MOJOK.CO – Ada sebuah kitab kuno di negeri komunis Cina berjudul Zizhi Tongjian yang berisi mengenai panduan memilih seorang calon pemimpin. Santri yang kuliah di Cina ini mengulasnya untuk kita semua.
Kebetulan saat ana sedang membaca kitab kuno dari negeri komunis Cina, Zizhi Tongjian jilid 1 pada 10 Juli kemarin, Presiden Cina Xi Jinping sedang memberikan sambutan dalam Forum Kerja Sama Cina-Arab (Muntadā al-Ta‘āwun al-Ṣīnī al-‘Arabī).
Sambutan ini kurang lebih berisi pengumuman kalau negeri komunis Cina akan menggelontorkan bantuan sejumlah RMB 600 juta (dikali Rp2.000) buat Suriah, Yaman, Lebanon, dan hibah RMB 100 juta khusus Palestina, juga pinjaman sebanyak USD 20 miliar (dikali Rp14.000) buat negara-negara Arab yang berniat membangun kembali negerinya yang porak-poranda akibat perang saudara tak berkesudahan, plus suntikan dana riba awal senilai USD 3 miliar untuk bank korsorsium Cina-Arab yang akan segera didirikan.
Tapi antum tak usah panik, apalagi mengelak info ini. Maklum, negeri komunis-kafir-laknatullah itu memang sudah sejak zaman baheula sok-sokan lewat pepatahnya, “qian ke tong shen.” Artinya: jika kau punya uang, dewa pun bisa kau ajak berbincang-bincang. See, pentung-able sekali bukan?
Oke, sekarang kita masuk ke pembahasan inti soal Zizhi Tongjian Jilid 1 yang barusan saya baca.
Zizhi Tongjian, jika diterjemahkan secara harfiah, bermakna Cermin Komprehensif untuk Menyelamatkan Pemerintahan. Karenanya, meski bahasanya jelimet dan tebalnya masyaallah, kitab ini selalu dijadikan pegangan para (calon) penguasa negeri komunis ini sejak ribuan warsa masa kedinastian sampai sekarang yang, antum mafhum, dipimpin partai komunis kandidat pasti penghuni abadi kerak neraka.
Penulis Zizhi Tongjian bernama Sima Guang. Sejarawan cum kanselir agung Dinasti Song Utara (960–1127). Perlu waktu 19 tahun dihabiskan oleh Sima Guang buat merampungkan karya monumentalnya yang terdiri dari 294 jilid itu. Setdah, itu kitab apa rengginang? Buanyak amat.
Tentu, karena bukan kitab agama, Sima Guang sebagai muṣannif tidak memulai tulisannya dengan kalimat hamdalah dan sebangsanya seperti kitab kuning-gundul di pesantren. Tanpa banyak cincong, doi malah langsung nyerocos mengisahkan apa yang terjadi sebelum Cina yang awalnya—meminjam semboyan Jawa Barat: gemah ripah repeh rapih, terperosok ke dalam periode negara berperang (zhanguo shidai) pada 403 SM.
Baiklah, ana alihbahasakan ugal-ugalan dan ringkas saja ceritanya biar enggak kelewat berbelit-belit ala judul-judul sinetron Indosiar.
Syahdan, pada penghujung kepenguasaan Dinasti Zhou Timur (770–256 SM), Negara Jin adalah yang paling kuat.
Sebentar. Tolong antum jangan lafalkan itu sesuai makhraj lugat al-‘arabiyyah atau bahasa Indonesia. Nanti dikiranya di Cina ada kerajaan jin lagi. FYI, “j” dalam bahasa Mandarin diartikulasikan sebagai “c”. Sama kayak antum mengucapkan kata “micin”. Jadi itu bacanya Negara Cin. Klir, ya, cin, Micin?
Sip, lanjut.
Meski Negara Jin adalah negara yang kuat, hanya saja negara ini digerogoti oleh keluarga-keluarga bangsawan yang saling berebut kuasa dari dalam. Di antara mereka, yang paling digdaya adalah Keluarga Cendana, eh salah, Keluarga Zhi maksudnya.
Pada suatu hari, Keluarga Zhi merundingkan ihwal siapa yang akan menjadi pewaris jabatan menteri selepas sesepuh mereka mati. Zhi Xuanzi, anggota Keluarga Zhi yang kala itu menjadi Menteri Negara Jin, merekomendasikan Zhi Yao, putra tertuanya, untuk menggantikannya bila dirinya koit nanti.
Kenapa mesti Zhi Yao? Abangnya bilang karena dia mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki anak-anaknya yang lain.
Catat baik-baik kelebihan-kelebihan Zhi Yao yang membuat sang ayah merasa pantas mengangkatnya menjadi penguasa ini: (1) tampan; (2) jago bersenjata dan berkuda; (3) pandai menulis dan berorasi; (4) gagah berani.
‘Afwan, kalau ukhti merasa ciri-ciri di atas kayak ada mirip-miripnya dengan seseorang di Indonesia, anggap saja itu sebatas kebetulan semata.
Namun, ada satu orang dari Keluarga Zhi yang tidak sependapat dengan Zhi Xuanzi. Namanya Zhi Guo. Alasannya, sekalipun Zhi Yao mempunyai kelebihan-kelebihan sebagaimana dimaksud ayahnya, tapi ada satu kekurangan yang teramat bahaya kalau dikesampingkan.
Kekurangan satu ini saja, ungkapnya, akan berbahaya kalau Zhi Yao dibiarkan berkuasa. Menurut Zhi Guo, anak yang katanya punya segudang keistimewaan ini akan menjadi penguasa zalim yang ujung-ujungnya akan membuat negeri bubar dan Keluarga Zhi binasa.
Memangnya apa satu kekurangan Zhi Yao itu?
Zhi Guo menjawab ketus, “Dia sangat tidak memiliki rasa belas kasihan (shen bu ren).”
Sayang, Zhi Xuanzi ogah menggubris peringatan Zhi Guo. Dia tetap ngotot menggembleng Zhi Yao menjadi penerus singgasananya.
Setelah Zhi Xuanzi almarhum, Zhi Yao pun menggantikan posisinya.
Apa yang dikhawatirkan pun betulan terjadi. Setelah naik takhta, Zhi Yao tak henti-hentinya melakukan ekspansi ke mana-mana. Satu per satu tanah milik negara lain dia rampas pakai senjatanya.
Sontak, dia menaiki jabatan Perdana Menteri Negara Jin melalui penghalalan segala cara. Yang tak sepakat dengannya dia sikat. Intinya, politik ketakutan (politics of fear) disebarkan untuk memenuhi semua keinginannya.
Lama-lama orang-orang makin tak tahan dengan kesewenang-wenangannya. Mereka yang dahulu mendukungnya pun memberontak. Dia didongkel dari kedudukannya lalu dibunuh. Keluarganya juga dihabisi. Negara Jin cerai-berai.
Dari situ Sima Guang setuju dengan Zhi Guo. Dia menyimpulkan, kolapsnya Zhi Yao dipicu lantaran dirinya tidak mempunyai moral yang cukup untuk meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kemampuan militeristik yang dimilikinya.
Karena itu, tanpa tedeng aling-aling, Sima Guang lantang memfatwakan, “Dalam hal memilih pemimpin, kalau tidak menemukan orang yang bertalenta (cai) dan berakhlak mulia (de), ketimbang memilih orang yang kurang bermoral macam Zhi Yao, mending pilih orang yang dungu (yu ren) saja.”
Lho kok gitu?
“Bagaimana tyda? Orang yang bertalenta dan berakhlak mulia,” lanjut Sima Guang, “akan menggunakan kemampuannya untuk melakukan kebajikan. Sebaliknya, orang yang kurang bermoral macam Zhi Yao, justru akan menggunakan kemampuannya untuk melakukan kejahatan. Sedangkan orang yang dungu, tidak mungkin melakukan sesuatu karena berpikir saja dia tidak akan mampu.”
Wew, leh uga ini logika.
Pendek kata, dengan menceritakan hancurnya Negara Jin akibat kurangnya kontrol moral Zhi Yao sebagai pemimpin yang memang jago dalam urusan peperangan, Sima Guang tampaknya ingin menyatakan keinginannya akan lahirnya suatu negeri yang tidak selalu gontok-gontokan.
Maka kondisi serupa terjadi di negara-negara Arab yang disedekahi fulus bejibun oleh Cina yang ana sebut di awal. Bisa jadi negeri komunis ini melihat negara-negara Arab sekarang seperti melihat negeri mereka sendiri berabad-abad silam. Tentu kalau soal anggapan beberapa negara Arab ada pemimpin yang punya tipikal seperti Zhi Yao, yah biar negeri Cina sendiri yang menilainya.
Beruntung saja Negeri Jin (baca: Cina), memiliki sosok seperti Sima Guang yang lantas memerinci apa saja patokan seorang calon pemimpin bisa dikatakan “bertalenta” dan “berakhlak mulia” sehingga layak dipilih khalayak demi mewujudkan cita-citanya memiliki negeri yang sejahtera.
Asal antum tahu, kriteria yang disebut Sima Guang ini jumlahnya ganjil. Sungguh angka yang sunah sekali bukan?
Pertama, cerdas (cong);
Kedua, jeli (cha);
Ketiga, tegas (qiang);
Keempat, teguh (yi);
Kelima, adil (zheng);
Keenam, berintegritas (zhi);
Ketujuh, tidak ekstrem (zhong he).
Karena tahun depan kita akan memilih pemimpin negara, ya mari kita doakan semoga di Pilpres 2019 mendatang ada pasangan calon yang memenuhi kategori-kategori itu.
Oh iya, apa perlu sekalian kita ketikkan kata “amin” biar paslon yang cuma mengobral janji-janji tapi tidak cerdas dan jeli melihat dan menyelesaikan seabrek masalah Indonesia, tidak tegas menindak yang jelas-jelas salah, tidak adil terhadap rakyat, tidak teguh memegang prinsip, tidak berintegritas, sampai yang dikenal ektrem karena mendukung kaum pemecah belah kesatuan bangsa yang multikultural ini, segera menempati surga yang sudah dikapling sendiri itu?
Tapi ya itu tadi, itu kan panduan dari kitab kuno di Cina. Mana bisa kitab dari negara komunis-kafir-laknatullah seperti itu dijadikan panduan untuk negara religus seperti negara Indonesia kita tercinta ini ya kan?
Salah-salah, malah bisa dibakar itu kitab (walau isinya soal moralitas) kalau sampai mampir di perpustakaan-perpustakaan Indonesia karena dianggap sebagai bagian dari kebangkitan jutaan simpatisan PKI—versi Pak Kivlan Zen—di Indonesia. Jahannam is waiting for you, Brother.