MOJOK.CO – Buat generasi Windows 10, pakai komputer spek RAM cuma 16 MB kira-kira bisa buat apa ya? Nyetel bokep? Baru opening title juga udah meledak kena azab, Njir.
Komputer yang pertama kali saya pakai adalah IBM dengan RAM 16 MB. Saat itu, jenis kayak begini bisa dikatakan cukup canggih, karena ada juga yang masih pakai RAM 8 MB. Setdah, kecil amat RAM-nya? Bisa buat ngapain aja komputer yang punya spek kayak gitu?
Dari yang saya tahu, RAM jaman EDO (EDO RAM) satu kepingnya, kapasitasnya ada yang cuma 4 MB. Jadi, mungkin anak jaman sekarang nggak akan bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan dengan komputer dengan spek kayak gitu.
Selain hardware yang luar biasa, sistem operasi yang digunakan pun mungkin saat ini tinggal sedikit yang tahu. Saya menggunakan Lotus 123r24, yang kalau mau nyalain repot, mau matiin bikin bingung. Komplet.
Pakai komputer kayak gitu emang nggak bisa berharap untuk melakukan banyak hal. Namun karena kebutuhan jaman itu nggak sekompleks sekarang, jadi yah nggak begitu masalah juga sih. Lagian komputer jaman segitu juga cuma digunakan buat pengganti mesin ketik doang kok.
Perkenalan saya dengan prosesor Pentium 1 dengan RAM yang lebih hebat: 32 MB, benar-benar berkesan. Sungguh kerasa banget bedanya dibandingkan komputer terdahulu. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung ajak taa’ruf.
Sistem operasi yang digunakan pun sangat canggih, yaitu Windows 95 yang memberikan menu lengkap, lebih dari yang dibutuhkan. Mulai dari ngetik, dengerin musik, liat foto, nonton video, dan main game bisa dilakukan dengan satu perangkat.
Saya ingat game kesukaan saya dulu Virtua Cop dan yang satu lagi adalah Ages of Empires. Eh, dua game itu sekarang masih ada nggak sih?
Pada akhirnya, teknologi semakin meningkat, memaksa gonta-ganti perangkat yang dipakai. Setelah Windows 95, saya pernah pakai Windows 98, Windows 2000 ME (kalau nggak salah Milenium Edition), Windows XP, Windows Vista, Windows 7, Windows 8 dan 8.1, dan yang terakhir Windows 10.
Perjalanan RAM yang digunakan pun sangat spektakuler mulai dari hitungan MegaByte sampai saat ini dihitung dengan ukuran GigaByte. Dan yang lebih hebat, anak sekarang masih bilang: kompi gue kok lemot banget ya?
Padahal apabila dibandingkan, komputer antara jaman sekarang dan dulu, buat saya sih nggak begitu beda jauh. Apalagi kalau komputernya cuma dipakai buat jadi pengganti mesin ketik. Perbedaan terbesarnya ada pada kemampuan internet, terutama pada kecepatan yang dimiliki.
Komputer dulu, mau attach file cuma 2 MB di email aja harus ekstra sabar. Yah, kira-kira kamu klik tombol upload saat zaman Soe Hok Gie, file selesai upload ketika zaman manusia udah migrasi ke planetnya Thanos lah.
Yang lebih bikin kesabaran diuji betul adalah kalau download file yang berukuran ratusan MB. Udah seharian ditungguin, eh, pas mau selesai mati lampu dan file gagal di downloads. Berasa pengen gabung sama Kera Sakti buat ngacak-acak khayangan aja deh kalau udah gitu.
Jadi, derita jaman dulu memang cukup berat dan lengkap. Selain kapasitas komputer, dan kecepatan jaringan internet yang ala kadarnya, listrik yang sering mati mendadak tanpa pemberitahuan juga menjadi tantangan tersendiri.
Ya jangan dibandingkan sama jaman sekarang yang rata-rata udah nggak pakai CPU lagi, tapi pakai laptop. Paling tidak, meski baterai soak, ada jeda beberapa saat untuk membereskan dan mengamankan kerjaan. Bahkan untuk urusan downloads bisa di-pending dan dilanjutkan lain waktu.
Kembali ngomongin jaringan intenet, jaman dulu untuk akses internet sangat terbatas. Karena rata-rata penggunannya juga cuma perkantoran. Jadi kalau mau internetan ya ke warnet, yang kecepatannya sungguh memilukan.
Waktu agak muda dulu, mau internetan mesti cabut kabel telepon terus nyambungin ke modem line. Paling terkenal saat itu pakai Telkomnet Instan 080989999. Saya ingat betul nomornya karena memang cuma itu yang ada iklannya di tipi.
Sedangkan sekarang jaringan intenet sangat cepat, mudah, dan murah. Kalau kata teman saya: ini era di mana nonton film streaming jauh lebih cepat dibanding waktu yang dibutuhkan buat downloads film.
Nggak cuma jaringan landline dan FO (yang sebenernya landline juga), jaringan seluler dan wifi sudah mudah dijumpai. Dan kecepatan jaringannya pun sangat ampuh.
Tidak hanya dari kecepatan, pengguna juga bisa memilih tarif yang sesuai dengan budget. Bukan sekedar hemat, tapi memang kebutuhan setiap orang memang berbeda untuk internet.
Kalau saya sih pakainya kuota harian aja. Bayangkan 2.000 perak per hari dapat 2,5 GB. Bahkan seharian (24 jam) paling cuma kepake 500 MB saja. Bukankah itu namanya berkah anak saleh?
Tapi terkadang hidup tak selamanya indah, kecepatan download juga bisa membawa bencana. Apalagi kalau berurusan dengan autoupdate. Lebih khusus lagi kalau ternyata yang di-update sistem dalam laptop.
Untuk laptop dengan OS Windows 8.1 atau sebelumnya masih cukup manusiawi, karena autoupdates bisa dimatikan. Dan kuota internet yang pas-pasan masih bisa selamat.
Yang paling menderita itu kalau memelihara OS Windows 10 si pemakan kuota harian. Dengan mengunakan OS ini, akhirnya saya paham apa yang dimaksud dengan “penghisapan oleh korporasi” dengan sesungguhnya.
Emangnya nggak bisa dimatiin autoupdate–nya?
Tentu saja bisa, tapi secara berkala, autoupdate bakal nyala sendiri. Dan yang lebih keren adalah nggak butuh waktu lama buat nguras kuota harian yang cuma 2,5 GB itu.
Pagi-pagi kok HP anteng (tenang) bener, tumben. Setelah diselidiki dengan seksama, ternyata kuota internet tinggal 0 MB. Sungguh berita yang menenangkan di pagi hari.
Di sinilah saya merasa telah dirampok oleh Windows 10. Sistemnya begitu cerdas hingga bisa punya inisiatif berlebihan, bahkan melebihi pemilik dan pengguna perangkat.
Dan ternyata, tidak hanya saya yang mengalami hal tersebut. Anak kuliahan teman keponakan saya juga mengalami hal yang sama. Golongan fakir kuota memang sepertinya tidak akur dengan kelakukan Windows 10 yang norak.
Bukannya saya tidak siap menggunakan perangkat canggih dengan kempuan yang tinggi. Tapi kuota saya nggak siap melayani teknologi yang harus dikasih “makan” banyak, terus maksa lagi.
Karena emosi, saya coba tanya teman saya.
“Cung, ini kok Windows 10 saya kok suka update-update sendiri ya?” tanya saya.
“Udah dimatiin autoupdate-nya?” tanya Cungli, teman saya.
“Ya udah dong pasti. Tapi suka otomatis update sendiri nih,” kata saya sambil kesal.
“Oh kalau gitu sih kemungkinan Windows 10 punyamu itu bajakan. Coba kamu cek,” kata Cungli santai.
Dan di saat itu lah saya merasa dilema dan merasa bersalah. Jebul bukan saya yang dirampok Windows 10, tapi saya yang ngerampok.
“Gimana?” tanya Cungli lagi dari ujung telepon.
“Nggak apa-apa, Cung. Makasih,” jawab saya kecut.