidnya pada setiap hari Minggu (dikenal dengan sebutan “Hadir”), bisa menghadirkan ribuan jemaah dari seluruh wilayah Jakarta. Para jemaah mendengarkan tausiah sang Habib tentang kedalaman ilmu ke-Islaman, cinta damai, bukan seruan-seruan perang atau kemarahan. Dari Habib Ali kemudian turunlah para cucu dan buyut, di antaranya, para penulis, seniman dan budayawan Betawi seperti Alwi Shahab, Ali Shahab, dan Idrus Shahab.
Sejarah Kwitang yang mulai redup
Ke arah barat daya Kwitang, masuk wilayah Cikini, terdapatlah Taman Ismail Marzuki di mana Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta dan gedung-gedung kesenian berada. Bekas kebun binatang itu kemudian menjadi salah satu pusat kesenian.
Begitulah sejarah satu lintasan geografis pernah dicatat, di Kwitang, Jakarta Pusat, dan sekitarnya. Kwitang hari ini adalah Kwitang yang sudah berubah. Hanya taman Kwitang sepanjang sekitar satu kilometer di jalan Kwitang Raya, dengan puluhan pohon mahoninya yang menjadi saksi bisu sejarah.
Manajemen Toko Gunung Agung sendiri sudah menyatakan akan tutup pada akhir 2023 ini. Kerugian karena digilas jaman seolah melengkapi sejarah Kwitang yang mulai redup. Satu titik kecil yang mencatat tentang dinamika dunia literasi dan sejarah di ambang lungkrah.
Penulis: Saleh Abdullah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pos Bloc Jakarta: Mengarungi Masa Lalu dengan Cara Kekinian dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.