MOJOK.CO – Singkat cerita: tanah Tamansari diklaim dua pihak, yang satu warga penghuni, yang satu Pemkot Bandung. Dua-duanya nggak punya sertipikat. Bedanya, yang satu lemah, yang satu bisa gusur orang. Yaudah, digusur deh.
Pemkot Bandung memang ngehek. Mereka keukeuh peuteukeuh bahwa tanah di RW 11 Tamansari adalah aset pemkot. Di berbagai kesempatan mereka bilang itu “tanah milik” pemkot. Terbaru, di “Laporan Kronologis Rencana Pembangunan Rumah Deret Tamansari” yang ditandatangani Oded tanpa tanggal (tapi filenya menunjuk pada 16 Desember 2019), mereka masih cumarios bahwa itu “tanah milik”. Astagfirullahalazim.
Mungkin sebagian orang bertanya, “Lha, emang kenapa kalo pemkot ngeklaim demikian dan memang tercatat sebagai aset?” Ya, kenapa-napa lah! Puluhan kepala keluarga digusur paksa pada 12 Desember 2019 kemarin. Sebelum itu, seratus lebih kepala keluarga lainnya terpaksa pindah ke tempat lain dan kehilangan hak atas tanahnya di Tamansari.
Pernyataan bahwa tanah di RW 11 adalah “tanah milik” Pemkot Bandung merupakan informasi yang menyesatkan. Pertama, kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan oleh sertipikat dan Pemkot Bandung nggak punya sertipikatnya. Kartu inventaris (aset) di suatu dinas pemerintahan tidak bisa dong jadi bukti kepemilikan hak atas tanah. Lihat UUPA 1960 Pasal 19 dan PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 32.
Pemkot Bandung sendiri ngaku sertipikat hak atas tanah di Tamansari masih diproses di BPN. Astaga! Ya belum sah dong hak mereka selama ini. Termasuk saat mereka menarik rente dari warga Tamansari. Pungli itu namanya karena nggak ada dasar yang jelas. Apalagi saat menggusur.
Kalo cuma berdasar pada bacotan bahwa tanah itu tercatat sebagai aset pemkot, sekalian aja bubarin BPN atau Kantor Pertanahan. Toh, kekuatan hukum sertipikat yang Kantor Pertanahan terbitkan bisa digantikan kartu inventaris DPKP3. Jika catatan aset saja bisa jadi bukti sah hak atas tanah, ya, kacau balau sudah. Setiap orang/pihak bisa mengklaim tanah berdasarkan catatan yang mereka punya.
Emangnya Pemkot Bandung mau kalo bangunan Balaikota Bandung dipindah paksa atawa digusur karena ada si fulan mengklaim bangunan tersebut berdiri di atas lahan yang tercatat sebagai aset si fulan di buku catatan hariannya? Ogah, kan?
Pemkot sesumbar ke publik bahwa slip PBB yang dibayar warga tidak bisa jadi bukti kepemilikan hak atas tanah. Memang betul. Tapi Mang Oded harus tahu, kartu inventaris DPKP3 pun nggak bisa jadi bukti kepemilikan hak atas tanah. Pembayaran PBB oleh warga justru jadi bukti penguat bahwa warga telah menguasai dan memanfaatkan tanah di Tamansari (tidak menelantarkannya) selama lebih dari 20 tahun. Daripada tanah itu terlantar, mending dimanfaatkan. Apa salah jika tanah negara dimanfaatkan oleh rakyatnya sendiri?
Kedua, aturan di Republik Indonesia tidak memungkinkan badan pemerintah punyai hak milik. Lihat UUPA lagi, deh! Pasal 21 bilang hanya dua pihak yang bisa diberi hak milik: Warga negara dan badan hukum. Soal badan hukum mana saja yang bisa punya hak milik, telah dijelaskan oleh PP 38/1963 dan Permendagri 5/1973. Di antaranya: Bank negara, koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial. Pemkot? Nggak ada.
Entah apa yang merasuki orang-orang pemkot. Mungkin mereka dirasuki arwah pejabat kolonial Kerajaan Belanda sehingga seenak jidat menganggap Pemkot Bandung adalah kelanjutan Gemente Bandoeng yang masih bisa punya hak milik. Pemkot Bandung harus dirukyah sampai sadar bahwa Indonesia sudah merdeka, sudah mendeklarasikan diri sebagai “republik”, membedakan diri dengan tatanan kolonial sebelumnya. Hak milik atas tanah yang mungkin dimiliki pemerintah kolonial masa itu telah dihapus karena Republik Indonesia bukan Kerajaan Belanda.
Gumasepna Pemkot
Jadi klaim “tanah milik” pemkot itu gugur, sebetulnya. Karena nggak ada sertipikatnya dan karena pemkot bukan badan hukum yang bisa punya hak milik. Sekarang klaim soal aset. Pertanyaannya, pertama, kapan tanah di RW 11 dicatat sebagai aset? Kedua, dicatat sebagai aset hasil apa?
Belakangan, secara tergesa-gesa, Pemkot Bandung umumkan tanah di Tamansari RW 11 diperoleh dari hasil jual beli antara Gemeente Bandoeng dan penduduk pemegang hak atas tanah pada 1930 dan 1938. Padahal kalau mau patuh sama PP 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, aset pemerintah harus jelas asal-usulnya. Dibeli pakai APBN/APBD, hasil perjanjian/kontrak, hibah/sumbangan, diperoleh sesuai ketentuan perundang-undangan, atau diperoleh dari putusan pengadilan?
Menurut pembaca, dari kelima cara tersebut, mana yang dipakai Pemkot Bandung? Ya, nggak ada. Masak Gemeente Bandoeng beli pake APBN/APBD Pemerintah Indonesia. Pas transaksi negara Indonesia ada juga belum.
Besar kemungkinkan yang dibeli Gemeente Bandoeng adalah tanah milik alias eigendom. Sekali lagi, di masa kolonial dimungkinkan pemerintah punya hak milik. Tapi setelah Indonesia merdeka, eigendom berubah jadi hak milik dan bagi orang yang mengaku sebagai ahli waris, diberi kesempatan hingga tahun 1980 untuk mendaftar atau mengonversi eigendom yang diwarisinya menjadi hak milik.
Nah dari sini kita balik lagi: Pemkot tidak bisa punya hak milik. Mereka pun dulu nggak berusaha mengonversikannya jadi hak pakai. Buktinya hingga sekarang mereka masih proses sertifikasi alias belum punya sertipikat. Belum sah tuh kepemilikan hak atas tanahnya. Tapi pemkot sudah adigung bahkan main gusur.
Gara-gara kelakuan pemkot, warga RW 11 Tamansari kehilangan kesempatan untuk meningkatkan status hak atas tanahnya menjadi hak milik. Selama-lamanya! Setelah warga Tamansari dibujuk untuk setuju dengan Proyek Rumah Deret, setuju dengan segala mekanisme pemindahan yang ditawarkan pemkot. Kesempatan dan hak tersebut lenyap dirampas pelan-pelan. Padahal, warga mestinya diprioritaskan bila hendak meningkatkan status hak atas tanahnya karena mereka sudah tinggal dan menguasai tanah di sana lebih dari 20 tahun.
Wali Kota Bandung jelas harus bertanggung jawab. Dinas bersangkutan juga, dalam hal ini bagian aset DPKP3. Dua lagi deh: BPN Kota Bandung dan “pembisik” Proyek Rumah Deret. Karena merekalah jadi banyak instansi yang terjerumus. Kepolisian, tentara, dinas lingkungan hidup, dinas penanaman modal, hingga Satpol PP, percaya bahwa warga RW 11 Tamansari pantas dipindah paksa dan digusur paksa. Jadilah dosanya menular ke berbagai pihak yang secara struktural mendukung penggusuran warga RW 11 Tamansari.
Oh, ya, siapa yang berani menjamin, jika kenyataan yang terjadi di Jalan Karawang, Bandung, tidak akan terulang di Tamansari? Pemukiman warga di Jalan Karawang seluas sekitar 13 hektare digusur karena diklaim “tanah milik” Pemkot Bandung yang akan dibangun apartemen rakyat. Kini orang bisa lihat dengan mata telanjang bahwa yang dibangun di sana adalah taman. Condotel belum jadi, masih tahap pengerasan tanah.
Akhirulkalam, pada warga Tamansari dan rakyat Indonesia yang dirampas hak-haknya oleh negara dan brutalnya kapitalisma, juga kepada massa solidaritas yang hadir, dipukuli secara membabi buta, ditangkapi, hingga dijebak saat tes urin, “Tegaklah seperti di awal!”
BACA JUGA Membangun Taman di Kalijodo: Sebuah Sikap Menggelikan Ahok atau analisis lainnya di rubrik ESAI.