MOJOK.CO – Program Bedah Rumah di tipi seharusnya bisa dibalik, jika biasanya rumah orang miskin yang dibedah, sebaiknya rumah orang kaya juga dibedah. Bisa dimulai dari Rumah Uya misalnya.
Sebagai praktisi-selow-living, saya selalu menyempatkan diri menemani Ibu nonton tipi pada malam hari. Salah satu acara pilihan beliau adalah Bedah Rumah karena belakangan sinetron favoritnya di stasiun tipi sebelah semakin absurd.
Sebenarnya saya nggak terlalu suka reality show “penjual kesedihan” macam Bedah Rumah. Tapi mengingat bagaimana dulu kami bahagia banget bisa pindah dari rumah dinas sederhana nan sempit ke rumah sendiri yang juga sederhana tapi lebih nyaman, isak haru keluarga penerima Bedah Rumah mau nggak mau membawa aroma nostalgia.
Pertama pindah ke Pulau Jawa, kami langsung menempati rumah dinas yang cukup nyaman. Tidak mewah, tapi semuanya ada: 2 kamar tidur, 2 kamar mandi, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, halaman depan-belakang, bahkan area untuk beternak dan berkebun pun ada.
Kami tidak lama tinggal di sana karena kemudian harus pindah ke rumah dinas lainnya. Jauh lebih kecil, terpencil, dan bikin merinding. Belakangan saya baru tahu ada intrik politik yang melatari perpindahan keluarga kami. Meski begitu, pengalaman tinggal di rumah dinas kedua—buat saya—lebih banyak membentuk kualitas keluarga kami.
Kebetulan waktu tinggal di rumah kedua kondisi keluarga kami memang sedang prihatin klimaks. Jadi dari sana lah kami belajar beternak, berjualan, belajar keras, dengan tetap menyemangati satu sama lain.
Di halaman depan rumah itu, saya ingat pernah ngambek karena Ibuk menolak membelikan kipas plastik yang lagi hits pada jaman itu. Di tangga kecil depan rumah, Mbak pernah sedih karena tidak sengaja terjatuh dan merusak termos untuk berjualan. Di ruang keluarga plus ruang tamu plus ruang makan yang sempit di rumah itu, kami berbagi cerita keseharian juga doa-doa agar segera bisa pindah ke rumah yang lebih baik.
Dengan hunian macam itu, wajar jika dulu saya selalu bahagia menonton Bedah Rumah. Sebab diam-diam saya juga ingin rumah kami dibedah. Jadi saya bisa punya kamar lebih bagus seperti yang ada di tipi. Tidak lagi harus berebut siapa yang tidur di bawah dengan Mbak karena hanya tempat tidur bertingkat yang muat di kamar sempit kami.
Setiap mengingat masa-masa itu, saya jadi bisa memahami kenapa Bedah Rumah jadi tayangan yang disukai banyak pemirsa. Ratingnya yang bagus membuatnya selalu ditayangkan di waktu prime time, dengan feedback positif di setiap unggahan media sosial mereka.
Di sisi lain, Bedah Rumah juga punya haters yang nggak sedikit. Beberapa pihak menganggap program semacam Bedah Rumah hanya mengeksploitasi kemiskinan. Apalagi ketika mereka mengetahui keuntungan dari iklan prime time yang didapatkan dari program itu jauh lebih banyak dibandingkan sumbangan yang diberikan.
Padahal ya namanya industri hiburan kreatif mesti mikir keuntungan juga lah. Biar bagaimana pun reality show macam itu adalah acara tipi, bukan bakti sosial anak pramuka. Kalau programnya nggak untung alias rugi, gimana bisa awet itu siaran. Gimana sih?
Anggapan tentang eksploitasi kemiskinan dalam “Charity Show” pun sesungguhnya hanya persoalan perspektif. Jika hanya melihatnya dengan kacamata kritik media, tentu ada banyak teori untuk nyinyir terhadap Bedah Rumah.
Tapi mereka yang gemar menonton Bedah Rumah seperti ibu saya melihat acara ini sebagai jalan membantu orang lain. Tidak sedikit pemirsa yang lalu tergerak mendaftarkan rumah tetangganya untuk dibedah, sebab ingin membantu tapi sadar diri bahwa si tetangga memang tidak mampu secara ekonomi.
Di titik tertentu, saya meyakini Bedah Rumah sebenarnya adalah pengejawantahan pop dari pemikirian sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer: Apabila rumah rusak, yang menempatinya pun rusak. Maka memperbaiki rumah adalah memperbaiki manusia.
Iya sih, punya rumah bagus memang nggak menjamin sebuah keluarga jadi bahagia, sehat, terbebas utang, dan seterusnya. Tapi setidaknya, rumah yang nyaman memberi kekuatan. Kebahagiaan untuk pulang, berkumpul dengan keluarga, menghimpun semangat untuk berjuang lebih keras lagi.
Kamu yang terlahir dan besar di rumah mewah mungkin tidak bisa merasakan kebahagiaan itu. Mungkin bagimu yang terbiasa memiliki semuanya kecuali kebersamaan keluarga, rumah kecil penuh kehangatan justru adalah kemewahan. Itulah kenapa menurut saya tim kreatif Bedah Rumah mestinya lebih kreatif dalam mencerna kata “bedah”.
Selama ini dengan asumsi hanya orang miskin yang punya kesedihan terkait rumah, Bedah Rumah hanya fokus untuk membedah bangunan rumah reyot menjadi indah. Padahal selain bangunan, kebersamaan yang tinggal di dalamnya adalah pondasi penting. Bahkan bisa dibilang pembangunan “immaterial” ini jauh lebih penting ketimbang pembangunan Indonesia.
Menurut data BPS tahun 2016, sebenarnya rata-rata rumah tangga dengan hunian layak di tiap provinsi sudah melebihi 90 persen. Sementara itu kondisi rumah tangga yang tidak harmonis hingga mengalami perceraian di tahun yang sama mencapai angka 365 ribu lebih.
Data ini menunjukkan ada banyak keluarga pemilik rumah tanpa kebersamaan yang layak dikunjungi tim Bedah Rumah. Tidak peduli kaya atau miskin, hidup di desa atau kota, banyak keluarga yang membutuhkan program bedah rumah non-fisik alias Bedah Rumah Reborn. Agar rumah yang retak tidak lantas runtuh sebagai perceraian.
Badan Peradilan Agama menyebutkan beberapa penyebab perceraian selama ini antara lain poligami tidak sehat, krisis akhlak, tidak tanggung jawab, kurang harmonis, sampai perbedaan pandangan politik. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, beberapa aktivitas akan dirancang khusus untuk membedah dan membangun ulang rumah (tangga) klien Bedah Rumah Reborn.
Kegiatan seperti live in bersama keluarga teladan poligami sehat, mengikuti ESQ untuk perbaikan akhlak, kursus tanggung jawab untuk suami, 2nd honey moon, bahkan intimate tea time bersama koalisi Cebbie-Kempie bisa menjadi beberapa referensi agenda.
Dengan konsep seperti itu, saya berharap industri reality show kita tidak lagi orbais dengan hanya memikirkan material sebagai satu-satunya solusi dalam pembangunan. Apalagi hanya menjual kemiskinan sebagai perbandingan linear kesedihan.
Untuk awalnya, biar kelihatan langsung terasa berbeda, program ini bisa langsung dibalik objeknya. jika biasanya rumah orang miskin yang dibedah, maka Bedah Rumah Reborn bisa langsung membedah rumah orang kaya untuk episode pertama.
Selama ini orang miskin lebih masif dijadikan objek tontonan televisi. Rumah-rumah orang miskin dalam Bedah Rumah ditampilkan sebagai sesuatu yang berbeda dan menyedihkan, membuat para penonton kaya bisa merasa rumah mereka jauh lebih normal karena tidak miskin dan menyedihkan. Meski kadang disadari tidak ada jaminan lebih bahagia kalau rumah lebih bagus.
Mengangkat orang kaya sebagai objek (tontonan) dalam Bedah Rumah Reborn tidak hanya memberi alternatif tatapan untuk pemirsa. Ketika rumah “retak” orang kaya menjadi tontonan, orang miskin pun bisa berganti peran sebagai penonton yang merasa lebih normal memiliki rumah dengan formasi penghuni lebih lengkap meski cuma beralaskan tanah dan bertembok anyaman bambu.
Sebagai bagian dari episode pembuka sekaligus outreach program, saya bisa usulkan beberapa nama selebriti atau pejabat bisa diajukan untuk dibedah rumahnya. Untuk pengembangan program, Tim Bedah Rumah Reborn barangkali bisa melakukan studi banding ke Rumah Uya yang sudah lebih dulu menyediakan platform dialog perdamaian di ruang publik (perkara acara itu kemudian jadi drama murahan, setidaknya itikad baik Rumah Uya perlu diapresiasi).
Atau kalau Tim Bedah Rumah Reborn merasa Rumah Uya perlu direnovasi habis-habisan karena acaranya dirasa absurd dan penuh dengan gimmick percekcokan selingkuhan-pasangan-pacar di setiap episodenya, barangkali renovasi rumah Rumah Uya bisa diagendakan. Jadi sekalian studi banding sekalian bikin acara on air untuk bedah rumah program acara orang. Acaranya jadi: Bedah Rumah Uya.
Oh iya, berhubung nantinya Bedah Rumah Reborn membutuhkan segmen nasihat relijiyus untuk memenuhi sharia hype demand masyarakat belakangan ini, sekiranya Mami Niki bisa menjadi host tetap dengan segenap keilmuan empirisnya.
Akan tetapi, jika dirasa program ini terlalu utopis untuk mendapatkan sponsor komersial, Tim Bedah Rumah Reborn bisa menggandeng Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tapi tentu saja untuk itu Tim Bedah Rumah Reborn harus bergerak cepat sebelum dana kementerian habis cuma untuk pembuatan website dan infografis.