ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Jika Pelaku Bom Bunuh Diri Beragama Islam, Ya Kita Harus Mengakuinya

Hikmat Darmawan oleh Hikmat Darmawan
16 Mei 2018
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK – Sudah saatnya kita terima konsekuensi dan risikonya menjadi “mayoritas” di negeri ini dengan tidak cuma bereaksi ketika bom Surabaya sudah meledak.

Kadang jengah, walau maklum, terhadap kecenderungan mengimpor mentah-mentah yel dan jargon gerakan di tempat lain untuk kita secara asal-asalan. Salah satunya—yang lagi ramai—ungkapan ini: “terrorist has no religion“.

Aslinya, itu ungkapan penting di Amerika. Sebab, di sana, kaum muslim rentan jadi sasaran kebencian setiap terjadi aksi teror dan kekerasan massal. Ada pembingkaian media yang seringkali gegabah atau malah memang sengaja demi agenda politik tertentu (jaringan TV Fox, misal, yang agendanya menggiring suara kaum konservatif, ultra-kanan, penduduk area bible belt, dan sebagainya ke arah kandidat Partai Republik) yang memprofilkan teroris sebagai muslim, dan lalu muslim sebagai teroris.

Banyak kejadian kekerasan menimpa muslim di sana akibat pembingkaian dan profiling demikian. Kampanye untuk tidak mengaitkan terorisme dengan agama Islam jadi penting. Apalagi, kenyataannya, aksi teror dan kekerasan di sana lebih sering terjadi dengan pelaku yang bukan Islam.

Ini jelas beda dengan yang terjadi di Indonesia. Di sini, muslim mayoritas. Teror oleh kelompok yang menganut paham keislaman tertentu itu nyata, ada, dan tak bisa diabaikan begitu saja. Mayoritas inilah yang harus ikut bertanggung jawab apabila terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas. Dan, ya, termasuk juga ada kelompok Islam (walau jumlahnya kecil berupa sempalan) melakukan teror.

Apalagi, nyatanya, posisi mayoritas ini sering digunakan dalam keluhan-keluhan cengeng meminta agar bisa dapat lebih banyak dari kue pembangunan dari masa ke masa. Posisi mayoritas dieksploitasi untuk politik identitas, bikin kerumunan mendesak, dan memaksakan kehendak dalam kehidupan bersama ini.

Akan tetapi, begitu ada peristiwa gelap seperti pemboman oleh keluarga muslim kelas menengah kota yang sebelum berangkat ngebom salat berjemaah dulu di masjid sekitar rumah mereka, lantas buru-buru bilang, “terrorist has no religion!”

“Lho, mereka yang ngebom, yang meneror, kenapa saya yang harus bertanggung jawab?”

Seorang muslim yang tenggelam dalam dunia gelap terorisme sampai meledakkan bom Surabaya itu tidak lahir dan muncul tiba-tiba jadi teroris. Bisa jadi, ia lahir dari abainya kita atas tanda-tanda kekerasan di sekitar kita, “liberal”-nya kita pada ceramah-ceramah kebencian, atau karena ada terlalu banyak dari kita yang mencukupkan diri dengan membedakan diri dengan “mereka”, merasa puas bahwa “mereka” itu “bodoh”, “dungu”, atau “kaum bumi datar” lalu asyik dengan dunia kita sendiri, kenyamanan-kenyamanan kita sendiri.

Soal abai-abai ini, saya pun masih maklum—manusiawi juga lah ya? Kita tentu saja mencari kenyamanan dalam mencoba memahami peristiwa mengerikan ini. Kita mencoba melindungi diri dari hal yang menyakitkan, dari kenyataan yang mengganggu kenyaman identitas kita sebagai muslim.

Terhadap teroris, kita pun bisa saja merasa cukup dengan menyatakan penuh semangat bahwa “aku bukan mereka”, karena “mereka bego, sedang aku tidak bego.”

Bagaimana jika ternyata pelaku bom Surabaya ini jauh dari kata “bego”, mereka berpendidikan tinggi, dan secara umum profil mereka sama saja dengan saya dan kamu? Atau bahwa memang mereka telah punya kalkulasi dan rasionalisasi sendiri atas pilihan mereka melakukan teror? Tapi, ya, okelah. Mekanisme melindungi diri dari kenyataan yang pahit itu manusiawi. Tidak sehat memang, walau tetap manusiawi.

Enggak pada tempatnya, saya kira, kawan-kawan muslim yang ini menggunakan ungkapan “teroris enggak punya agama” secara seenaknya. Itu namanya cuci tangan. Lalu seenaknya pula membingkai-bingkai aksi yang penuh dengan teriakan bersifat intoleran dengan kata “damai” dan “cinta”.

Kok enak saja melindungi diri, melepas tanggung jawab, dengan bilang “teroris enggak punya agama”?

Mari tidak enak sedikit: mengakui bahwa terorisme yang dilakukan kelompok muslim tertentu itu lahir dari gerakan Islam dan kita selama ini telah lalai memerhatikan mereka. Kita memang lalai menutup ideologi teror semacam itu di sekitar kita.

Pengakuan ini penting karena dengan begitu kita mau untuk “mengobatinya” bersama-sama. Kita enggak bisa lagi hanya berharap pada negara, pada Densus 88, atau aparat anti-teror membabati satu demi satu terduga teroris. Orang-orang seperti itu mungkin berhasil ditangkap, beberapa malah langsung terbunuh (meski sayang sekali, padahal masih terduga), dan kelihatannya secara kasat mata teroris berkurang.

Akan tetapi, pada kenyataanya, jumlah teroris yang ditangkap tidak menjamin jalanan jadi aman. Tidak menjamin aksi bom tidak akan terulang kembali. Dan untuk satu ini, sepakat dengan tulisan Cepi Sabre pada tulisan kemarin, bahwa kita harus mengakui aksi teror itu adalah bagian dari kita.

Sebab, dengan pengakuan ini, kita juga akan merasa punya tanggung jawab lebih untuk menghilangkan benih-benihnya. Tidak hanya beranjak heroik ketika bom Surabaya sudah meledak, anggota polisi tertusuk, atau pastor disambit di gereja.

Sebab, sangat sulit untuk menyembukan “wajah” Islam jika kita tidak pernah mengakui bahwa kita punya bagian-bagian yang memang perlu diobati. Kalau kita terus saja menyangkal mereka bukan bagian dari kita, hal itu justru tidak menyembuhkan, melainkan hanya sekedar mengamputasi.

Meminjam kata-kata Malala Yousafzai, “Dengan senjata kamu memang bisa membunuh teroris, tapi dengan pendidikan kamu bisa membunuh terorisme.”

Sudah saatnya saya kira, kita mengambil konsekuensi dan risikonya menjadi “mayoritas” dengan melibatkan diri lebih jauh untuk menanggulanginya, bukan cuma bereaksi setelahnya. Agar saudara-saudara kita yang beda agama, tidak melulu menganggap kita hanya peduli kepada mereka kalau sudah jatuh korban.

Terakhir diperbarui pada 29 Maret 2021 oleh

Tags: anti-terorbombom surabayadensus 88gerejaIslamMalala YousafzaiMuslimreligionteroristerrorist has no religion
Iklan
Hikmat Darmawan

Hikmat Darmawan

Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta dan Direktur Kreatif Pabrikultur

Artikel Terkait

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid
Movi

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid

30 Maret 2025
Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern
Movi

Dakwah Kreatif ala Miko Cakcoy Lewat Wayang, Jembatani Tradisi dan Agama di Era Modern

15 Maret 2025
Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen
Movi

Makna Khodam dalam Perspektif Islam dan Kejawen

3 Agustus 2024
mahasiswa surabaya kuliah di iran.MOJOK.CO
Kampus

Mahasiswa Asal Surabaya Nekat Kuliah di Iran, Rasakan Negara yang Dicap “Mengerikan” Ternyata Membuat Nyaman, Hidup Sebulan Modal 500 Ribu

30 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Mahasiswa gap year kuliah di Unila. MOJOK.CO

Ditolak Kampus Bergengsi padahal Dulu Jadi Siswa Terpintar hingga Malu Melamar Kerja karena Ijazah SMA, Kini Pilih Kerja Sesuai Passion

11 Juni 2025
pengalaman pertama naik krl jogja-solo, klaten.MOJOK.CO

Pengalaman Pertama Orang Klaten Naik KRL Jogja-Solo, Sok-sokan Berujung Malu karena Tak Paham Kursi Prioritas dan Salah Turun Stasiun

13 Juni 2025
Orang kaya pertama kali naik bus ekonomi, tersiksa jiwa raga sampai trauma MOJOK.CO

Orang Kaya Naik Bus Ekonomi: Coba-coba Berujung Tersiksa, Dimaki Pengamen sampai Tahan Kencing Berjam-jam

12 Juni 2025
Universitas Mercu Buana Yogyakarta Kampus yang Menyedihkan MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Mercu Buana Yogyakarta Sungguh Merana, Sudah Habis Puluhan Juta tapi Fasilitas Tidak Ramah Mahasiswa

9 Juni 2025
Berkah Waisak 2025 bagi Candi Borobudur Magelang MOJOK.CO

Berkah yang Terasa dari Waisak 2025 di Candi Borobudur

11 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.