MOJOK.CO – Agama adalah pakaian mewah yang dikenakan Paus Fransiskus di dalam hatinya. Sementara atribut pakaian luarnya adalah kemanusiaan yang bersahaja.
Indonesia beruntung menjadi salah satu negara yang dikunjungi Paus Fransiskus. Saat ini, Sri Paus sedang menjalani serangkaian perjalanan apostolik (kepausan) di sejumlah negara Asia Tenggara dan Pasifik.
Oleh sebab itu, umat Katolik di Indonesia generasi ini mendapatkan berkah untuk bisa bertemu pemimpin tertingginya. Kali terakhir Sri Paus berkunjung ke Indonesia terjadi 35 tahun silam. Dan sejak negeri ini merdeka, tercatat baru tiga kali Sri Paus mengunjungi umatnya di Indonesia. Mereka adalah Paus Santo Paulus VI (1970), lalu Paus Santo Yohanes Paulus II (1989), dan kunjungan Paus Fransiskus kali ini.
Akan tetapi, sebetulnya tidak hanya umat Katolik yang mendapat berkah kehadiran Paus Fransiskus. Kita semua dapat ngalap berkah dari kunjungan ini.
Berkahnya berupa pelajaran yang sangat penting. Terutama cara menjadi manusia yang bermartabat dan mulia. Keberuntungan itu juga datang di saat yang sangat tepat, di mana hikmah-hikmah yang dapat kita unduh dari kehadiran Sri Paus. Momentumnya bersamaan dengan kondisi krisis kemanusiaan bangsa ini yang sedang kita tonton belakangan ini.
Paus Fransiskus datang mewartakan contoh sebenarnya dari laku kesederhanaan
Dari berbagai foto dan video kunjungan Paus Fransiskus, warganet Indonesia menyoroti beberapa hal yang melekat pada penampilan beliau. Terutama aksesoris busana, yang dinilai sebagai simbol-simbol kesahajaan.
Ada sebuah ulasan foto yang membahas sepatu kusam Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi Gereja Katolik seluruh dunia itu memakai sepatu lawas berwarna hitam. Sepatunya sudah berlekuk-lekuk karena sudah lama sekali beliau memakainya.
Adalah Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, mengonfirmasi hal ini. Beliau sangat dekat dan secara langsung menyaksikan sepatu hitam Sri Paus yang sudah pating tlekuk.
Sebagai penghobi (beli) sepatu, saya pribadi sangat tertohok dengan kenyataan ini. Bahkan harus jujur mengakui, warna sepatu yang saya pilih harus menyesuaikan nuansa warna baju saya.
Jam tangan sederhana Sri Paus
Media juga mengamati jam tangan Paus Fransiskus. Banyak perdebatan di media sosial tentang merek jam tangan berwarna hitam-putih yang melingkar di pergelangan Sri Paus.
Foto ini tertangkap saat beliau melambaikan tangan dari dalam mobil jemputan di bandara Soekarno- Hatta. Ada yang yang menduga jam itu bermerek Swatch, ada yang menyebutkannya jam Casio yang harganya Cuma Rp100 ribuan.
Di tengah gempuran hasrat memamerkan merek jam digital olahraga, kita seharusnya tertampar dengan kenyataan ini. Kita yang hari ini sedang dilanda fenomena sporty olahraganya abal-abal gapapa, yang penting posting pakai jam G*armin dan sepatu H*OKA”, semestinya bisa mengambil hikmahnya.
Tidak mau menginap di hotel mewah
Kenyataan berikutnya membuka mata warga Indonesia (terutama para pejabat) adalah kenyataan bahwa Paus Fransiskus memilih menginap di kamar Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta, bukan hotel mewah. Lalu, selama kunjungannya, Sri Paus “hanya” menggunakan mobil Innova, duduk di depan samping sopir.
Pikiran kita otomatis akan membuat perbandingan dengan pelayanan mewah tokoh-tokoh di negeri ini. Di negeri ini, sekelas pendakwah lokal kabupaten saja kadang minta dijemput Alphard dan menginap di hotel bintang lima.
Sebetulnya, bisa saja kesederhanaan Paus Fransiskus ini disangkutkan dengan fenomena riders (permintaan pelayanan) anak band yang serba manja dan menyebalkan itu. Yang kadang minta hal-hal aleman yang sudah tidak kontekstual dengan kesenian sama sekali. Tapi, itu kita bahas lain kali.
Baca halaman selanjutnya: Pelajaran penting bagi semua umat manusia.
Momentum “kesederhanaan” Paus Fransiskus
Ada satu hal sangat mencolok yang sebenarnya menjadi premis tulisan ini. Tentang momentum yang sangat pas untuk mengejek kelakuan sewenang-wenang penguasa kita.
Yang saya maksud adalah fakta bahwa Paus Fransiskus naik pesawat komersil dari Italia ke Indonesia. Beliau datang bersama rombongan Vatikan dan media undangan. Entah sengaja atau tidak, tapi realita ini jelas sangat pas dengan hebohnya kasus pesawat jet pribadi Sang Pangeran negara kita.
Meskipun, kemarin sang raja lantas merespons sikap Paus Fransiskus dengan ikut-ikut naik Innova sebagai kendaraan resmi kepresidenannya. Banyak warganet yang mencemooh langkah presiden ini dengan stempel pencitraan, cuma copy-paste, atau memanfaatkan apa yang sedang viral.
Yah, seperti kebiasaan latah pejabat-pejabat kita. Ibarat pepatah Jawa, “Becik ketitik ala ketara”, pencitraan Innova ini hanya dinilai setitik oleh warganet.
Tapi, kita harus adil, bukan? “Kebaikan” setitik yang dilakukan Jokowi ini juga tetap harus dihargai. Meskipun akhir-akhir ini masyarakat melihat dengan mata telanjang dipertontonkan aneka (“ala”) keburukannya. Sepesimis apapun, harapan tetap harus ada. Semoga saja langkah Jokowi naik Innova itu bukan hanya karena kunjungan Sri Paus saja, tapi berlaku seterusnya dan dicontoh para pejabat berikutnya.
Paus Fransiskus Mewartakan Kemanusiaan
Paus Fransiskus memang dikenal dekat dan peka dengan krisis kemanusiaan, terutama akan masalah kemiskinan. Sejak sebelum diangkat menjadi Sri Paus, dikisahkan bahwa Jorge Mario Bergoglio (nama asli saat masih menjadi Kardinal di Argentina) banyak terlibat di kegiatan kemanusiaan.
Beliau dianggap sebagai ‘Paus-nya orang miskin di Argentina’, yang selalu peduli dengan pengangguran, kelaparan, pengasingan, dan peperangan. Bahkan ketika terpilih, beliau memilih nama Fransiskus yang terinspirasi dari Santo Fransiskus dari Assisi di Italia.
Santo ini adalah pelindung bagi orang miskin. Dikisahkan, sekitar tahun 1200-an, Fransiskus meninggalkan segala harta benda dan kemewahan hidupnya. Beliau menyumbangkan semuanya untuk masyarakat miskin. Nilai kemanusiaan Santo Fransiskus tersebut diteladani oleh Sri Paus hari ini sebagai gelar kepausannya.
Kesederhanaan tersebut merupakan nilai kemanusiaan yang sangat layak untuk dicontoh oleh semua manusia. Paus Fransiskus menunjukkan ajaran urip prasaja dalam protokoler perjalanannya.
Kesederhanaan itu pernah diungkapkan oleh Romo Magnis-Suseno. Dalam iman yang mereka yakini, ketidakmelekatan dan bahkan kemelaratan itu adalah konsekuensi yang harus dilakoni pemimpin agama mereka.
Menjunjung tinggi etika, martabat, dan kepekaan sosial
Dari kunjungan singkat Paus Fransiskus ini kita bisa memetik ajaran bahwa etika, martabat, kepekaan sosial, tetap harus dijunjung tinggi. Kita juga bisa belajar bagaimana sebuah kekuasaan tidak menyilaukan manusia.
Kalau dipikir-pikir, Sri Paus berhak saja meminta segala riders mewah dalam kehidupannya. Toh, Vatikan sangat kaya dan mampu menyediakan segalanya. Tetapi, bukan itu yang dipilihnya. Sri Paus tidak keladuk dan silau oleh takhta kekuasaanya.
Ini adalah pelajaran kemanusiaan yang sangat berharga bagi bangsa ini. Di tengah pertunjukan kesewenangan dan kemewahan oleh para pemimpin bangsa saat ini, saat angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi, Sri Paus dikirim Tuhan untuk membuka hati dan mewartakan etika kemanusiaan pada negara kita.
Paus Fransiskus menunjukkan simbol-simbol kemanusiaan untuk mengembalikan lagi martabat politik demokrasi bangsa ini. Karena telah lama Indonesia kehilangan sosok-sosok yang bisa mengajarkan kita menjadi manusiawi.
Meminjam pikiran Budiman Tanuredjo, bahwa kita mengalami krisis keteladanan karena bangsa ini kehilangan sosok seperti Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Ahmad Syafii, Gus Dur, IJ Kasimo, yang dahulu senantiasa mengajarkan kehidupan bermartabat. Kita beruntung Sri Paus datang di saat yang tepat.
Meskipun, bagi sebagian kita barangkali masih sukar meneladani sikap dari orang yang berbeda agama. Atau bahkan dari pemimpin agama lain. Banyak dari kita masih terbelenggu pemikiran sempit yang selalu meributkan agama dengan sentimen berlebihan.
Namun, ini adalah pelajaran tentang manusia dan kemanusiaan. Bukan tentang mazhab atau hukum agama yang bagi beberapa orang no debat. Ini adalah belajar menjadi manusia santun dan bersahaja. Untuk itu kita boleh belajar dari siapa saja, tanpa terbatas sekat agama.
Ini tentang kesahajaan umat manusia
Seperti pepatah, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, bukan berarti kita harus ke Cina secara harfiah. Maksudnya kita menuntut ilmu setingginya dengan belajar menaklukkan segala batasan yang ada. Baik itu batas jarak, waktu, dan guru. Untuk kondisi Indonesia hari ini, barangkali cara mempelajari kembali makna kemanusiaan adalah dengan meneladani kunjungan Sri Paus.
Ini bukan tentang agama tertentu, tapi tentang kesahajaan seluruh umat manusia. Saya akan menyimpulkan kekaguman saya (seorang muslim penghayat kejawen) kepada Paus Fransiskus dengan salah satu versi kutipan piwulang terkenal dari Sastra Jawa, di tembang Pangkur, “Agama ageming ati”.
Agama adalah pakaian mewah yang dikenakan Paus Fransiskus di dalam hatinya. Sementara atribut pakaian luarnya adalah kemanusiaan yang bersahaja.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Saya Orang Non-Katolik yang Mencoba Memahami Betapa Spesialnya Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dan pelajaran menarik lainnya di rubrik ESAI.