MOJOK.CO – Pemkot Surabaya dan Sidoarjo perlu meningkatkan kualitas transportasi publik. Meski “horor”, untung saya tidak kapok untuk mencoba lagi.
Naik transportasi publik untuk kerja adalah impian saya sejak dulu. Lebih dari dua dekade di Surabaya, saya berangkat kerja selalu naik motor. Moda transportasi ini menawarkan fleksibilitas tinggi dengan biaya murah.
Sejak pindah Sidoarjo dari Surabaya pada 2004, kebiasaan memakai motor terus saya lakukan. Saat ini, saya tinggal di Buduran yang berjarak 12 kilometer dari kantor saya di Graha Pena, Surabaya.
Pada 2018, Suroboyo Bus hadir. Sejak kemunculan moda transportasi yang lahir pada 17 April ini, saya malah tak pernah menaikinya. Namun, saya senang dengan kehadiran armada bus warna merah ini dan berharap suatu saat nanti rutin memakainya.
Kesempatan itu akhirnya datang usai saya memakai Trans Jatim untuk pulang kampung. (Baca: Mencoba Trans Jatim Setelah Bosan Bertaruh Nyawa)
Armada bus milik Pemprov Jatim ini baru diluncurkan tahun ini. Mengapa saya tak pernah naik Suroboyo Bus salah satunya karena tak ada transportasi yang nyaman seperti Trans Jatim. Transportasi umum yang bisa mengantar saya ke Terminal Bungurasih relatif tidak ada. Angkot yang bisa saya pakai dipastikan terjebak macet di sepanjang jalan menuju Bungurasih, terutama di daerah Gedangan dan Aloha di Sidoarjo. Akhirnya, pilihan menggunakan motor adalah pilihan realistis.
Perjalanan menyenangkan dari Sidoarjo ke Surabaya
Uji coba pertama menggunakan kombinasi Trans Jatim dan Suroboyo Bus saya awali dari Halte depan Sun City Mall, Sidoarjo. Jarak dari rumah menuju halte kurang lebih 2,5 kilometer. Tak adanya angkutan feeder membuat saya meminta bantuan istri untuk mengantar ke halte ini memakai motor.
Halte Trans Jatim saat itu kosong. Pukul menunjukkan 08.45 WIB. Berbeda dibanding saat weekend, tak banyak warga yang memanfaatkannya. Hanya tiga orang termasuk saya yang naik dari halte itu. Positifnya, saya bisa duduk di kursi yang disediakan. Dua kali naik Trans Jatim menuju Surabaya, saya selalu berdiri.
Ada “pramugari” dengan seragam khusus yang tugasnya menarik uang tiket para penumpang. Dengan tarif Rp5.000 sekali jalan, tiket Trans Jatim bisa dibayar menggunakan QRIS. Yang bikin saya kaget, penumpang bisa membayar memakai uang tunai.
Perjalanan menuju Bungurasih pagi itu tak menemui banyak hambatan. Hanya 30 menit waktu yang saya tempuh. Turun di halte Bungurasih, saya langsung menuju armada Suroboyo Bus yang ngetem di dekat halte Trans Jatim.
Konektivitas Trans Jatim dan Suroboyo Bus yang cukup baik
Minusnya, halte yang jelek dan tidak ramah untuk penumpang disabilitas serta lanjut usia. Jika saja saat itu hujan deras, bisa dipastikan para penumpang akan basah. Beruntung, saat itu, cuaca cerah.
Suroboyo Bus yang saya naiki pertama kali cukup lengang. Hanya seperempat dari kapasitas bus yang terisi. “Pramugari” dengan seragam Dishub menarik tiket menggunakan alat penerima pembayaran.
Penumpang bisa membayar menggunakan e-money dan QRIS. Botol plastik bekas masih bisa dipakai sebagai tiket namun harus ditukarkan di tempat tertentu. Berbeda dengan Trans Jatim, Suroboyo Bus tidak menerima pembayaran tunai.
Kurang dari 30 menit, saya tiba di Halte Ubhara, halte terdekat dari tempat kerja di Surabaya. Beruntung, hari itu tidak ada demo di Jl A. Yani yang bisa menghambat perjalanan. Bisa dibilang keberangkatan saya dari Sidoarjo menuju tempat kerja cukup menyenangkan. Salah satu nilai plus memakai bus dibanding motor adalah badan kita lebih segar dan wangi saat tiba di kantor.
“Horor” mewarnai perjalanan pulang
Sekarang, gantian dari Surabaya menuju Sidoarjo….
Jadi, setiap hari, saya bekerja delapan jam. Selepas kerja, saya menuju halte UINSA yang terletak di seberang Gedung Graha Pena. Suroboyo Bus selalu berhenti di halte yang ada di frontage road ini. Saat itu pukul 18.00 WIB dan cuaca sedang gerimis.
Untuk menuju Halte UINSA, saya harus melewati empat jalur jalan raya dan satu rel kereta. Karena tak bawa payung, saya harus menembus hujan demi mencapai halte itu.
Bismillah…
Sebelum mencapai Halte UINSA, ada jembatan penyeberangan depan Halte Ubhara Surabaya. Saya mengira jika jembatan itu bisa diakses dari halte itu. Ternyata saya salah. Saya harus menyeberang satu jalur yang dipenuhi kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Saya memutuskan menyeberang dari lampu merah depan KFC. Saya tak mau ambil risiko dengan menantang maut. Ada mahasiswa UINSA yang ikut menyeberang bersama saya. Dia mahasiswa baru dari Jember yang tak pernah menyeberang jembatan itu.
Hujan masih turun namun saya harus melewati jembatan penyeberangan. Jaket, tas, dan sepatu pun basah. Sebuah “horor” yang harus saya nikmati demi perjuangan menuju halte.
Baca Halaman Selanjutnya
“Horor” itu masih berlanjut….