MOJOK.CO – Inisiatif Lord Luhut merevitalisasi WC di sekitar Danau Toba tampaknya akan mengancam ideologi jongkok kita.
Suatu pagi beberapa tahun lampau saya tiba di Bandar Udara Adi Sucipto. Sepertinya itu Sabtu yang terlalu awal, sebab begitu keluar dari terminal kedatangan, tempat yang saya tuju pertama adalah kamar kecil. Saya memilih yang dekat parkiran tempat mangkal bus Damri.
Toilet itu seperti di kebanyakan bandara: WC duduk dengan semprotan bidet itu. Saat sedang tertib menjalani hajat saya, pandangan akhirnya tertuju pada poster tentang tata cara menggunakan WC duduk secara benar. Petunjuk itu menggunakan bahasa Inggris.
Ada ruang tersisa dari poster itu. Dan di situlah terdapat coretan, yang dari bentuknya, jelas tulisan tangan orang asing penutur asli bahasa Inggris. Saya tidak ingat seluruh tulisannya, tapi intinya dia protes: Ngapain kamu nulis petunjuk begini pakai bahasa Inggris lha wong yang suka jongkok di atas WC duduk itu bangsa kalian sendiri! Mana ada bule beolnya jongkok!
Tak pelak saya tergelak. Poster berisi himbauan ini jelas tidak mempertimbangkan siapa target audience dan bahasa apa yang mesti digunakan. Toilet duduk jelas bukan hasil kebudayaan Indonesia. Tak mengherankan apabila masih banyak orang gagap dengan barang ini, misalnya dengan tetap memaksa jongkok di atas toilet duduk. Pernah lihat kan jejak sepatu di dudukan toilet?
Kejadian ini kembali terngiang di ingatan saya baru-baru ini ketika Lord Luhut ramai dipergunjingkan gara-gara rencana pembangunan toilet di wilayah Danau Toba dengan menggandeng perusahaan asing bernama Mister Loo.
Prinsip yang ditawarkan oleh Mister Loo (yang jika diindonesiakan jadi Tuan Kakus) dalam membangun toilet di beberapa lokasi di Toba ini adalah environmentally friendly alias ramah lingkungan. Saya sepakat dengan prinsip ini, khususnya agar air tanah tidak tercemari oleh kencing dan tinja para wisatawan. Tinja dan kencing punya potensi merusak yang tak kalah buruknya dengan sampah lainnya. Kita mesti berkaca pada situasi di Bantargebang, misalnya. Sampah yang menggunung tanpa pengelolaan yang berkelanjutan selama sekian lama hanya akan membawa dampak buruk terhadap manusia dan lingkungan alam di sekitarnya.
Tapi prinsip ini saja tidak cukup. Satu prinsip utama lain yang mesti dipegang teguh oleh proyek ini adalah memastikan toiletnya memiliki kepekaan budaya.
Begini. Saya berpendapat bahwa beol itu bukan sekadar peristiwa biologis. Ia adalah juga peristiwa budaya. Sudah pasti budaya itu terkait dengan identitas dan ideologi. Maka, kakus sebagai tempat buang hajat dengan sendirinya adalah medan pertempuran identitas dan ideologi kelompok-kelompok budaya yang bersinggungan di dalamnya.
Proyek yang didorong oleh Pak Luhut ini mengandung potensi yang dapat mengguncang dan mendiskriminasi budaya kakus kita yang sudah mapan sekaligus mendisrupsi tatanan sosial.
Dari kabar yang ada, sepertinya target utamanya adalah wisatawan asing. Merujuk pada rasio jumlah pelancong asing dan domestik, penentuan target ini rancu dan problematis. Data antara 2015-2018 menunjukkan bahwa tiap tahunnya pengunjung dari mancanegara selalu di bawah 300.000, sedangkan yang lokal di angka delapan juta atau lebih. Bahkan, pada tahun 2017 kelompok ini menyentuh angka 14 juta.
Jika mengandaikan bahwa yang akan dibangun adalah toilet kering yang lazim digunakan oleh bangsa Anglo-Amerika demi memfasilitasi wisatawan asing, tentu ini lebih dari sekadar ketidakadilan. Kalau memprioritaskan mayoritas dan memarjinalkan minoritas adalah ketidakadilan, terus apa namanya bila yang terjadi adalah mengutamakan kepentingan minoritas dan mengerdilkan mayoritas?
Meskipun memiliki fungsi yang sama, toilet kering dan kakus Nusantara itu bersilang paham dalam perkara ideologis. Kamar kecil ala Nusantara umumnya berpusat pada setidaknya tiga hal, yakni jongkok, cebok, dan rokok.
Jongkok adalah ekspresi budaya Nusantara yang hakiki. Interaksi komunal banyak melibatkan jongkok. Orang nongkrong di pokok kampung pada jongkok. Kalah main karambol di pos ronda diwajibkan jongkok. Telat datang ke sekolah hukumannya jalan jongkok. Orang yang kurang pinter disebut IQ jongkok. Eh….
Pak Luhut harus tahu, kemampuan jongkok ini pula yang jadi pembeda antara kita dengan bangsa lain, khususnya bangsa Anglo-Amerika. Boleh kita kalah dalam banyak hal dari mereka, tapi tidak dalam hal ini. By default, rata-rata bule nggak bisa jongkok, makanya buang hajatnya duduk. Nah, apa jadinya seandainya keunggulan kita (yang barangkali satu-satunya ini) mesti kehilangan panggung karena hadirnya toilet kering yang dianggap lebih adiluhung?
Selanjutnya, buang air tak akan paripurna jika tidak ditutup dengan cebok. Kalau bisa, airnya melimpah. Makin banyak airnya makin bersih rasanya. Untuk BAB sebenarnya tak perlu risau karena teknologi bidet alias tembakan pantat itu sudah ada untuk melengkapi toilet duduk.
Urusan kencing yang bisa jadi agak repot jika urinoir alias pekencingan yang disediakan adalah model yang bersensor, yang airnya akan mengalir setelah orang yang kencing bergeser dari tempat ia berdiri. Ini tidak kompatibel dengan budaya pipis sebagian besar kaum lelaki di sini, yang setelah pipis akan membersihkan pucuk perantinya. Sementara itu, kebanyakan bule setelah pipis yang mereka basuh bukan kemaluan melainkan kedua tangan karena tangan menjadi kotor setelah memegangi kemaluan. Kenapa yang dicuci malah cuman tangan dan sumber pencemarnya justru nggak? Logikanya gimana, coba?
Terakhir adalah rokok. Pandangan ini sangat bias cowok, sebab ditarik dari lingkungan pergaulan saya sendiri di mana teman-teman perokok saya kebanyakannya adalah laki-laki. Bagi mereka, ada tiga waktu paling nikmat untuk mencecap asap tembakau, yakni sesudah makan, setelah bersanggama, dan saat tengah buang hajat.
Cara hidup warga Indonesia, seperti teman-teman perokok saya itu, umumnya light and easy, bisa berbahagia dari hal-hal enteng dan sederhana seperti di atas, sekalipun beban hidup begitu pahit. Jika benar toilet ala Barat yang akan dibangun di sekitaran Danau Toba, ia akan merenggut satu dari sedikit sumber kebahagiaan jutaan pelawat pria Nusantara! Kejamnya!
Untuk itu, dalam pandangan saya mutlak hukumnya bagi Mister Loo untuk memastikan ketiga unsur tersebut terakomodasi dalam proyek toilet di Sumatera Utara ini agar tidak dianggap culturally insensitive, atau bahkan dituduh sebagai imperialis baru dalam dunia perkakusan karena menggerus ruang aktualisasi jati diri bangsa.
Terlepas dari itu semua, sejauh ingatan, baru sekali ini ada seorang menteri getol betul mengurusi hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh ketua RT, mentok-mentok kepala desa, lah! Apa pula pentingnya urusan kakus mesti diselesaikan Lord Luhut dengan menggandeng Mister Loo?
BACA JUGA Kita Sedang Berubah dari Pemakai WC Jongkok Menjadi Pemakai WC Duduk dan esai-esai Sugiyanto Widomulyono lainnya.