Sarjana Abal-abal? Memangnya Anda Bukan?

Sarjana Abal-abal? Memangnya Anda Bukan?

Sarjana Abal-abal? Memangnya Anda Bukan?

Media massa kembali menyajikan bahan tertawaan kelas menengah. Kali ini tentang wisuda abal-abal. Tentu saja saya tak mempersoalkan konten menghibur dalam media massa. Percuma dong saya berkawan dengan Wisnu Prasetya selama bertahun-tahun kalau tak paham salah satu fungsi media massa adalah menghibur umat.

Persoalannya, fungsi menghibur ini kerap dilakoni dengan menjadikan individu kelas sosial yang lemah secara ekonomi-politik sebagai bahan tertawaan bagi kelas menengah dan elit. Berita video berjudul “Wisuda Abal-abal” berlabel TV One dan disebarkan di dunia maya melalui portal Viva.co.id masuk dalam kategori ini.

Berita video berdurasi hampir tiga menit itu dimulai dengan komentar pejabat yang menyatakan adanya wisuda ilegal. Komentar tersebut diiringi musik bernada suram, tipikal bebunyian yang mengiringi kondisi gawat-darurat dalam film-film Christopher Nolan. Lalu dalam jeda beberapa detik saja, musik tadi berubah nadanya menjadi riang gembira, diiringi dengan peralihan gambar yang mulai menyoroti prosesi wisuda sekitar 1.300 wisudawan dan wisudawati yang berjubel dalam satu gedung.

Lalu kita pun sampai pada bagian yang menurut pemirsa kelas menengah paling lucu. Seorang jurnalis dengan nada simpatik yang dibuat-buat mewawancarai salah satu “wisudawati” yang bernasib malang.

Perempuan itu kebingungan ketika ditanyai IPK dan mata kuliah favorit. Terlebih lagi, ia juga linglung ketika ditanya nama universitas tempat ia baru saja lulus. Dengan kelinglungannya itu, semakin terang-benderanglah keabal-abalan kampus dan gelar sarjana yang ia peroleh.

Tentu saya menentang institusi yang menjual-beli gelar, tapi tak perlu rasanya menjadikan korbannya sebagai bahan tertawaan. Jelas sudah, framing berita video TV One yang banyak disebar di Facebook itu bias kelas dan tak menyasar permasalahan inti.

Bagi saya, “wisudawati” dalam berita video seharusnya justru dihormati sebagai korban, bukan malah dijadikan bahan tertawaan. Sebab nukleus persoalannya bukan tentang “wisudawati” yang tak tahu nilai IPK atau mata kuliah favoritnya, melainkan sistem pendidikan kita yang tak ubahnya pabrik gelar.

Jujur saja, saya pun nggak jauh beda dari “wisudawati” tadi: paling malas kalau ditanya soal IPK dan mendadak kebingungan ketika diminta menjawab apa mata kuliah favorit. Padahal saya lulus dari salah satu kampus ngetop di Indonesia yang susahnya bukan main untuk ditembus. Tapi, meski elit, toh kampus saya juga melahirkan banyak koruptor di kemudian hari. Dan yang namanya koruptor, mana bisa sih mereka maling kalau nggak menempati posisi penting? Artinya, kampus saya meluluskan banyak orang yang menempati posisi penting—yang kemudian korupsi.

Nah, melihat kondisi seperti di kampus saya tadi, situ semua mestinya mikir kalau mau menertawai sarjana yang kebingungan menjawab apa mata kuliah favoritnya. Tak perlu pula mendatangi wisuda abal-abal hingga ke Pondok Cabe. Di acara wisuda kampus-kampus tersohor macam UI, ITB, dan UGM, banyak juga tuh sarjana yang kebingungan menentukan mata kuliah favoritnya.

Di sisi lain, coba datangi deretan perkantoran di Jalan Sudirman sana. Ada banyak pekerja kelas menengah—tentu saja sarjana—yang sama sekali tak menggunakan ilmu yang mereka pelajari selama kuliah. Pada akhirnya, kegunaan kuliah di perguruan tinggi hanya supaya ijazahnya bisa dipigura dan dipajang di tembok ruang tamu. Atau minimal, ya buat cari jodoh. Maka orang-orang yang nggak nemu jodoh, kayak saya, sudah kehilangan separuh faedah pendidikan di universitas.

Jadi, ketimbang situ semua menertawai video si “wisudawati”, lebih baik mulailah menertawakan diri sendiri. Nggak usah berlagak seolah-olah kita ini bukan korban sistem pendidikan cetek yang orientasinya hanya gelar, deh. Palsu kalian semua.

Tapi ya dasar kelas menengah, paling ogah mengakui dirinya daif. Mentalitas holier than thou selalu ditenteng ke mana-mana, terutama untuk menghakimi kelas sosial yang dianggap lebih rendah.

Saya memang berasumsi bahwa mereka yang mengikuti wisuda abal-abal itu berasal dari keluarga ekonomi lemah, atau mereka tak punya privilege untuk kuliah beneran di kampus-kampus beken. Membeli gelar sarjana abal-abal adalah upaya mereka untuk naik kelas sosial. Perilaku begini jelas tak bisa dibenarkan, tapi menertawai sekaligus menuding agen-agen kecil ini sebagai biang kerok juga tak ada gunanya.

Permasalahan utamanya kan terletak pada struktur absurd yang menjadikan institusi pendidikan tak terjangkau bagi kaum miskin, dan cara kerjanya makin mirip pabrik percetakan ijazah. Itulah yang semestinya harus diurai bersama. Bukan justru haha-hihi seolah merasa diri paling suci.

Pendidikan kelas menengah juga masih banyak abal-abalnya, kok. Banyak di antara kita kelas menengah yang belajar tinggi-tinggi cuma demi gelar, buat memenuhi ekspektasi orang tua, dan ilmunya pun nggak bermanfaat sama sekali buat orang lain—malah nggak sedikit juga yang ilmunya mendatangkan mudarat bagi orang banyak. Tertawai saja itu dulu, sebelum menertawai wisuda abal-abal.

Oh, nggak mampu? Ya wajar, sih. Menertawakan diri sendiri memang membutuhkan lebih banyak keberanian ketimbang menertawai orang.

Exit mobile version