MOJOK.CO – Sulit rasanya memahami cara berpikir para pejabat kita yang ada di KPI dan KPK belakangan ini. Terutama kalau terkait soal isu Saipul Jamil.
Ada apa dengan republik ini?
Saipul Jamil adalah seorang predator seksual. Anda tahu artinya predator? Pemangsa. Dia memangsa anak-anak remaja yang diundang menginap di rumahnya untuk sebuah acara televisi di mana dia menjadi bintangnya.
Anak-anak remaja itu tertarik karena Saipul Jamil orang terkenal. Dan dari situlah dia bebas “memangsa” mereka. Dalam hal ini, dia melecehkan mereka secara seksual. Jangan lupa, tuduhan-tuduhan itu semua terbukti di pengadilan.
Ini belum ditambah dengan usaha Saipul Jamil untuk menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebesar Rp250 juta untuk kasus kekerasan seksual yang sidang disidangkan kala itu. Sudahlah predator seksual, penyuap kasus hukum di Indonesia pula. Luar biasa.
Orang mungkin akan berpikir, pantas kah Saipul Jamil mendapat hukuman sekeras itu bahkan begitu dia keluar dari penjara?
Kalau Anda tidak tahu bagaimana trauma menderita pelecehan dan kekerasan seksual, Anda mungkin akan berpikir demikian.
Untuk para korbannya, pelecehan ini meninggalkan trauma mendalam. Seringkali mereka merasa tidak berharga dan membenci tubuhnya sendiri. Banyak yang menderita depresi dan kemudian bunuh diri.
Saya tahu persis ini karena saya pernah bicara dengan beberapa dari mereka. Sungguh sulit keluar dari situasi ini.
Saipul Jamil sudah masuk penjara. Namun para produser televisi menganggapnya sudah menerima ganjaran, sehingga para produser ini merancang “come back” si Saipul Predator Seks ini.
Tidak ada sedikit pun dalam pikiran mereka tentang korban. Tentang trauma. Tentang depresi. Tentang bagaimana orang merasa dirinya kotor sesudah disentuh Saipul Jamil.
Di balik semua kepedihan dan kedegilan itu, hari ketika saya menulis ini saya membaca satu berita yang malah lebih degil lagi. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dikutip oleh media mengatakan bahwa tidak masalah Saipul tampil di TV. Saipul bahkan dianggap layak menjadi “edukator” untuk kejahatan seksual.
Saya tidak tahu apa maksudnya. Hari ini saya membaca bahwa Saipul tidak boleh tampil menghibur. Ketua KPI juga mengatakan bahwa Saipul harus dibatasi gerak-geriknya. Dibatasi tapi boleh tampil di publik? Sebagai edukator? Sebagai bagian dari edukasi?
Saya sungguh tidak mengerti dengan cara berpikir para pejabat kita akhir-akhir ini.
Beberapa waktu lalu, seorang komisioner KPK mengatakan bahwa narapidana “survivor” (baca: penyintas) korupsi alias koruptor akan menjadi instruktur yang memberi penyuluhan tentang bahaya korupsi!
Waktu itu, saya sempat berpikir, “Oh, jadi koruptor bisa mengajarkan soal korupsi ke anak-anak si komisioner ini?” atau, “Oh, jadi pemerkosa bisa mengajarkan soal pemerkosaan kepada anak-anak si komisioner ini?”
Sampai kemudian ada pernyataan Ketua KPI itu, pikiran saya tiba-tiba menjadi kenyataan. Bahkan dalam imajinasi paling liar, Saipul Jamil bisa saja menjadi penyuluh untuk KPI dan KPK sekaligus.
Pertama, pengejewantahan ide dari Ketua KPI agar Saipul bisa menjadi penyuluh akan bahayanya predator seksual di siaran televisi.
Kedua, soal upayanya menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara—yang artinya Saipul Jamil layak juga diberi label “penyintas korupsi” versi KPK, dan bisa mengedukasi soal bahaya korupsi (atau suap).
Saya tidak tahu bagaimana orang-orang dengan pikiran keblinger seperti ini sampai ke puncak-puncak kekuasaan di negeri ini. Mereka adalah pembuat kebijakan. Dalam hidup bernegara mereka adalah orang-orang yang membuat “common good” atau kebaikan bersama untuk semua orang di negara ini.
Tidakkah mereka mengerti makna dari edukasi atau pendidikan? Bukankah untuk mengerti kejahatan kita tidak perlu belajar dari penjahat? Kita punya ahli-ahli yang tahu semua hal tentang kejahatan mulai dari sebab musababnya hingga ke taktik dan tekniknya?
Para ahli itu bukan penjahat. Umumnya, mereka orang baik-baik. Bahkan banyak edukator didiskualifikasi dari jabatannya sebagai pendidik kalau ia berbuat kejahatan.
Bukankah pelaku kejahatan itu harus disisihkan dari hidup masyarakat umum karena ia merusak “civic bonum” itu sendiri? Lantas, mengapa orang harus belajar dari dia?
Pejabat-pejabat kita yang punya pikiran keblinger ini bahkan ingin membaliknya. Mereka ingin penjahat menjadi edukator? Ide yang menurut saya sinting setengah mati. Namun pejabat-pejabat itu ada, berlipat ganda, dan bahkan makin berkuasa.
Di Amerika Serikat, sejauh yang saya tahu, predator seksual seperti Saipul Jamil itu akan dicatat domisilinya. Kalau Anda mencari di mesin pencari dan mengetik “registered sex offenders” dan sebut nama kota dan negara bagian, niscaya Anda akan mendapati nama dan alamat mereka. Ini adalah kejahatan yang serius!
Orang-orang seperti Saipul Jamil itu berbahaya karena menurut data dia punya kecenderungan untuk mengulang perbuatannya. Itulah sebabnya orang-orang seperti dia diumumkan ke publik.
Sialnya, harga properti di sekitar tempat tinggal orang-orang seperti itu cenderung turun. Bahkan sesudah dia menjalani hukuman pun residivis tindak pelecehan seksual masih membikin susah masyarakat kebanyakan.
Kembali ke ide untuk menjadikan para penjahat ini, entah dia penjahat seksual atau maling/garong uang milik masyarakat, sebagai edukator atau bagian dari edukasi membuat kita bertanya-tanya: bagaimana pikiran keblinger itu lahir?
Saya mencurigai dua hal. Pertama, kekuatan para penjahat itu sendiri dengan dengan segala macam daya dukungnya.
Saipul Jamil didukung oleh industri entertainment negeri ini dan stasiun-stasiun televisi. Bahkan KPI, yang oleh publik hanya dikenal dengan kebiasaannya melarang dan menyensor tiba-tiba kini berbalik menjadi lembaga yang memperbolehkan.
Untuk KPK, saya menduga bahwa semua koruptor ini adalah orang-orang berpengaruh. Mereka adalah para politisi. Para pengelola dan pemain kekuasaan.
Dalam kondisi di mana independensi dan kekuatan KPK yang semakin keropos dimakan kanker dari dalam, adakah sesuatu yang mengherankan kalau mereka berusaha menjilat kepada orang-orang hukuman yang mendudukkan para komisioner ini di tempat mereka sekarang?
Yang kedua adalah kegagalan pendidikan di negeri ini sudah pada level yang amat menyengsarakan. Dari manakah para pejabat ini belajar? Dari para penjahat?
Dilihat dari ide-ide KPI dan KPK belakangan ini, saya mau tidak mau seperti dipaksa menduga demikian.
Sungguh ada yang sangat salah di republik ini sehingga orang-orang yang seharusnya menegakkan kebaikan umum tersebut justru berpikir untuk memutihkan kejahatan.
Terus terang, saya cemas menyadari itu. Cemas. Cemas sekali. Tidak tahu kalau Anda.
BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara ‘Survival of The Fittest’ dan tulisan Made Supriatma lainnya.