Pak Rhenald Kasali memiliki kemampuan verbal nyaris tanpa tanding. Beliau ini sulit (atau tidak menyediakan ruang) didebat. Seolah-olah beliau memang hebat betul kalau bicara manajemen dan sudah pasti benar kalau bicara transformasi.
Disruption, crowd business, shifting, sharing economy, dan transformation. Itu beberapa kata yang tidak akan kita ketahui bila Rhenald Kasali bukan orang Indonesia. Serius. Tanpa jasa beliau, kita baru akan tahu itu semua beberapa tahun lagi. FYI, minat baca Indonesia ada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei dalam “The World’s Most Literate Nations”. Bayangkan kalau yang disurvei 59 negara.
Kalau mau selamat, berubahlah. Itu pakem berulang yang beliau jadikan sebagai dagangan. Kalau istilah itu terlalu kasar, dagangan saya ganti jadi bahan ajar saja. Sekilas memang tampak benar dan wah. Tetapi, sulit untuk menutup mata bahwa kiblat beliau memang kapitalisme tanpa batas. Mantranya: berubah atau mati digilas zaman.
Saya bukan pembenci Pak Rhenald. Tidak sama sekali. Saya sangat menghormati beliau. Pak Rhenald tetaplah seorang management guru kelas dunia. Tanpa tanding di Indonesia. Bukan ecek-ecek. Harus masuk Good News from Indonesia.
Tetapi, begitu bicara tentang kebijakan pemerintah, beliau memang terlihat ecek-ecek. Seperti Ahmad Dhani, salah satu talenta besar di industri musik Indonesia, saat membicarakan revitalisasi museum hanya karena hobinya mengumpulkan barang bekas, eh, barang antik.
Simak saja bagaimana semangatnya beliau menulis di awal masa pemerintahan Jokowi, sampai-sampai tidak bisa membedakan konsumsi dengan impor BBM. Itu berangkat dari kesalahan, atau mungkin kesulitannya, memahami net importer vs net oil product importer.
Indonesia menghasilkan minyak untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan sebagian diekspor dalam bentuk minyak mentah. Karena nilai impor lebih besar dari ekspor, makanya disebut net importer. Sederhananya begitu.
Pejabat Pertamina juga memberikan “kisi-kisi”: Juli 2014, Pertamina mengimpor BBM sebanyak 600 ribu bph (barel per hari). Sementara produksi kita ada di angka 900 ribu bph. Namun, pada November 2014, melalui laman Rumah Perubahan yang masyhur itu, Pak Rhenald menuliskan bahwa impor BBM kita sudah di angka 1,6 juta barel per hari!
Di luar apakah subsidi diperlukan atau tidak saat harga minyak sedang jatuh, Prof. Rhenald tetap harus mengikuti ujian remedial. Kenapa? Karena tulisan beliau sangat jauh dari kisi-kisi. Pisau analisisnya tumpul saat menghitung besaran konsumsi sebagai nilai impor.
Namun, tulisan beliau yang berjudul “Mitos-Mitos Seputar Kenaikan BBM” tersebut tetaplah ada manfaatnya. Terutama di paragraf awal, soal pohon dan ikan-ikan. Greget sekali.
Saat membedah persoalan taksi online yang didemo di banyak tempat, beliau lebih menyerupai juru bicara taksi online. Dalam salah satu tulisannya di Rumah Perubahan bertanggal 17 Maret 2016, beliau berpesan kepada pemerintah, “Pesan saya kepada Bapak Presiden, Menteri Perhubungan, Gubernur DKI, dan Menteri Kominfo. Kita butuh cara baru yang berdamai dengan perubahan. Maka, kita semua akan selamat.”
Saya sedikit merinding membaca pesan itu. Bagaimana jika Imam Mahdi yang sering disebut sebagai juru selamat itu sebenarnya tengah bersemayam dalam diri Rhenald Kasali? Dosa kalau kita tidak memercayainya.
Tidak heran bila kemudian sebagian orang cenderung menyederhanakan masalah soal taksi tersebut dengan jargon “properubahan atau antiperubahan?”.
Benar, model layanan taksi konvensional seperti Blue Bird itu sudah usang. Mereka tidak berubah bukan karena tidak mampu mengimplementasikan teknologi informasi seperti yang disebut banyak orang. Apa yang tidak mampu dilakukan perusahaan beraset 7 triliun dengan laba 800-an miliar (2015)? Keengganan melepaskan cara mendapat keuntungan seperti saat ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Apa bedanya kalau semua jadi online?
Secara mikro, apa yang dikatakan Pak Rhenald harus diapresiasi. Tetapi, beliau lupa, pemerintah itu tugas besarnya memberikan layanan transportasi publik yang murah, terjangkau, dan massal. Selain itu, lebih ke arah memberikan izin kelayakan atau pembatasan. Di negara liberal nan kapitalis pun, perusahaan penuh inovasi seperti Uber dibatasi dan diatur.
Dan yang paling mutakhir, management guru kita itu tidak percaya daya beli kita tengah turun. Daya beli tidak turun, tetapi hanya bergeser, shifting, begitu beliau mengulang terus pernyataannya. Dari konvensional menjadi online. Dari menggunakan motor menjadi menggunakan mobil. Dari mendatangi toko menjadi cukup duduk leyeh-leyeh tinggal klik. Dari baca Mojok menjadi baca Seword. Kura-kura begitu.
Beliau mempertanyakan, mal penuh dan jalanan macet, kok bisa dibilang daya beli turun?
Profesor satu ini lucu juga. Ini kan masalah pertumbuhan penduduk yang pesat dan pertumbuhan jalan yang kurang saja. Mal itu tempat bertemu paling ideal di Jakarta, di mana orang bisa ngopi secangkir karena mahal, tapi bisa duduk lama tanpa tambah pesanan. Oke, pusat perbelanjaan ramai. Tetapi, Pak Rhenald, apa Anda punya data basket size mereka? Berapa nilai belanjaan yang mereka bawa pulang? Para retailer mengatakan terjadi penurunan penjualan di kisaran 20% pada kuartal I 2017.
Rupanya, pandangan Menteri Perdagangan juga seperti ter-shifting. Menurut Pak Menteri, ukuran daya beli tidak serta merta dilihat dari angka penjualan toko ritel, tetapi juga perubahan perilaku konsumen yang semakin cerdas, baik dalam memilih barang sesuai kebutuhan atau beralih ke online. Datanya, Pak? Belum ada, Dik.
Pak Rhenald menganggap data-data yang dirilis selama ini tidak dapat menggambarkan kondisi riil di masyarakat. Satu contoh, beliau mengambil isu naiknya pendapatan Astra International dan turunnya penjualan kendaraan roda dua. Shifting? Bisa jadi. Karena volume kendaraan roda 4 memang naik.
Tetapi, itu bukan alat ukur yang presisi. Jenis kendaraan roda 4 apa yang naik? Mobil murah ramah lingkungan (LCGC), menengah, atau kendaraan mewah? Harus dilihat juga pelaku bisnis otomotif untuk kendaraan second, apakah mereka tergerus oleh preferensi konsumen yang “lebih baik baru walaupun LCGC”? Analoginya kan sederhana, Pak Rhenald … jualan Mercedes atau Avanza, ya jelas Anda lebih cepat kaya kalau jualan Avanza.
Soal inovasi disruptif, benar bahwa seorang “pemain baru” bisa menghajar pasar yang sebelumnya mapan, tapi sebenarnya mengalami kemandekan. Contoh mutakhir tentu taksi/ojek online. Pengusaha tidak menduga inovasi tersebut akan menggerogoti pasar dalam jumlah sangat signifikan. Itu benar dalam tataran mikro.
Akan tetapi, naiknya pengguna Go-Jek tidak dapat dijadikan pijakan untuk mengatakan daya beli masyarakat tidak turun. Daya beli dipotret secara makro dari kemampuan masyarakat dalam bertransaksi di beragam sektor. Juga tidak dalam kondisi musiman.
Pak Rhenald mencontohkan naiknya pemudik melalui jalur udara yang meningkat 11%. Apa beliau sudah menggelar data? Berapa naik/turunnya pemudik di moda transportasi lain? Jangan-jangan angkanya naik semua. Pisau analisisnya menjadi lain kalau beliau mengetahui jumlah naik/turunnya pemotor, pengguna mobil pribadi, dan angkutan lain.
Itu belum bicara dari sisi psikologis. Ada kecenderungan harga tiket transportasi darat dan udara semakin lama selisihnya semakin tidak banyak sehingga orang beralih ke pesawat. Lalu, soal penetapan libur oleh pemerintah yang merangsang orang untuk mudik ke kampung halaman atau sekadar berwisata, data statistik yang ada memotretnya sebagai pemudik. Sudah dicek, Pak?
Soal perubahan gaya hidup. Ini benar juga. Preferensi generasi milenial dalam berbusana, misalnya, memang berbeda dari generasi X. Mereka sering mengacu kepada selebgram dan membeli online daripada mendatangi toko konvensional. Tapi seberapa besar?
Lalu produknya dari mana? Kalau dari tanah air, itu sudah terpotret dari turunnya belanja tekstil. Sampai 2017, penjualan merosot 30%. Dari sisi inovasi disruptif benar. Banyak bermunculan orang kreatif yang menjual busana melalui Instagram. Tetapi, ingat, produksi mereka tidak massal. Konsumen terbatas dan harganya pun tidak dapat dibilang murah.
Pak Rhenald sinis memandang data BPS, tidak percaya validitasnya (sangat konvensional, kata beliau). Sementara beliau hanya memotret keriangan beberapa pelaku usaha untuk mengesahkan pandangannya bahwa daya beli masyarakat tidak turun. Memotret Indonesia dari Jakarta.
Beliau benar saat mengatakan bahwa orang/pengusaha tidak seharusnya terjebak atau larut dalam kondisi ekonomi yang melambat. Harus kreatif, membuat inovasi yang tidak terduga, dan bangkit di saat sulit. Apa yang dituliskannya tentang inovasi disruptif tetaplah dapat dijadikan rujukan. Sebagai pengusaha, meratapi turunnya daya beli tidak bermanfaat.
Saya jadi ingat Pak Rhenald pernah memuji R. J. Lino, eks dirut Pelindo II, setinggi langit (silakan lihat jejak digitalnya). Beliau memuji bagaimana Lino memecat 50 orang secara sepihak, dan itu beliau sebut bagian dari transformasi yang “baik untuk masa depan bangsa”.
Sudah lebih dari setahun ini Lino menjadi tersangka KPK. Tentu bukan karena pemecatan itu dia menjadi tersangka, melainkan karena korupsi pengadaan crane.
Ah, KPK kan bisa salah. Ya benar sih. Tetapi mengatakan KPK salah sebagai bagian dari shifting juga tidak aman untuk Anda. Bisa-bisa Anda dianggap melemahkan KPK, Pak.
Salam shifting.