MOJOK.CO – Kang Jati adalah sosok sahabat yang hangat dan sangat peduli orang lain. Selamat jalan, Kang. Beristirahatlah dalam damai.
Sejak ibu saya meninggal dunia, kematian atau kabar tentang kematian, tak terlalu bikin hati rontok. Tapi ada beberapa nama yang membuat saya linglung, salah satunya adalah kabar meninggalnya sahabat serta senior saya: Raharja Waluya Jati.
Pagi tadi (Selasa, 8/8) pesan singkat masuk dari kawan dekat saya, yang juga kawan dekat Kang Jati (begitu saya memanggil almarhum): “Mas, Mas Jati meninggal dunia. Pukul 05.03. Barusan.”
Saya hanya sempat menjawab dengan: “Hah!”
Dan saya langsung duduk tepekur di samping tempat tidur. Cuma diam. Lalu memberi pesan ke beberapa grup WA soal kabar tersebut. Selebihnya diam. Linglung. Sama linglungnya seperti ketika sehari sebelumnya diberi kabar oleh sobat saya, Faiz Ahsoul, yang memberi kabar kalau Kak Nirwan Arsuka juga meninggal dunia. Tidak tahu mesti berbuat apa.
Ketika Kali pamitan berangkat sekolah, barulah saya bisa menangis. Saya beritahu kepada bocah itu, salah satu sahabat bapaknya meninggal dunia.
“Pakde Jati itu siapa, Pak?”
“Dulu yang menghadiahi Kali tenda untuk kemping saat kamu berusia 7 tahun.”
Ibu Kali yang juga kenal Kang Jati juga terkejut. Sampai bingung mau melakukan apa. Dia cuma duduk di sofa tengah. Sementara saya memeluk Kali di kamar, berusaha mencari kedamaian dengan cara itu.
Aktivisme Kang Jati dan Nezar Patria
Ketika menjadi aktivis, saya tak kenal benar dengan Kang Jati. Dia sudah “bertugas” di Jakarta. Di angkatan saya, dia memang tidak “semelegenda” Nezar Patria.
Sekali dua saya mendapati keduanya di kampus. Bang Nezar lebih mirip Che Guevara. Sangat serius dan misterius. Sebentar di kampus, lalu menghilang. Kharismanya kuat memancar. Sementara Kang Jati terlihat masih terlihat ketawa-ketiwi dengan senior yang lain, terutama kalau ketemu Hamzah “Hamcrut”.
Ketika tahu keduanya diculik oleh Tim Mawar, saya sudah menjadi aktivis dengan jam terbang yang lumayan. Saya mendapati situasi yang tegang, emosional, dan penuh kemarahan di lingkaran teman-teman aktivis.
Ketika Soeharto lengser, saya tidak langsung akrab dengan kedua senior tersebut. Baru ketika Bang Nezar kuliah di Inggris, dia dengan rendah hati mengirim saya email duluan. Saat itu, dia menyukai cerpen-cerpen saya. Dan saat itu pula kami menjadi sangat akrab. Apalagi setelah balik dari Inggris, jika saya sedang di Jakarta, kami bisa ngobrol sampai berjam-jam sekalipun disambi bekerja.
Bang Nezar jenis orang yang sangat profesional. Misalnya kami janjian ngopi, dia akan bilang bisa, “Tapi aku sambil kerja ya, Thut.” Maksudnya bekerja ya menyunting berita, memberi arahan pada para wartawannya, dan lain sebagainya. Maklum, posisinya saat itu selalu menjadi pemred di beberapa media.
Sementara kalau Kang Jati lebih sering saya temui di kantornya: Voice of Human Right (VHR). Dia menjadi direktur di lembaga yang menyuarakan hak asasi kemanusiaan, dan pemrednya juga senior saya yang lain di Fakultas Filsafat, Mas FX Rudy Gunawan.
Kalau mampir di kantornya, pertanyaannya selalu sama: “Wis mangan, rung?”
Dia tampaknya tahu, orang seperti saya ini entah karena harus ngirit atau memang nggak punya uang, hendak dipastikan dulu apakah saya sudah makan atau belum. Baru setelah itu kami ngobrol.
Ide Kang Jati yang selalu di luar dugaan
Semua yang mengenalnya pasti tahu, Kang Jati sosok yang humoris dan mudah akrab dengan semua orang. Saya kalau sudah bertemu dia, isinya hanya ketawa ngakak melulu. Tapi ide-idenya kadang di luar dugaan. Bahkan sering saya anggap melampaui zaman.
Karena sering bertemu dengan ketiga senior saya dari Fakultas Filsafat UGM itulah, akhirnya kami membuat lembaga bernama Indonesia Berdikari. Dan Kang Jati yang mengusulkan satu nama lagi untuk masuk, yaitu Panel Barus (Sekarang Bendahara Umum Projo).
Usulan itu juga unik. Bayangkan, ada 4 anak Filsafat berkumpul dengan berbagai latar pengalaman, tiba-tiba Kang Jati mengusulkan nama lain yang jauh dari orbit kami. Panel adalah “junior” saya di LMND. Dia bukan UGM. Tidak akrab dengan gaya orang Yogya.
Saya masih ingat argumennya saat itu: “Nanti kamu yang memimpin lembaga ini, Panel yang akan mem-backup. Lembaga ini harus mandiri secara finansial dan itu butuh Panel!”
Saya makin terkejut. Berarti Kang Jati secara tidak langsung menunjuk saya sebagai direktur. Soal Panel, saya tidak keberatan karena saya juga dekat dengan dia. Tapi soal jadi direktur lembaga baru yang berada di Jakarta? Saya perlu berdebat sedikit dengan Kang Jati dan Mas Rudy. Akhirnya dicapai kesepakatan, saya memimpin lembaga itu di awal saja. Membangun pondasi. Setelah itu, direktur selanjutnya dipikir nanti.
Masa-masa Indonesia Berdikari
Benar, akhirnya Kang Jati bisa “memaksa” saya untuk tinggal di Jakarta. Dan alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan tugas dengan cukup baik. Indonesia Berdikari berkembang dari nol menjadi lembaga yang cukup menjanjikan.
Selama memimpin lembaga itulah, hampir setiap hari saya bertemu dengannya. Dia sering mampir ke kantor. Kami banyak diskusi.
Tapi dari situ saya juga tahu, Indonesia Berdikari tetap dikelola gaya Yogya. Laba usaha selalu lebih sering dipakai untuk menolong teman. Sebagai manusia, tentu saya suka menolong teman. Tapi selaku direktur sebuah lembaga, saya sering puyeng.
Saya harus mengatur keuangan agar inisiatif yang berhamburan dalam menolong teman-teman kami ini bisa terfasilitasi. Sebagai gambaran, saya pernah menugaskan seorang karyawan kantor untuk mengawal dan menunggui seorang aktivis senior yang sedang sakit. Sebetulnya, kalau dilihat dari “kacamata bisnis”, ini tugas yang tidak masuk akal.
Tapi, jika melihat dari sisi kemanusiaan, ya jadi masuk akal. Karena aktivis senior tersebut tidak berkeluarga. Tidak punya pembantu. Jadi, mesti ada yang menjaganya termasuk melakukan terapi dan berobat. Itu kami lakukan sampai beliau meninggal dunia.
Indonesia Berdikari yang sangat peduli kepada sesama
Kantor kami, dalam candaan saya, jadi semacam “jujugan” orang-orang yang terkena masalah. Kawan yang dipecat dari kantornya, anaknya sakit, yang bisnisnya berantakan, semua datang ke kantor kami.
Kalau saya laporkan itu ke dewan komisaris, mereka hanya bisa tertawa. “Lha meh piye maneh, Thut? Mosok kanca nduwe masalah, awake dhewe ora ngewangi.” Kalimat itu keluar dari mulut Kang Jati. Menunjukkan betapa pedulinya dia dengan orang lain.
Hingga akhirnya, batas perjanjian saya dengan kawan-kawan soal menjadi direktur Indonesia Berdikari berakhir. Saya menyerahkan tampuk kepemimpinan lembaga tersebut kepada Kang Jati. Beliau yang jadi direkturnya.
Lembaga itu berusia tak lama. Mungkin 6 tahun. Setelah itu, saya mundur dari jabatan komisaris. Saya sudah punya kesibukan sendiri di Yogya dengan Mojok dan beberapa lembaga lainnya. Tidak ada yang bersifat pribadi. Bang Nezar juga mengundurkan diri karena kesibukannya yang makin padat.
Semenjak itu, saya makin jarang bertemu Kang Jati. Saya bahkan tidak tahu sewaktu dia “pindah haluan” dari orang yang mendukung Jokowi, tiba-tiba di Pilgub DKI, mendukung Anies Baswedan. Saya baru tahu berbulan-bulan kemudian, itu pun dikasih tahu oleh orang lain. Maka, ketika dia sedang di Yogya dan kami janjian ngopi, saya tanyakan hal tersebut. Dan dia berkisah panjang tentang alasannya.
Saya tidak berhak menghakimi keputusannya. Apalagi saya juga sudah menjauhi dunia politik.
Jasanya di kehidupan saya
Setiap Lebaran, Kang Jati adalah satu-satunya senior yang memberi ucapan selamat sekaligus berbagi gojekan. “Sehat to, Pakne Kali?” Kadang setelah itu dilanjut ngobrol via WA atau telepon.
Kang Jati sangat berjasa di dalam hidup saya. Saya kasih contoh dua saja.
Pertama adalah saat saya menikah. Semua uang tabungan saya terkuras habis untuk biaya pernikahan. Selesai resepsi pernikahan, saya dan Diajeng menginap di hotel. Karena Diajeng kecapekan, dia langsung tidur.
Sementara itu, saya tidak bisa tidur karena keesokan harinya, pukul 10.00, saya harus melunasi beberapa tagihan. Saya masih ingat persis angkanya: 65 juta rupiah. Itu uang yang sangat besar buat saya saat itu, bahkan sekarang pun juga sangat besar.
Kebetulan, di televisi kamar hotel sedang diputar film Godfather dari seri 1 sampai 3. Tentu Anda bisa membayangkan betapa panjang durasinya. Saya tonton sampai habis sambil mikir bagaimana caranya supaya bisa melunasi tanggungan tagihan pesta pernikahan.
Ketika Kang Jati “datang” di malam pertama saya
Uang saya di rekening tinggal beberapa belas juta, padahal saya mesti mempersiapkan acara ngunduh mantu di kampung halaman, dan memikirkan biaya hidup minimal 3 bulan. Karena saat itu, saya juga pekerja serabutan. Saya akhirnya mulai merencanakan hal yang paling tidak saya sukai di hidup ini: berutang.
Maka mulailah, sambil menonton film Godfather, saya ambil kertas dan pensil di kamar hotel. Saya mendaftar nama-nama. Saya mau pinjam sekian kepada Si A, sekian kepada Si B, dan seterusnya.
Pagi pukul 06.00, saya masih kelekaran di lantai hotel dengan catatan rencana utang di tangan kiri, dan hape di tangan kanan, mata nanar menatap layar televisi menonton Godfather. Saya menunggu pukul 08.00 untuk menghubungi calon orang-orang yang hendak saya utangi. Perasaan saya campur aduk. Terlalu banyak pikiran. Pusing.
Eh, sekira pukul 07.30, Kang Jati menelepon. Biasa, dibuka dengan pertanyaan: “Piye malam pertamamu?” Sambil cekikikan.
“Mumet, Kang.”
“Aku wis ngerti. Kuwi dicek rekeningmu. Wis tak transfer. Honorariummu tak bayar sakdurunge kowe kerja, timbang kowe mumet.”
Zaman itu saya belum punya teknologi notifikasi uang masuk dan keluar. Saya cek rekening saya. Eh, masuk uang Rp65 juta!
Jadi sebetulnya, dia memang sedang punya proyek penelitian dan saya ditunjuk sebagai pimpronya. Cuma saat itu saya belum tahu mau dikerjakan kapan. Saya langsung sujud syukur. Satu masalah besar kelar.
Tenda untuk Kali
Jasanya yang kedua terjadi tiga tahunan yang lalu. Ketika Kang Jati mengirim paket besar sekali. Sebelum saya buka, karena ada nama dia sebagai pengirim, saya tanya: “Apa iki paketmu, Kang?”
“Hadiah kanggo Kali.”
Setelah saya buka, isinya tenda lengkap untuk kemping. Saat itu memang Kali lagi senang-senangnya bikin tenda-tendaan seolah-olah sedang kemping.
Pertemuan terakhir saya denga Kang Jati terjadi kalau tidak Februari akhir ya Maret awal. Selalu serba mendadak. Dan selalu, idenya kadang nggak masuk akal.
Setelah berbasa-basi dan guyonan, tiba-tiba dia tampak serius. “Thut iki ngene, ini posisi teman-teman kita begini petanya,” lalu dia memaparkan peta teman-teman kami. Detail.
“Posisi politik kami sekarang ini nggak pentinglah. Ini hanya sesaat. Harus ada yang mempersiapkan jangka panjangnya. Itu butuh sosok yang punya pola pikir strategis, pemersatu, dan bisa diterima oleh semua golongan atau faksi teman-teman.”
Saya mulai mencium gelagat nggak enak.
“Dan, sosok itu adalah kamu!” Lhaaaa rak tenaaaan.
Malam itu, saya setuju gagasannya, tapi saya menolak dipasrahi pekerjaan yang terkesan aneh dan di luar kapasitas saya.
“Kang, teman-teman itu sudah punya jalannya sendiri. Sudah jadi orang hebat semua. Mereka pasti tahu apa yang terbaik buat diri sendiri dan bangsa ini. Mbok ora usah dipikir kenemenen.”
Kami eyel-eyelan agak lama waktu itu. Tetap tidak ketemu mufakat. Tapi tetap akhirnya diakhiri dengan ketawa-ketiwi.
Kang Jati kini sudah pergi. Sosok sahabat yang hangat dan sangat peduli orang lain.
Sesekali kami memang berbeda pendapat. Kadang sampai agak keras. Tapi itu tidak membuat saya kehilangan rasa hormat dan utang budi baik.
Lapang jalanmu, Kang!
Yogya, 8 Agustus 2023
Penulis: Puthut EA
Editor: Yamadipati Seno