MOJOK.CO – Lebih dari 11 ribu anak jadi yatim piatu karena covid. Angka penularan belum konsisten turun bener, lah kok PTM diselenggarakan? Mau nambah?
Sekolah tanpa pembelajaran tatap muka (PTM), sangat melelahkan bagi orang tua yang mendampingi anaknya belajar. Apalagi orang seperti saya yang tidak pernah ikut kursus mengajar, jatuhnya emosi kalau anak tidak kunjung paham saat diajari.
Kenapa ngajarin anak sendiri lebih susah daripada ngajarin anak orang lain? Mungkin karena ekspektasinya kali ya? Anak orang diajarin nggak mudheng mah bodo amat! Bukan anak gua ini! Mungkin yang membuat orang lebih sabar saat ngajarin anak orang lain.
Anak yang kesulitan dalam belajar, kemudian akan kesulitan juga mengikuti mata pelajaran yang ada. Anak sulit belajar, orang tua sulit ngajarin, guru sulit masukin nilai. Semua serba sulit.
Terus di masa sekarang, apakah PTM akhirnya jadi solusi?
Keputusan penyelenggaraan PTM buat saya bukan sebuah jalan keluar dari permasalahan belajar siswa, kalau bisa saya sih pingin menolak PTM. Tidak dalam kondisi saat ini. Ketika vaksin belum merata, terus ditambah lagi protokol kesehatan yang dilakukan seadanya.
Tahu dari mana protokol dijalankan seadanya? Kebetulan saya punya dua anak usia sekolah. Dan sebagai lelaki bertanggung jawab, tugas harian saya adalah antar-jemput anak sekolah. Yang semenjak pandemi menjadi tidak lagi rutin dilakukan.
Pas lagi jemput anak sekolah, kalau nggak anaknya yang menggerombol, penjemputnya yang menggerombol sambil ngomongin cicilan, belanjaan, atau anaknya Pak Anu yang udah lulus tapi belum juga nikah. Kayaknya ada aja tema yang bisa dibicarakan, nggak bisa lewat WAG aja gitu?
Memang betul soal urusan PTM ini ada pilihan orang tua siswa boleh menolak. Artinya bisa saja dalam satu sekolah ada sistem hybrid di mana satu orang tua mau PTM yang satu tetep online di rumah. Namun masalahnya, dari hal kayak begini persoalan baru akan muncul.
Anak yang tahu temennye bisa sekolah secara langsung ke sekolah akan merengek minta sekolah langsung juga karena mungkin ingin ketemu temen-temennya atau alasan lainnya. Dan itu jadi merepotkan orang tua karena harus menjelaskan ke anak macam-macam.
Salah-salah, si anak bisa saja merasa didiskriminasi, dibeda-bedakan. Kok dia boleh datang ke sekolah, aku nggak? Kenapa? Dan pembedaan kayak gitu agak bahaya kalau untuk sekolah usia dini. Beda kalau untuk anak SMP, SMA, atau mahasiswa.
Sebentar, sampean menolak PTM itu karena takut kena Covid-19 ya?
Jujur saja, saya memang takut kena covid. Karena saya berpengalaman jadi saya tahu dampak dan risikonya. Beneran ketularan itu nggak enak.
Udah protokol dijaga ketat, eh tetep ditularin sama tetangga yang kena “tipes” sekeluarga, rasanya tuh bangsat banget deh! Saya jadi kayak masih punya “dendam penyesalan” itu sampai sekarang.
Meski saya pernah positif, bukan berarti saya nggak bisa kena lagi. Mengkhawatirkan kesehatan sendiri ya? Kalau anak istri yang sakit gimana? Ya takut juga, tapi anak istri saya lebih ngeri kalau saya yang kena. Karena saya rawan mati, jadi protokol kesehatan keluarga benar-benar ketat.
Menurut pengalaman saya juga, covid menjadi lebih ganas terhadap orang yang lebih tua. Jadi, ada diskriminasi umur berdasarkan kasus yang saya alami. Anak saya kena covid, gejalanya menghilang setelah tiga hari demam. Langsung bisa aktif lagi seperti sedia kala.
Sementara itu, ketika saya terjangkit (ketularan anak), baru setelah 14 hari saya baru sedikit normal. Itu pun setelah perjuangan sengit dan dokternya nyuruh dirujuk ke UGD RSUD. Jadi, bagi yang kena lagi kena covid, yang sabar ya, terkadang gejalamu emang lebih parah dari yang lainnya. Semangat!
Saat ini, menurut Kemensos lebih dari 11 ribu anak jadi yatim piatu karena covid. Sebenernya saya lebih pingin data BPS sih, tapi ya seadanya saja lah, daripada ngarang. Gaes, cermati angkanya, kalau yang jadi anak yatim-piatu 11 ribu, berarti orang tuanya yang meninggal itu 2 per anak, maka 22 ribu orang tua sudah meninggal.
Jelas sekali kalau saya ngulang statistik ya (padahal beneran saya ngulang sih) kalau satu keluarga ada tiga anak, meski yang yatim-piatu 3 yang meninggal cuma 2. Tapi bukan itu inti dari penolakan saya terhadap PTM.
Anak, kalau menjadi yatim, piatu, atau yatim-piatu itu sangat menyedihkan. Seberapa menyebalkannya orang tua, tetap saja menyedihkan. Karena itu, saya sebisa mungkin berusaha untuk tetap hidup, meskipun itu diluar kehendak saya. Absurd memang, kadang, seringnya.
Jadi, menyelenggarakan PTM yang meningkatkan peluang anak menjadi yatim piatu bukanlah tindakan yang masuk akal. Meski saya tahu, bahwa sudah sejak lama institusi pendidikan di Indonesia itu memang suka nggak harus masuk akal sih kalau bikin kebijakan. Selalu penuh eksperimen, trial and error.
Seperti anak TK tidak boleh diajarkan baca-tulis, tapi syarat masuk di beberapa SD harus bisa baca tulis. Jangan ngeyel, sekolah anak saya gitu. Gurunya juga bilang gitu. Gurunya aja bingung, apalagi saya yang bukan.
Menurut pendapat saya, sebenarnya bukan PTM atau nggak yang menjadi masalah pendidikan terkini. Tapi, kurikulum yang (sebenarnya sih bagus) tapi dijalankan dalam momen dan waktu yang salah.
Maksud saya begini, kurikulumnya sih nggak masalah, tapi coba bayangin kalau beban kurikulum 2013 ditanggung pada masa pandemi, kan jatuhnya berat banget. Jadi target tetap pakai kurikulum 2013 tapi pelaksanaannya pakai “kurikulum pandemi” yang formatnya masih serba-kira-kira secara daring.
Ya nggak salah sih, namanya juga darurat, tapi apa nggak ada gitu dari pihak kementerian yang niat mau bikin kurikulum khusus merespons sekolah daring?
Emang nggak bisa ya bikin kurikulum pandemi yang secara rencana pendidikan sampai output-nya memang didesain khusus? Apa dikiranya pandemi mau sebentar doang kali ya? Jadi dipikir nggak perlu dibikinkan kurikulum pandemi?
Tapi yah saya maklum sih, pendidikan di sekitar sini kan emang begini. Ilmunya masih kira-kira. Atau mungkin itu adalah budaya pendidikan yang paling hakiki: serba-kira-kira.
Doa anak yatim-piatu memang mudah dikabulkan, sekiranya lembaga pendidikan tidak menjadikan anak didiknya berpeluang menjadi yatim-piatu juga. Meski ya kita tahu sama tahu, model pendidikan di negeri ini memang lebih banyak mengandalkan doa sih ketimbang ikhtiarnya.
BACA JUGA Kangen Sekolah Bukan Berarti Kangen Belajarnya dan tulisan Rusmanto lainnya.