Rugi Buka SPBU di Papua? Kalau DPR Menantang, Korporasi Bisa Menantang Balik karena DPR Cuma Bisa Melempar Retorika

Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong MOJOK.CO

Ilustrasi Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAnggota DPR menantang pengelola SPBU swasta buka di Papua. Halah, Nggak nyambung dan cuma retorika omong kosong saja.

Anggota DPR menebar tantangan yang sangat tidak relevan. Saat itu, Komisi XII DPR sedang tatap muka dengan beberapa pengelola SPBU swasta. Bahasan dari tatap muka ini adalah usaha menyelesaikan masalah kelangkaan BBM. Pengelola swasta yang hadir antara lain dari Shell Indonesia, BP-AKR, Vivo, Exxon, dan AKR Corporindo.

Alfons Manibui, Anggota Komisi XII DPR, menyoroti kelangkaan BBM di dapilnya, yaitu Papua Barat. Padahal, wilayahnya memiliki kekayaan migas seperti kilang LNG Tangguh yang dikelola oleh BP, berlokasi di Teluk Bintuni. Tiba-tiba, Alfons menantang pihak swasta.

Coba Shell, BP, atau Vivo bangun SPBU di Papua. Berani nggak? Pasti nggak mau, karena rugi.”

Tantangan kayak gini jatuhnya nggak pada tempatnya. Sok merasa lagi sparing di ring tinju, tapi lawannya bukan petarung, melainkan korporasi multinasional.

Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, mengaku sudah membuka skema impor business to business (B2B) antara Pertamina dan perusahaan swasta. Bahkan Pertamina menyatakan tidak akan mengambil margin dalam kondisi darurat. Tetapi tetap saja, masalah distribusi BBM di kawasan timur Indonesia tidak sesederhana hitung-hitungan kuota impor.

Rakyat yang jadi korban

Mari kita bicara jujur. Papua adalah wilayah dengan biaya logistik yang tinggi. Jalan raya terbatas, sebagian daerah harus ditempuh lewat jalur udara atau laut, harga angkut mahal, infrastruktur belum merata. 

Kalau perusahaan SPBU swasta menghitung dengan kalkulator, hasilnya memang merah. Margin tipis, demand kecil, ongkos distribusi besar. Dari sisi bisnis murni, “rugi” itu bukan sekadar alasan, tapi kenyataan.

Namun, dari sisi warga, soal ini bukan sekadar neraca keuangan. Ketiadaan SPBU artinya harga bensin melambung, aktivitas ekonomi terhambat, dan akses mobilitas warga terganggu. 

Motor yang dipakai anak sekolah, perahu nelayan, transportasi logistik, semua bergantung pada bensin dan solar. Inilah mengapa Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 berbicara jelas. Cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan publik.

Kalau korporasi SPBU balik menantang

Tapi mari kita balik sudut pandang. Bagaimana jika korporasi yang ditantang DPR justru balik menantang? Misalnya Shell berkata: “Kami siap bangun SPBU di Papua, tapi negara siapkan dulu jalannya. Kami siap invest, tapi tolong pastikan ada pelabuhan yang layak. Kami mau ambil risiko, asal ada jaminan keamanan, listrik stabil, dan bandara bisa diakses.”

Pertanyaan ini tidak salah. Karena pada dasarnya, investasi swasta selalu mencari kepastian. Kalau negara mengeluh swasta enggan masuk Papua, wajar juga bila swasta balik mengeluh: infrastruktur dasar yang jadi tanggung jawab pemerintah saja masih bolong. 

Jalan Trans Papua sering rusak, jaringan listrik terbatas, distribusi logistik terhambat. Jadi, siapa yang seharusnya lebih dulu memenuhi kewajiban?

Retorika politik dan PR infrastruktur

Pernyataan DPR tadi sebenarnya bisa dibaca sebagai retorika politik yang populis. Mereka melempar “bola panas” ke perusahaan agar publik melihat swasta sebagai biang keladi. 

Padahal, negara juga punya andil besar dalam menciptakan ekosistem yang memungkinkan investasi hadir. Tanpa jalan yang layak, tanpa pelabuhan memadai, tanpa jaminan keamanan, bahkan perusahaan paling idealis sekalipun akan berpikir dua kali untuk buka SPBU di Papua.

Ini mirip teori yang dijelaskan Anne Applebaum tentang “impunitas” dalam jejaring otoritarian. Elite sering bicara seolah-olah pihak lain yang salah, padahal akar masalah ada pada lemahnya tata kelola. 

Dalam konteks Papua dan SPBU, “tantangan DPR” bisa terbaca sebagai cara politisi melempar beban ke swasta. Padahal negara belum menuntaskan PR infrastrukturnya.

Pasar enggan, negara lamban

Dari kaca mata ekonomi politik, ada dilema klasik. Jadi, pasar enggan masuk karena rugi, negara lamban hadir karena biaya besar. 

Hasilnya? Warga jadi korban ganda. Rakyat Papua tetap harus beli bensin eceran mahal, tetap antri panjang di SPBU yang stok-nya terbatas. Dan tetap saja mereka menanggung ongkos infrastruktur yang tak kunjung beres.

Kalau begitu, pertanyaan lebih pentingnya. Apakah adil jika akses energi di Papua diperlakukan dengan logika pasar semata? 

Konstitusi kita jelas menulis soal keadilan sosial. Itu artinya, negara tidak boleh sekadar menjadi wasit, tapi harus turun sebagai pemain utama. Membangun jalan, pelabuhan, jaringan distribusi. Itulah cara negara membuat wilayah yang dianggap “rugi” menjadi masuk akal bagi swasta.

Peran civil society dan pengawasan publik dalam konteks SPBU di Papua

Dalam konteks ini, civil society juga punya peran. Tekanan publik bisa memaksa DPR berhenti hanya melempar retorika. 

Komunitas lokal bisa mendorong lahirnya skema subsidi logistik atau SPBU mini. Akademisi bisa memberi masukan agar pelayanan energi dipandang sebagai kewajiban universal, bukan komoditas opsional. 

Karena kalau semua diam, risiko terbesar adalah “penangkapan institusi”. Kebijakan hanya jadi permainan elite politik dan korporasi.

Untuk siapa negara ada?

Akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal. Kalau DPR menantang swasta dengan kalimat, “pasti nggak mau karena rugi,” wajar bila swasta balik menantang: “pasti nggak bisa kalau infrastrukturnya tidak ada.” Pada titik ini, publik berhak bertanya: siapa yang seharusnya lebih dulu memenuhi tugas?

Negara dibangun bukan untuk menghitung laba-rugi semata, tapi untuk menjamin hak dasar warganya. Kalau negara absen, dan swasta enggan, rakyat Papua tetap yang paling rugi. Jadi, untuk siapa negara ini ada kalau akses BBM di tanah Papua masih ditentukan oleh untung-rugi di atas kertas?

Penulis: Fuadi Afif

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Papua, Irian, dan Segenap Atribut Primitif yang Disematkan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version