MOJOK.CO – Perubahan penggunaan “new normal” jadi “kebiasaan baru” merupakan bukti kalau pemerintah emang kerja betulan. Urusan bahasa aja sampai segitunya dipikirin lho.
Semenjak pejabat-pejabat kita hobi menulis puisi di tengah pandemi, semenjak itu pula para pejabat mulai peka dan sensitif terhadap bahasa, terutama bahasa Indonesia. Buktinya? Ya dengan mengganti diksi “new normal” ke yang lebih ngendonesia, yaitu “kebiasaan baru”.
Pada tanggal sepuluh kemarin, Pak Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 mengatakan kepada pers bahwa diksi “new normal” itu salah dan mesti diganti dengan adaptasi kebiasaan baru.
Begitu juga dengan Tenaga Ahli Utama Staf Kepresidenan Brian Sriprahastuti yang mengatakan kalau “Pemahaman menggunakan ‘new normal’ sendiri, karena ada unsur bahasa asingnya, akan susah untuk dipahami, maka diterjemahkan sebagai adaptasi kebiasaan baru.”
Penggantian ini juga dilatarbelakangi bahwa masih banyaknya daerah-daerah lain yang tidak setia menerapkan protokol kesehatan karena kurang pahamnya dengan “new normal”. Yang lebih dilihat malah normalnya, sehingga banyak dari masyarakat yang menganggap kondisi sekarang sudah seperti biasa.
Padahal masih ada beberapa daerah yang tingkat kasus positifnya masih tinggi sampai hari ini. Pak Jokowi pun menegaskan semestinya daerah-daerah yang masih belum bisa menerapkan new normal, ya balik lagi aja ke PSBB, karena tingkat kasus di Indonesia masih belum turun dari hari ke harinya.
Apalagi beberapa hari lalu terjadi lonjakan kasus yang tembus lebih dari 2 ribu kasus. Itu juga ditambah dengan laporan seribu anggota TNI di Secapa AD dan Pusdikpom Kota Cimahi, Bandung yang terpapar COVID-19.
Aduh… aduh.
Jadiiiiii…goals dari diubahnya diksi ini adalah agar masyarakat paham dan mengerti. Barangkali karena selama ini menggunakan bahasa Inggris, jadi masyarakat Indonesia tidak paham sama sekali dan menganggap kalau new normal itu adalah hidup normal seperti sebelum pandemi. Makanya jangan sok pakek witch is witch is-an kalo nggak ngerti-ngerti amat.
Bisa dikatakan, berarti karena masyarakat tidak paham makanya kasus positif COVID-19 masih tinggi, begitu, ya? Hmm…. Bisa jadi juga, ya.
Eh tapi bukannya pemerintah yang ingin segera menerapkan new normal untuk memacu perputaran ekonomi? Atau saya saja yang salah dengar?
Kuping jarang dikorek soalnya, monmaap.
Jadi pemerintah kita tercinta beranggapan jika new normal dicari padanannya ke bahasa Indonesia seperti kebiasaan baru tadi, masyarakat akan mengerti dan kasus positif tidak akan naik, apalagi sampai 2.657 kasus seperti yang terjadi hari Kamis lalu? Begitu?
Hmm. Boleh juga tu idenya.
Menyelesaikan masalah dengan mengganti nama. Kayak Bank Century diganti Bank Mutiara, masalah kelar. Atau penyebutan keturunan Cina diganti Tionghoa, biar nggak rasis. Benar-benar ajib.
Jadi selain menekan penyebaran, diksi itu nanti bisa meningkatkan jiwa nasionalisme kita dengan cara mencintai Indonesia dan mencintai bahasa Indonesia!
Hal ini sungguh membuktikan kalau tidak ada diksi lain yang bisa menggambarkan jiwa pejabat-pejabat kita selain bahwa mereka begitu mencintai bahasa Indonesia. Yang bertujuan agar tidak adanya miskomunikasi antara panitia pemerintah dan peserta rakyat.
Wah, wah, wah. Begitu mulia.
Saya membayangkan di sebuah ruang yang tertutup, pejabat-pejabat kita tercinta sedang bertungkus-lumus membahas permasalahan bahasa di Indonesia. Pak Presiden pun membuka diskusi dengan mengetengahkan sebuah diksi: new normal.
“Bagaimana bapak-ibu yang terhormat? Mau kita apakan new normal ini?” ucap beliau sebagai pemegang tali kendali rapat tersebut.
“Menurut saya sah-sah saja menggunakan diksi new normal. Emang masalah di mana?” ucap Pak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Oh, tidak bisa begitu, Pak. Kita ini orang Indonesia dan berbahasa Indonesia. Seharusnya kita menggunakan bahasa Indonesia, dong!” bantah Pak Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, ke teman yang mengirimkannya materi meme corona adalah istri beberapa waktu lalu.
“Benar juga, kita mesti mencari padanan yang lebih Indonesia lah, masak pakek bahasa asing,” sambut Pak Menteri Dalam Negeri.
“Sebagai seorang pendekar atau kesatria bahasa, masalah ini harus kita usut tuntas sampai ke akar-akarnya,” sambut Pak Menteri Pertahanan yang baru saja selesai membaca buku Pendekar Bahasa karya Holy Adib.
“Ah, selow saja. Saya oke-oke saja dengan penggunaan new normal, tuh,” bantah Pak Menteri Kesehatan.
Rapat pun menuju ke titik paling serius. Pak Menteri dan Ibu Menteri saling berbalas fiksi isu dengan pendapatnya masing-masing. Karena situasi menjadi keos, Pak Presiden pun menghentikan rapat untuk sementara. Mungkin, karena itu pula blio marah-marah kemarin.
“Saya jujur saja, tidak ada progres sama sekali. Kerja harus lebih lagi, jangan biasa-biasa saja!”
Akhirnya rapat imajinatif itu dilaksanakan kembali beberapa waktu lalu. Namun masih keos dan tambah keos dari diskusi sebelumnya. Di sinilah peran Pak Wakil Presiden, kalian salah selama ini menganggap Pak Wakil Presiden tidak bekerja sama sekali. Blio ini lah yang paling memikirkan padanan bahasa Indonesia untuk diksi new normal agar jadi kebiasaan baru tersebut.
“Mohon maaf, saya ingin menyampaikan pendapat. Bagaimana kalau kita ubah saja menjadi ‘kebiasaan baru’? New itu kan artinya baru dan normal itu artinya sesuatu yang sudah biasa. Nah, kalau digabung jadinya kebiasaan baru. Bagaimana?” ucap blio dengan percaya diri.
Serentak peserta diskusi langsung setuju. Pak Presiden langsung ketok palu. “Opini yang bagus, Pak. Sekarang kembali ke pekerjaan masing-masing,” ucap belio sembari menutup diskusi tersebut.
Pantas saja selama ini saya tidak paham dengan kebijakan-kebijakan bikinan pemerintah. Misalnya seperti rapid test yang bergalau, yang biayanya tidak ketulungan itu. Kemudian dengan iuran BPJS yang menekan kita semua di tengah ketidakjelasan pandemi ini.
Dengan kartu prakerja yang katanya uangnya harus dikembalikan. Dengan orang-orang yang di-PHK dan susahnya mencari pekerjaan di tengah krisis ini. Dengan pembengkakan biaya listrik. Dengan UU yang merugikan banyak pihak. Dengan karya menteri yang ambigu: kalung anti-corona tapi tidak anti COVID-19. Dengan yang lain sebagainya.
Ya, ya, ya….
Saudara-saudari, sepertinya kita harus menunggu rapat-rapat imajinatif pemerintah berikutnya untuk mencarikan padanan bahasa Indonesia yang paling sederhana dari beberapa hal di atas, agar kita, para rakyat yang kurang mengerti bahasa asing ini, bisa paham maksud dan tujuan pemerintah kita tersayang.
Sembari menunggu itu, cobalah intropeksi diri dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengukur kadar nasionalisme di diri Anda sekalian: apakah saya mencintai Indonesia? Apakah saya mencintai bahasa Indonesia? Atau, apakah benar sila kelima di dalam Pancasila itu ada syarat dan ketentuannya?
Eh.
BACA JUGA Pak Menteri Terawan Nggak Perlu Latah Ikut Mundur kayak Menkes Selandia Baru atau tulisan Muhaimin Nurrizqy lainnya.