MOJOK.CO – Presiden Ukraina sedang memetik “buah karma”. Kini, negaranya jadi korban invasi Rusia setelah sebelumnya mendukung pendudukan Israel atas Palestina.
“Kami dibiarkan sendiri untuk mempertahankan negara kami,” kata Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina pada pidato yang dibagikan lewat video, Jumat (25/2) beberapa hari yang lalu.
“Siapa yang siap bertempur bersama kami? Saya tidak melihat ada yang mau. Siapa yang menjamin akses Ukraina ke NATO? Semua orang takut,” imbuhnya.
Kata-kata Presiden Ukraina tersebut terdengar seperti racikan rasa frustrasi, kekalutan, sekaligus kekecewaan. Seumpama seorang pacar cadangan yang kecewa karena di-ghosting oleh kekasihnya, Presiden Zelensky sedang murung dan gemetar karena semua meninggalkannya sendirian. Termasuk NATO!
Zelinsky dibiarkan sendirian menyaksikan tentara, senjata, kekuatan militer, dan ekonomi Rusia yang kekuatannya jauh lebih besar sedang merangsek ke jantung ibu kota negara. Zelinsky gugup, diperparah dengan ketidakpercayaan sebagian besar rakyatnya yang takut dan tidak ingin berperang.
Vladimir Putin, seorang alpha man, pemimpin berzodiak Libra yang tadinya terkesan santai dan hanya sesekali menggertak, ternyata benar-benar mewujudkan gertakan yang beberapa kali dia sampaikan belakangan ini.
Kau tahu bagaimana watak seorang Libra jika sudah mulai kesal dan marah? Sebelumnya dia tenang dan bersabar, tetapi kala kekesalan sudah menumpuk bercampur marah dan kecewa, dia bisa meledak. Terlebih dia tahu kalau dia punya kekuatan untuk mewujudkan kemarahannya itu. Sempurna.
Rusia adalah negara kedua dengan kekuatan militer terbesar. Cuma kalau sama Amerika Serikat. Kekuatan ini diimbangi dengan hubungan baiknya dengan Cina, negara dengan rangking kekuatan militer ketiga dunia saat ini.
Dua kekuatan besar bisa membuat Rusia membusungkan dada dan melakukan apa yang menurut pemimpinnya bisa segera dilakukan. Di atas kertas, tidak butuh lama bagi Rusia untuk menguasai atau merebut Ukraina jika mau.
Ukraina hanya negara tetangga kecil yang tak sebanding secara kekuatan baginya. Putin sedang menggertak pelan, sedikit demi sedikit, dan memberikan teror ketakutan yang lebih panjang dari kemampuan agresi yang dia dan negaranya miliki.
Sementara bagi Ukraina, melawan Rusia saat ini ibarat berada dalam posisi anak kelas satu SD bau kencur yang dihadapkan pada abang-abang kelas dua SMA yang lagi birahi tawuran. Posisi yang membuat terkencing-kencing dan ingin menangis. Negara sahabat dan sekutunya tak berani ambil sikap sigap tanggap cepat. Semua saling menunggu arah angin bertiup.
Presiden Ukraina ini adalah salah satu presiden yang naik dan mendapatkan jabatannya hanya karena popularitas. Tadinya, dia lebih banyak dikenal sebagai aktor komedi. Kemampuannya memainkan kata lucu dan sindiran satire terhadap pemerintah sebelumnya telah sukses mengerek popularitasnya hingga lebih dari 70%.
Zelensky menang telak dari presiden petahana saat itu, Petro Poroshenko. Zelensky berhasil meraih suara 73%, sementara Poroshenko meriang melihat pendapatan suaranya terjun bebas menyisakan hanya 24%. Tapi apalah arti sebuah kemenangan dan piala, jika kemenangan itu dipegang oleh seorang yang tak punya kompetisi.
Presiden Ukraina itu kayak seorang yang beruntung menang karena tepuk sorai penonton. Ini seperti menyerahkan sebuah kerajaan pada pangeran tampan yang labil dan tak punya kemampuan apa-apa dalam politik dan kepemimpinan. Hanya modal dicintai dan digemari oleh rakyat yang berharap akan ada perubahan hidup setelah pemilu mengganti pemimpin. Sebuah harapan usang yang memprihatinkan.
Saat ini, Rusia diyakini menjadikan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky sebagai target untuk ditangkap setelah melakukan serangan. Beberapa pemerhati mengkhawatirkan pasukan Rusia akan mengunjungi Kiev dengan kekuatan penuh, mencoba menangkap Zelensky.
Gawat. Jika Zelensky tertangkap, dia akan gemetaran di hadapan Putin, semua plot, callback dan punchline komedinya akan segera ambyar dari kepala. Dia bahkan tidak bisa menghibur dirinya sendiri dengan harapan-harapan baik atau keajaiban yang mungkin datang segera.
Presiden komedian, lucu dan menyenangkan tapi gagap politik
Presiden Ukraina adalah contoh telak seorang pemimpin yang tidak paham geopolitik, tidak bisa membaca sejarah secara terperinci. Dia memilih merengek pada NATO, beberapa negara yang jauh dari negaranya, bukan kawan lama sekaligus tetangganya yang bahkan punya kekuatan hampir setara dengan negara adidaya seperti Amerika.
Konflik antara Ukraina dan Rusia sudah lama terjadi. Ukraina, Rusia, dan negara tetangga, Belarusia, menjadi negara adidaya di abad pertengahan. Sebagian besar wilayahnya mencakup Eropa Timur. Kedua negara ini mempunyai bahasa, sejarah, dan politik yang hampir sama. Presiden Putin dari Rusia mengklaim negaranya dan Ukraina adalah “badan dari satu orang”. Lewat klaim tersebut, Putin berkeras bahwa Ukraina termasuk dalam peradaban Rusia. Namun, Ukraina menolak klaim ini.
Pada 2005 dan 2014 sendiri terjadi revolusi di negara Ukraina. Negara tersebut menolak supremasi Rusia dan mencari cara untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.
Menjelang pemilihan umum beberapa waktu lalu, dengan kocak, Zelensky menyebut cara membedakan dirinya dengan lawan. Sembari menunjuk wajahnya sendiri, dia berkata, “Ini wajah baru. Saya belum pernah terjun ke politik. Saya tak pernah menipu rakyat. Mereka mengidentifikasi diri mereka dengan saya karena saya secara terbuka, saya tersakiti, saya marah, saya kecewa… Jika saya tak punya pengalaman, saya memang tak berpengalaman. Jika saya tidak tahu sesuatu, dengan jujur saya mengakuinya.”
Gayanya yang suka bercanda membuatnya dicintai sejak awal kampanye. Dia bukan pemimpin yang siap sedia menghadapi krisis besar, apalagi krisis keamanan dan masa perang.
Dia menjadi terkenal lewat serial televisi dan film komedi. Begitulah jadinya sebuah negara yang mempertaruhkan kursi kepemimpinan pada sosok yang populer, lucu semata. Di situasi darurat, di situasi tegang, di mana pasukan musuh datang dan siap merampas nyawamu, kata-kata lucu tidak bisa lagi menjadi obat bagi ketakutan.
Ukraina ibarat seorang tetangga dengan rumah kecil yang menolak bersahabat dengan tetangga lainnya. Padahal, tetangganya masih terhitung kerabat dekat. Sudah lama tinggal di kompleks itu pula.
Ukraina memilih bergabung dengan “klub lari pagi kecamatan sebelah” dibanding bergabung dengan tim sekompleks yang lebih kompak dan lebih humoris. Ada sedikit rasa angkuh di sana. Kedamaian memang sudah menyergap Eropa selama 80 tahun. Namun, hanya pemimpin bodoh yang tidak memasukkan kemungkinan perang dalam rencana kerjanya.
Saat ini, pertempuran sudah berlangsung di sekitar Kiev. Penduduk Kiev diminta mengangkat senjata, melawan pasukan yang kekuatannya empat hingga lima kali lipat dari mereka. Zelensky “beruntung”, banyak patriot yang dimiliki Ukraina.
“Saya ingin berbicara dengan Presiden Federasi Rusia sekali lagi. Ada pertempuran di seluruh Ukraina saat ini. Mari duduk di meja negosiasi untuk menghentikan kematian lebih banyak lagi,” ucap Zelensky.
Sang Presiden cukup aktif berbicara di depan media. Mendesak diadakan perundingan hingga penerapan sanksi internasional kepada Rusia. Namun, negara lain tentu butuh waktu untuk menimbang diri. Tidak gampang berhadapan dengan si Beruang Merah.
Beberapa hari kemudian, mulai banyak negara yang mengecam Rusia. Meski malu-lalu dan tidak tegas. Semua menolak perang, tapi tidak berani berkata tegas di depan muka Putin. Bahkan Cina dan negara-negara Eropa yang sudah kadung makmur. Orang makmur, biasanya, sebisa mungkin menghindari konfrontasi yang berpotensi merepotkan hidupnya.
Terbaru, resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB pun dilawan juga oleh Rusia dengan memakai hak veto. Tidak banyak yang bisa diubah segera, semua seolah lambat merespons. Satu-satunya kabar baik adalah niat baik negara-negara seperti Polandia dan Rumania yang mau menerima pengungsi Ukraina tanpa syarat. Mereka bahkan menyediakan apartemen gratis dan akomodasi.
Konflik antara Ukraina dan Rusia sudah terjadi sejak lama. Invasi yang terjadi hanya puncak dari gunung es. Salah satu konflik yang pernah pecah terjadi di 2014 dan pada Oktober 2021, Rusia sempat memindahkan pasukan ke dekat perbatasan Ukraina.
Zelensky harusnya paham bahwa pemindahan pasukan dalam skala besar adalah peringatan. Namun, dia seperti abai dan menganggap tidak akan terjadi masalah besar di kemudian hari. Gertak Putin dianggap kecap semata.
Zelensky seperti mendapatkan “buah karma” setelah tahun lalu mendukung invasi Israel ke Palestina secara terbuka lewat Twitter. Kini, negara yang dia pimpin gantian jadi korban invasi. Sebuah perputaran waktu yang tidak terduga dan semuanya terasa ironis bagi si komedian.
Terlepas dari empati kita akan perang yang selalu merenggut korban jiwa, paling tidak kita bisa belajar dari pemilihan presiden di Ukraina. Presiden boleh populer, boleh lucu, boleh merakyat, tapi yang terpenting adalah isi kepala dan pengetahuan politiknya yang luas.
Seorang pemimpin tidak cukup hanya berani. Dia harus bisa membaca keadaan. Siapa kawan yang tepat untuk diajak bersalaman dan siapa yang mestinya ditutupkan pintu dan tidak diterima untuk bertamu.
Perang tetaplah perang. Ia tak pernah bisa adil, baik bagi yang kalah maupun yang menang. Tapi, dari sesuatu yang telanjur terjadi ini, pesan iklan minyak kayu putih perlu kita renungkan lagi: cari pemimpin jangan coba-coba.
BACA JUGA Serangan Rusia ke Ukraina: Mungkinkah Perang Dunia III Terjadi? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Irwan Bajang
Editor: Yamadipati Seno