Biarpun sama-sama kata kerja, misuh dan misuhi adalah dua hal yang berbeda.
Misuhi lebih dekat dengan perlawanan, kritik terhadap objek tertentu. Sedangkan misuh lebih greget terhadap kepuasan diri. Mau misuh dan misuhi, keduanya merupakan bentuk rasa simpati terhadap gejala alam; keduanya menyimpan banyak kepedulian.
‌Misuh sebenarnya telah mengalami reduksi tafsir yang meluas. Misuh kini tak hanya dilampiaskan dalam keadaan marah, namun juga dalam segala situasi dan kondisi, misal saat bertegur sapa, “Cuk, ancuk, piye kabare, cuk?” Atau saat bahagia karena menang lotre, “Waaancoook, menang, cuk.”
Perlu diingat, faktor kondisi ketika misuh dilakukan berkaitan artikulasi misuh itu sendiri. Bagaimana tekanan dan irama pelafalan pisuhan juga menentukan makna pisuhan.
Menuju akhir tahun 2016 ini, banyak sekali peristiwa yang sepatutnya membikin kita misuh sebagai upaya pentadaburan diri. Saya mencoba merangkum beberapa peristiwa yang pantas untuk kita pisuhi tersebut. Walau tentu saja, yang nggak mau misuh-misuh juga berhak untuk tidak misuh.
1. Perseteruan Dua Pemimpin Daerah Ahli Misuh
Masih ingat tentang Bu Risma yang marah kepada Ahok karena katanya Ahok cawe-cawe urusan Surabaya? Selain mengungkit tentang rivalitas kinerja antara Koh Ahok dan Bu Risma, sebenarnya lebih menarik lagi jika saat itu mereka berdua bisa beradu misuh, tentu saja diikuti oleh beberapa jubir misuh dari masing-masing kubu.
Ahok memiliki variasi pisuhan yang sedikit, namun tajam dan menukik, sedangkan Bu Risma kurang menghardik namun memiliki pisuhan yang lebih variatif. Ini mengajarkan masyarakat tentang khazanah pisuhan bangsa kita yang beragam sehingga membuat masyarakat tak lagi enggan untuk misuh, sebab misuh adalah salah satu bentuk pelestarian kekayaan kosakata.
2. Munculnya Spesies Baru Bernama AwKarin
Di saat tayangan sinetron dan film didominasi dengan cerita pertobatan, makhluk ini muncul menghancurkan hal mainstream tersebut. Saat fase kehidupan sepatutnya dari salah gaul, menjadi gaul, menjadi agak gaul, lalu menjadi syar’i, AwKarin malah sebaliknya. Lak yo pengen misuh. Dari wanita polos menjadi gaul, di-bully, di-endorse, dan sampai punya lagu kedua merupakan faktor dongkrak pita suara yang hendak meledakkan pisuhan.
Dan yang bikin misuh sampai kehilangan kata-kata adalah ndilalah kok ya saya hafal lagunya.
3. Kontroversi Pemilihan Duta
Saya agak ketar-ketir dan pengen misuh karena takut kehilangan goyang itik Neng Zaskia tatkala Eneng diperiksa polisi tersangkut pasal penistaan Pancasila karena tidak hafal sepenuhnya sila-sila di dalamnya. Tapi, mau membela pun bagaimana, wong salah sendiri, dasar negara yang diramu dan dipikirkan beneran kok malah jadi guyonan.
Sampai kemudian ada hal yang bikin misuh beneran. Tak lama kemudian, Neng Zaskia diangkat jadi Duta Pancasila.
Belum selesai perkara Pancasila ini, muncul Mbak Sonya Depari sebagai Duta Anti-Narkoba. Saya tak tahu apa itu juga faktor dari marga. Jika iya, saya jadi ingin menyematkan di belakang nama saya marga Uchiha. Ah sudahlah, misuh lagi saja.
4. Aksi Boikot Seenaknya
Yang tak ketinggalan dalam mewarnai peristiwa di tahun 2106 adalah demo besar 212 kemarin yang menyisakan boikot Sari Roti dan MetroTV karena dianggap tak membela kepentingan aksi dan mencoba untuk netral.
Sering kali saya berada dalam posisi yang serbasalah seperti itu, tidak memihak siapa-siapa malah dianggap standar ganda. Pengen misuh rasanya. Padahal jika dirunut, sepele masalahnya. Pasti ini karena Sari Roti kurang varian rasa dan isi. Belum ada isi kurma dan daging unta.
5. Jadi Kru Mojok
Ini mungkin agak sentimentil. Pertengahan Agustus tahun ini, saya mulai gabung jadi anggota Mojok. Saya pembaca Mojok yang budiman dan mengagumi penulis-penulis Mojok yang konon keren-keren itu. Saat itu lini kru mojok ditempati oleh Mas Adit, Mas Agus, dan Bang Edo.
Yang bikin saya misuh mungkin karena ternyata ekspektasi tak sejalan dengan realitas. Misalnya, saya pikir Agus Mulyadi adalah pemuda aswaja yang taat dan santun. Saya baru tahu bahwa ternyata Mas Agus suka nyawer biduan dan suka joget tidak pada tempatnya. Yang lebih mengerikan, setelah salat Isya dan Rawatib ia sering tergesa-gesa karena akan pergi. Ke mana? Ke diskotik.
Beda lagi ekspektasi saya saat bertemu dengan Bang Edo. Saya pikir dia macho dan cool. Namun, jika dilihat dari dekat ternyata Bang Edo ginak-ginuk seperti Nizam. Dan yang paling mengagetkan adalah blio punya akun Bigolive.
Beda lagi dengan Mas Adit, pria bersahaja penuh wibawa, pembawaannya begitu lembut, namun ternyata penggemar Noah ini, suka ndagel serta misuh dengan kosakata andalan kopet.
Tak lama kemudian, Mojok kedatangan redaktur baru, yaitu Cik Prim. Saya pikir dia punya toko emas di dekat Pasar Beringharjo. Ternyata, jangankan toko emas, mas-mas pun belum punya. Dan yang paling bikin saya misuh adalah tetiba saya diminta bikin artikel ini. Bikin saya jedandapan dan panas dingin.
Dan untuk Kepala Suku, waduh, mending saya nggak usah membahas. Kalau sampai dipisuhi dengan pisuhan andalannya itu, taeeek!, bisa kelar nasib saya.
Masih banyak lagi peristiwa yang sebenarnya patut dipisuhi, namun karena masih belum jelas fatwa misuh itu dosa atau tidak, lebih baik saya cukupkan sampai di sini saja. Lagi pula kalau saya tuliskan semua, bisa-bisa baru selesai di Desember 2017.