MOJOK – Sudah saatnya kita terima konsekuensi dan risikonya menjadi “mayoritas” di negeri ini dengan tidak cuma bereaksi ketika bom Surabaya sudah meledak.
Kadang jengah, walau maklum, terhadap kecenderungan mengimpor mentah-mentah yel dan jargon gerakan di tempat lain untuk kita secara asal-asalan. Salah satunya—yang lagi ramai—ungkapan ini: “terrorist has no religion“.
Aslinya, itu ungkapan penting di Amerika. Sebab, di sana, kaum muslim rentan jadi sasaran kebencian setiap terjadi aksi teror dan kekerasan massal. Ada pembingkaian media yang seringkali gegabah atau malah memang sengaja demi agenda politik tertentu (jaringan TV Fox, misal, yang agendanya menggiring suara kaum konservatif, ultra-kanan, penduduk area bible belt, dan sebagainya ke arah kandidat Partai Republik) yang memprofilkan teroris sebagai muslim, dan lalu muslim sebagai teroris.
Banyak kejadian kekerasan menimpa muslim di sana akibat pembingkaian dan profiling demikian. Kampanye untuk tidak mengaitkan terorisme dengan agama Islam jadi penting. Apalagi, kenyataannya, aksi teror dan kekerasan di sana lebih sering terjadi dengan pelaku yang bukan Islam.
Ini jelas beda dengan yang terjadi di Indonesia. Di sini, muslim mayoritas. Teror oleh kelompok yang menganut paham keislaman tertentu itu nyata, ada, dan tak bisa diabaikan begitu saja. Mayoritas inilah yang harus ikut bertanggung jawab apabila terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas. Dan, ya, termasuk juga ada kelompok Islam (walau jumlahnya kecil berupa sempalan) melakukan teror.
Apalagi, nyatanya, posisi mayoritas ini sering digunakan dalam keluhan-keluhan cengeng meminta agar bisa dapat lebih banyak dari kue pembangunan dari masa ke masa. Posisi mayoritas dieksploitasi untuk politik identitas, bikin kerumunan mendesak, dan memaksakan kehendak dalam kehidupan bersama ini.
Akan tetapi, begitu ada peristiwa gelap seperti pemboman oleh keluarga muslim kelas menengah kota yang sebelum berangkat ngebom salat berjemaah dulu di masjid sekitar rumah mereka, lantas buru-buru bilang, “terrorist has no religion!”
“Lho, mereka yang ngebom, yang meneror, kenapa saya yang harus bertanggung jawab?”
Seorang muslim yang tenggelam dalam dunia gelap terorisme sampai meledakkan bom Surabaya itu tidak lahir dan muncul tiba-tiba jadi teroris. Bisa jadi, ia lahir dari abainya kita atas tanda-tanda kekerasan di sekitar kita, “liberal”-nya kita pada ceramah-ceramah kebencian, atau karena ada terlalu banyak dari kita yang mencukupkan diri dengan membedakan diri dengan “mereka”, merasa puas bahwa “mereka” itu “bodoh”, “dungu”, atau “kaum bumi datar” lalu asyik dengan dunia kita sendiri, kenyamanan-kenyamanan kita sendiri.
Soal abai-abai ini, saya pun masih maklum—manusiawi juga lah ya? Kita tentu saja mencari kenyamanan dalam mencoba memahami peristiwa mengerikan ini. Kita mencoba melindungi diri dari hal yang menyakitkan, dari kenyataan yang mengganggu kenyaman identitas kita sebagai muslim.
Terhadap teroris, kita pun bisa saja merasa cukup dengan menyatakan penuh semangat bahwa “aku bukan mereka”, karena “mereka bego, sedang aku tidak bego.”
Bagaimana jika ternyata pelaku bom Surabaya ini jauh dari kata “bego”, mereka berpendidikan tinggi, dan secara umum profil mereka sama saja dengan saya dan kamu? Atau bahwa memang mereka telah punya kalkulasi dan rasionalisasi sendiri atas pilihan mereka melakukan teror? Tapi, ya, okelah. Mekanisme melindungi diri dari kenyataan yang pahit itu manusiawi. Tidak sehat memang, walau tetap manusiawi.
Enggak pada tempatnya, saya kira, kawan-kawan muslim yang ini menggunakan ungkapan “teroris enggak punya agama” secara seenaknya. Itu namanya cuci tangan. Lalu seenaknya pula membingkai-bingkai aksi yang penuh dengan teriakan bersifat intoleran dengan kata “damai” dan “cinta”.
Kok enak saja melindungi diri, melepas tanggung jawab, dengan bilang “teroris enggak punya agama”?
Mari tidak enak sedikit: mengakui bahwa terorisme yang dilakukan kelompok muslim tertentu itu lahir dari gerakan Islam dan kita selama ini telah lalai memerhatikan mereka. Kita memang lalai menutup ideologi teror semacam itu di sekitar kita.
Pengakuan ini penting karena dengan begitu kita mau untuk “mengobatinya” bersama-sama. Kita enggak bisa lagi hanya berharap pada negara, pada Densus 88, atau aparat anti-teror membabati satu demi satu terduga teroris. Orang-orang seperti itu mungkin berhasil ditangkap, beberapa malah langsung terbunuh (meski sayang sekali, padahal masih terduga), dan kelihatannya secara kasat mata teroris berkurang.
Akan tetapi, pada kenyataanya, jumlah teroris yang ditangkap tidak menjamin jalanan jadi aman. Tidak menjamin aksi bom tidak akan terulang kembali. Dan untuk satu ini, sepakat dengan tulisan Cepi Sabre pada tulisan kemarin, bahwa kita harus mengakui aksi teror itu adalah bagian dari kita.
Sebab, dengan pengakuan ini, kita juga akan merasa punya tanggung jawab lebih untuk menghilangkan benih-benihnya. Tidak hanya beranjak heroik ketika bom Surabaya sudah meledak, anggota polisi tertusuk, atau pastor disambit di gereja.
Sebab, sangat sulit untuk menyembukan “wajah” Islam jika kita tidak pernah mengakui bahwa kita punya bagian-bagian yang memang perlu diobati. Kalau kita terus saja menyangkal mereka bukan bagian dari kita, hal itu justru tidak menyembuhkan, melainkan hanya sekedar mengamputasi.
Meminjam kata-kata Malala Yousafzai, “Dengan senjata kamu memang bisa membunuh teroris, tapi dengan pendidikan kamu bisa membunuh terorisme.”
Sudah saatnya saya kira, kita mengambil konsekuensi dan risikonya menjadi “mayoritas” dengan melibatkan diri lebih jauh untuk menanggulanginya, bukan cuma bereaksi setelahnya. Agar saudara-saudara kita yang beda agama, tidak melulu menganggap kita hanya peduli kepada mereka kalau sudah jatuh korban.