Sebagai Redaktur Mojok, hampir setiap hari saya “dipaksa” memantau isu, gosip, dan aneka kabar heboh yang berseliweran di media sosial. Dari perkembangan politik tingkat tinggi sampai kabar Inces Syahrini. Dari berita berlabel investigatif sampai yang berembel-embel “Nomor 6 Bikin Netizen Salto”. Dari seputar beras Maknyuss dan impor garam sampai kabar siapa yang turun dari panggung Bintang Pantura 4 Indosiar.
Salah satu kabar heboh sedang naik daun adalah polemik patung Dewa Perang Cina Kwan Sing Tee Koen alias Kwan Kong di Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur, yang dianggap melecehkan Tuban.
Pembangunan patung yang tingginya mencapai 30 meter dan tercatat sebagai patung Kwan Kong tertinggi di Asia Tenggara ini dinilai tidak pantas, karena berdiri di atas tanah kota Tuban, kota yang terkenal dengan sebutan Bumi Wali, dan masyarakatnya yang mayoritas muslim. Bahkan, sampai ada yang mekso membandingkan tinggi patung ini dengan patung Jenderal Sudirman di Jakarta yang hanya 12 meter.
Aduuuh … bodhol bakule slondok!
Beberapa kawan saya yang asli Tuban justru mengaku ayem-ayem saja atas keberadaan patung Kwan Kong tersebut. Orang-orang Tuban sendiri mengaku selama ini tidak pernah ada masalah. Ealah, lha kok mendadak muncul isu soal Patung Kwan Kong yang dianggap melecehkan masyarakat Tuban. Kan wagu.
Lebih wagu lagi, ada yang mengatakan bahwa keberadaan patung ini dikhawatirkan akan menjadi trademark kota Tuban dan bisa mengalahkan pamor Sunan Bonang.
Andai Sunan Bonang masih hidup dan mendengar itu, saya yakin belio akan sangat sedih. Atau bisa jadi malah geli.
Sebagai penggemar Kisah Tiga Kerajaan (San Guo Yan Yi), saya merasa punya kewajiban moral untuk (((angkat barbel bicara))). Lha gimana ya, ini menyangkut pendekar favorit dan idola saya: Kwan Kong.
(Kemudian ada yang komentar: “Masya Alloh, Mas, ngefens kok sama orang kafir. Mbok ya ngefens sama Teuku Wisnu atau Dude Herlino, yang sudah jelas Islam, cakep, pinter jualan oleh-oleh lagi.”)
Buat belum tahu Kwan Kong, belio ini nama aslinya Guan Yunchang. Sering dipanggil Guan Yu. (Yang sering main Dinasty Warrior pasti tahu sosok ini). Belio penduduk asli kabupaten Hedong, tapi maaf, saya nggak tahu pasti kecamatannya apa.
Mas Kwan Kong ini hidup di zaman pengujung Dinasti Han, zaman yang populer dengan nama Samkok, saat Cina terpecah menjadi tiga kerajaan besar (Wu, Shu, Wei). Nah, Kwan Kong ini salah satu pendekar besar dari kerajaan Shu. Ia dikenal sebagai pendekar pilih tanding yang pokoknya paling pendekar di antara semua pendekar. Belio tangguh, kuat, setia, jujur, dan tidak pernah ingkar janji. Jika ada kriteria pendekar yang benar-benar mengamalkan Dasa Dharma Pramuka, Kwan Kong inilah orangnya.
Ketika idola saya itu disebut-sebut ikut dalam usaha pelecehan masyarakat Tuban, tentu saja saya merasa harus membuat pembelaan. terlalu banyak alasan yang membuat keberadaan patung Kwan Kong ini tidak layak untuk dipermasalahkan—selain tentu saja blas nirfaedah dan seperti orang kurang gawean.
Pertama, patung ini bukan berada di halaman Kantor Wali Kota, alun-alun, atau simpang jalanan utama, melainkan di beranda klenteng. Sehingga keberadaannya memang sudah jelas hanya mewakili kelompok Tionghoa, bukan keseluruhan masyarakat Tuban.
Kedua, patung ini bukan patung berhala. Sedari awal, pembangunannya memang sekadar sebagai penghias klenteng. “Tidak ada ritual apa pun di sana, kita hanya menampilkan figur Kwan Kong sebagai lambang tauladan kesatria sejati yang selalu menempati janji setiap sumpahnya,” begitu kata Gunawan, kepala Klenteng Kwan Sing Bio akhir tahun lalu, jauh sebelum polemik nggak mutu ini bergulir.
Ketiga, patung ini sama sekali tidak merusak identitas keindonesiaan atau keislaman warga Tuban. Yang Indonesia tetap Indonesia, yang Islam juga nggak berubah jadi Konghucu.
Nah, ketiga alasan ini sebenarnya sudah cukup untuk menangkis argumen orang-orang yang mempermasalahkan patung Kwan Kong. Namun… ah, rasanya memang percuma. Sebab di Indonesia ini, terutama setelah heboh kasus Ahok, banyak hal yang berbau Cina (apalagi yang nonmuslim) seolah menjadi simbol penjajahan baru atas eksistensi pribumi, dan selalu dipermasalahkan dengan macam-macam alasan.
Lha Kwan Kong ini ndilalah kok ya paket lengkap dan empuk. Sudah Cina, tidak Islam, mukanya sangar, tentengannya senjata tajam lagi. Pas.
Inilah yang kemudian membuat saya sadar, sebenarnya sia-sia saja saya membela Mas Kwan Kong.
Meski begitu, saya tak ingin menyerah. Kalaupun saya tidak bisa membela Mas Kwan Kong, setidaknya izinkan saya berpesan kepada orang-orang yang mempermasalahkan patung idola saya itu.
Pesan saya sederhana:
Daripada sibuk mempermasalahkan patung Kwan Kong yang kalian anggap representasi Cina dan non-Islam, Ha mbok bikin riset othak-athik gathuk agar punya bukti bahwa Kwan Kong itu Islam. Itu pasti lebih berfaedah dan bermanfaat, sekaligus bisa bikin Kanjeng Sunan Bonang bangga. Ya siapa tahu, tho? Wong Gajah Mada saja bisa diislamkan kok, masa Kwan Kong tidak?
Atau, jika memang tetap ingin mempermasalahkan dunia perpatungan, sekalian saja permasalahkan saudara-saudara saya warga Muntilan; mereka itu agamanya Islam, baca syahadat, bayar zakat, tapi kerjaannya bikin patung Bunda Maria, Yesus, dan Buddha.