MOJOK.CO – Ramalan Jayabaya yang sangat terkenal kadung dianggap sebagai ramalan yang dibuat oleh Raja Jayabaya. Gagasan ini bukan hanya salah, sosok raja peramal bernama Jayabaya kemungkinan besar tokoh fiktif.
Orang Indonesia punya rekam jejak sangat panjang soal ketertarikan dan keakraban dengan ramalan. Termasuk pula mengakrabi para sosok linuwih yang sanggup menjadi pembagi firasat hingga juru nubuat. Dalam 25-20 tahun terakhir, orang Indonesia mengenal silih berganti sosok-sosok paranormal media darling hingga seleb medsos. Mendiang Mama Lauren, Almarhum Mbak You, lalu Mbah Mijan, juga Wirang Birawa adalah beberapa contoh utamanya.
Ramalan Jayabaya yang legendaris
Jauh sebelum era paranormal wira-wiri di layar kaca, orang Indonesia lebih dahulu mengenal ramalan legendaris Jangka Jayabaya (dibaca “Jongko Joyoboyo”; jangka berarti ‘ramalan’). Status legendaris Ramalan Jayabaya di antara masyarakat Indonesia bisa disepadankankan dengan pesona magis baris-baris kuatren nubuat karya Michel de Nostredame alias Nostradamus, astrolog Prancis yang hidup 1503-1566 Masehi.
Dalam kepercayaan yang menyebar luas di masyarakat Indonesia, Ramalan Jayabaya dipercaya telah berusia sekitar 8 abad. Sejumlah peristiwa bersejarah yang terjadi di Jawa dan Indonesia konon telah dicantumkan dalam bentuk kalimat tersandi di ramalan ini.
Beberapa contohnya sangat populer. Misalnya pembangunan sistem perkeretaapian di Jawa oleh Belanda pada medio abad XIX, konon telah disebutkan dalam Ramalan Jayabaya lewat kalimat “Tanah Jawa kalungan wesi” atau ‘Pulau Jawa akan berkalung besi’.
Lalu kekalahan Belanda dari Jepang pada 1942, disusul kegagalannya menguasai Indonesia lewat operasi militer sepanjang 1945-1949, hingga eksodus orang-orang kulit putih dan indo usai kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1950-an. Konon rangkaian kejadian yang memungkinkan Indonesia merdeka ini pun telah disebut secara tersirat dalam larik Ramalan Jayabaya, “Kebo bulé mulih menyang kandangé“.
Peristiwa penting lain yang dianggap telah diprediksi ramalan ini adalah periode kekuasaan Jepang yang singkat, serta geger gede G 30 S.
Bukan cuma sebagai bahan untuk dicocokkan dengan masa depan, ramalan ini juga dijadikan petunjuk untuk membentuk depan itu sendiri. Konon, aneka tindakan kaum pergerakan nasionalisme Indonesia sepanjang paruh pertama abad XX, juga kesediaan mereka berkompromi dan bekerja sama dengan Jepang pada masa pendudukan yang singkat, sedikit banyak dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap Ramalan Jayabaya. Ingat pula bahwa Pangeran Diponegoro sepanjang berkecamuknya Perang Jawa 1825-1830 mendaku bergelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra. Ini petunjuk bahwa beliau terpengaruh gagasan mesianik Jangka Jayabaya.
Energi serta inspirasi yang ditransferkan Ramalan Jayabaya kepada para pegiat perjuangan kemerdekaan Indonesia memang besar. Dampaknya kurang lebih bisa diekuivalenkan dengan bagaimana berbagai kekhalifahan Islam, khususnya Ottoman, begitu bersemangat menaklukkan Konstantinopel karena dianggap menggenapkan nubuat Nabi Muhammad.
Misteri pencipta Ramalan Jayabaya
Bahwa Jangka Jayabaya diyakini luas berumur sekitar 8 abad ada sangkut pautnya dengan kepercayaan bahwa pencipta ramalan tersebut adalah Maharaja Jayabhaya, penguasa Kemaharajaan Panjalu-Kadiri sekitar 1135-1157 M. Keyakinan itu lahir dari silogisme yang kurang lebih begini:
Pertama, selama ratusan tahun, budaya Jawa mengenal adanya sebuah ramalan bernama Jangka Jayabaya.
Kedua, para filolog, arkeolog, dan epigraf berhasil mengenali dari lontar dan prasasti bahwa pada pertengahan abad XII Masehi, ada seorang maharaja bergelar Jayabhaya.
Dari dua fakta itu, konklusi yang ditarik banyak orang lalu ditularkan serta dipelihara sampai sekarang ialah: Jangka Jayabaya dibuat oleh Maharaja Jayabhaya.
Namun, apakah silogisme tadi bisa dipertanggungjawabkan? Benarkah Maharaja Jayabhaya dari Panjalu-Kadiri dapat disimpulkan sebagai pencipta Jangka Jayabaya? Dalam tulisan ini, jawaban kedua pertanyaan itu adalah tidak.
Ada dua buku yang memberi petunjuk bahwa silogisme yang mencoba menautkan Jangka Jayabaya dengan Maharaja Jayabhaya sejatinya lemah buhulannya.
Buku pertama adalah The History of Java-nya Thomas Stamford Raffles. Buku tersebut adalah semacam inventaris kebudayaan hingga pengetahuan sejarah yang diketahui orang Jawa hingga awal abad XIX. Buku kedua adalah Kalangwan-nya P.J. Zoetmulder yang bolehlah disebut sebagai kumpulan ringkasan karya-karya sastra Jawa Kuna, termasuk karya-karya sastra dari kurun pemerintahan Maharaja Jayabhaya.
Membalik anggapan umum, kepingan-kepingan data dalam The History of Java dan Kalangwan menunjukkan bahwa Jayabhaya sebagai sosok maharaja historis dan Jayabaya yang seorang raja sekaligus peramal ulung tak serta-merta merujuk pada tokoh yang sama.
Saya ada dalam pendapat bahwa keduanya orang yang berbeda. Lebih ekstrem, saya meyakini dengan dukungan bukti, hanya salah satu dari mereka yang pernah hidup di dunia ini, sementara sosok lainnya merupakan tokoh fiktif. Sebab, dari komparasi berbagai sumber, tokoh Jayabaya yang raja besar-peramal ulung ini identifikasinya tidak sinkron, bahkan sangat beda, dengan Jayabhaya yang disebutkan prasasti-prasasti dan kakawin-kakawin era Panjalu-Kadiri.
Sosok I: Maharaja Jayabhaya penguasa Panjalu-Kadiri
Jayabhaya adalah tokoh historis. Ia adalah maharaja/prabhu di Panjalu-Kadiri, bertakhta selama dua puluh dua tahun dari 1135 sampai 1157 M. Sumber sejarah pendukung kesejarahan tokoh Jayabhaya sebagai sosok riil ada dalam bentuk prasasti-prasasti yang terbit atas titahnya, juga kitab-kitab sastra berformat kakawin yang memuat pujian kepadanya selaku patron penulisan.
Dua bukti terpenting mengenai keberadaan Jayabhaya adalah Prasasti Hantang atau Ngantang dari tahun 1135 M, lalu Kakawin Bharatayudha anggitan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang rampung penulisannya pada 1157 M.
Namun, tokoh Jayabhaya historis ini tidak selalu ada dalam kesadaran dan memori kolektif orang Jawa. Kenangan tentangnya pernah “hilang” dan baru muncul kembali sekitar 150-100 tahun terakhir, berkat kerja perunutan dan rekonstruksi para sarjana sejarah dan sastra dari Eropa maupun Indonesia sejak pertengahan abad XIX.
Sebelumnya, kurang lebih 100 tahun lalu, dan agaknya telah berlangsung mulai dari sekitar runtuhnya Majapahit (akhir abad XV sampai pertengahan abad XVI), yang ada dalam kesadaran dan memori kolektif orang Jawa adalah Jayabaya yang seorang raja besar sekaligus peramal ulung, bukan Jayabhaya yang memerintahkan penulisan Prasasti Hantang dan Kakawin Bharatayudha.
Sosok II: Sri Aji Jayabaya sang raja-peramal
Dalam legenda/memori kolektif orang Jawa, sang raja-peramal lazim disebut dengan gelar Sri Aji Jayabaya. Ada setidaknya dua versi tentang kurun bertakhta sosok ini. Kedua versi tersebut direkam Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (terbit 1817), buku hasil pengumpulan data selama ia menjabat sebagai Letnan Gubernur Jawa serta Sumatera pada 1811-1816. Dua versi masa bertakhta sang raja bisa ditengok dalam 2 dari 3 tabel silsilah raja-raja Hindu di tengah buku ini.
Versi pertama: menurut Naskah Daerah Jawa Bagian Timur, Sumenep, dan Bali yang dikumpulkan Natakusuma, pejabat Panembahan Sumenep, Aji Jayabaya memerintah pada 701-756 tarikh Jawa/Saka, atau setara 779-834 M. Di sini ia bukan disebut sebagai maharaja Kediri/Kadiri, melainkan raja Medang Kamulan.
Versi kedua: menurut Naskah Ramalan Aji Jayabaya yang pada 1820-an dimiliki Susuhunan Pakubuwana IV dari Surakarta, Aji Jayabaya memerintah Kediri mulai 800 Jawa/Saka atau 878 M. Kapan pemerintahannya berakhir tidak disebut di sini.
Terlalu rancu untuk dianggap satu orang yang sama
Dua versi masa pemerintahan Sri Aji Jayabaya maupun nama kerajaan yang diperintahnya jelas sekali tidak cocok dengan rentang masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya menurut sumber prasasti dan kakawin era Panjalu-Kadiri. Ada selisih 3,5-4,5 abad.
Ketidakcocokan lainnya ialah prasasti dan kakawin abad XII tidak pernah menyebut Maharaja Jayabhaya memiliki kemampuan linuwih sebagai peramal, apalagi menulis kitab ramalan.
Dari sekian banyak kitab kakawin warisan Panjalu-Kadiri yang sudah ditemukan, tidak satu pun memuat ramalan hasil penulisan Maharaja Jayabhaya. Para pujangga susastra Panjalu-Kadiri seperti Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan seterusnya tidak pula pernah mencatat Maharaja Jayabhaya mampu meramal ataupun menulis suatu kitab ramalan.
Sepanjang zaman Jawa Kuna (abad V-XVI), bukti prasasti dan kitab zaman itu cuma mencatat satu maharaja bergelar Jayabhaya, yakni yang bertakhta selama 1135-1157 di Panjalu-Kadiri. Tambah lagi, jika mengikuti informasi versi legenda dan naskah yang ditulis pihak Jawa maupun Madura sesudah runtuhnya Majapahit, daerah Kediri sekitar 878 M masih belum menjadi daerah pusat pemerintahan suatu kemaharajaan. Jangankan menjadi kerajaan kecil, dihuni banyak penduduk pun belum. Pada medio 800-an Masehi tersebut, pusat pemerintahan Jawa masih di Jawa Tengah bagian selatan: Kedu serta Yogyakarta. Merujuk catatan prasasti, daerah di Jawa Timur yang sekitar abad VIII dan abad IX telah cukup banyak dihuni serta terasa geliat kegiatan pemerintahannya hanyalah dataran tinggi Malang dan delta Sungai Brantas, bukan Kediri.
Dari situ saja, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa Sri Aji Jayabaya lebih merupakan tokoh legenda dengan catatan historis lemah dan rancu. Ia bukan benar-benar tokoh yang sama dengan Maharaja Jayabhaya yang kesejarahannya memiliki dukungan mencukupi dari prasasti dan kakawin. Kesejarahan soal Maharaja Jayabhaya memerintah Kadiri/Kediri selama 1135-1157 M lebih memiliki bukti andal daripada kesejarahan Sri Aji Jayabaya yang berkuasa di Kediri pada 878 M.
Siapakah Sri Aji Jayabaya?
Tokoh Sri Aji Jayabaya, sang maharaja berkemampuan linuwih sebagai peramal dalam memori kolektif orang Jawa, agaknya terbentuk pada abad-abad setelah Majapahit runtuh. Ia memang berembrio dan terinspirasi sosok Maharaja Jayabhaya, tapi sudah tak punya lagi sumber rujukan tertulis untuk narasi yang akurat.
Pembentuk memori kolektif yang cenderung berbasis legenda dan bukannya berdasar fakta historis ini terdeteksi dalam laporan Tome Pires dari masa 1513-1515 yang dibukukan dengan judul Suma Oriental.
Di masa awal 1500-an itu, sebagaimana dicatat oleh Pires, sejarah Jawa sudah menunjukkan penyimpangan riwayat Jayabhaya. Kronologi sudah bergeser, silsilahnya jadi melompati beberapa generasi sekaligus. Indikasinya, Jayabaya dalam memori kolektif orang Jawa awal 1500-an sudah menjadi ayah Ḍangḍang Gĕṇḍis atau Keṛtajaya, pun masih dianggap kakek dari Jayakatwang.
Kerancuan narasi kronik Jawa hasil penulisan pasca-runtuhnya Majapahit, khususnya lagi setelah masuk zaman Mataram, bukan barang baru. Terlebih ketika yang ditulis adalah tokoh-tokoh zaman Jawa Kuna, yang beragama Hindu-Buddha; tidak hanya terjadi pada Sri Aji Jayabaya.
Praktik semacam ini lazim dilakukan pihak Jawa dan terbilang jamak ditemui dalam naskah semacam Babad Tanah Jawa dan serumpunnya, yang merupakan arustama pengetahuan “sejarah” orang Jawa hingga abad XIX berakhir. Contohnya tokoh Ranggalawe yang dalam Serat Damarwulan bukan muncul di fase awal Majapahit, tapi malah di fase surut kemaharajaan itu. Gajah Mada dalam Babad Tanah Jawa juga jadi tokoh minor, tidak memainkan peran penting.
Dugaan saya, naskah Ramalan Jayabaya kepunyaan Susuhunan Pakubuwana IV itu adalah karya pujangga Kraton Surakarta. Kemungkinan naskah itu ditulis pada sekitar peralihan abad XVIII ke XIX, berbarengan dengan merebaknya bayangan apokaliptik tentang siklus 100 tahun sekali yang biasanya membuat penguasa Jawa waswas bahwa akan ada malapetaka menimpa.
Sudah ada pendapat ahli yang menjawab siapa penulis asli Ramalan Jayabaya tersebut. Saya mengamini teori Nancy K. Florida serta Sri Margana bahwa banyak bagian dari Ramalan atau Jangka Jayabaya yang dikenal saat ini sejatinya adalah karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873 M), pujangga besar terakhir Kraton Surakarta.
Lewat teori ini, dapat dirasionalisasi mengapa dalam ramalan tersebut bisa ada sejumlah istilah yang menggambarkan pengaruh bahasa Arab maupun penjelajahan samudera selepas abad XV. Menjadi bisa dipahami pula penyebab “ramalan” tersebut dapat menggambarkan perkembangan teknologi kereta api. Ranggawarsita memang hidup pada abad ketika kereta api sudah ditemukan. Ia juga berkolega dengan sejumlah orang Belanda, yang dapat menceritakan kepadanya berbagai perkembangan teknologi dari Eropa.
Pada akhirnya, penelusuran atas naskah Jangka Jayabaya cenderung berpangkal pada Kitab Musarar yang bermuasal dari era Sunan Giri Prapen. Era tersebut adalah sekitar awal 1600-an Masehi “saja”. Artinya, usia “ramalan” itu lebih muda sekitar lima abad dari era Maharaja Jayabhaya.
BACA JUGA Selain Ken Arok, Milenial Emang ‘Doyan’ Kena Tipu Penguasa dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.