MOJOK.CO – Hingga sampai pada titik yang paling mangkel, tiap lihat Joshua Suherman, saya matikan televisi
Diobok-obok airnya diobok-obok…
Ada ikannya kecil-kecil pada mabok…
Itulah potongan lirik lagu “Air”-nya Joshua, mantan penyanyi cilik paling ampuh dan linuwih pada zamannya. Saat saya kecil, orang itulah yang menjadi superstar di jagat anak-anak. Ia dan lagu anak-anak seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya seperti harus diucapkan dalam satu tarikan napas.
Bagi anak-anak sepantaran usia saya saat itu, kemunculan Joshua di televisi memanglah sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu.
Di kampung saya, selayaknya kampung-kampung lainnya di Indonesia, Joshua tentu saja mendapatkan tempat yang terhormat. Ia menjadi idola, bukan hanya bagi anak-anak, kadang juga bagi orangtua. Ia menjadi semacam standar bagaimana seorang anak tumbuh dan berkembang dengan baik dan benar: lucu, pipi cubit-able, pintar bernyanyi pula.
Salah satu bukti betapa dahsyatnya seorang Joshua adalah saat film Joshua Oh Joshua dirilis. Anak-anak di kampung saya sampai membikin semacam acara nonton bareng film tersebut lewat DVD player.
Saya pribadi, jujur saja, tak begitu suka dengan Joshua. Di hati saya, ruang untuk penyanyi cilik sudah ditempati oleh Sherina dan Tasya.
Menurut saya kala itu, Sherina dan Tasya jauh lebih bagus sebagai seorang penyanyi. Joshua mah biasa aja nyanyinya. Cuma memang Joshua mujur karena punya lagu-lagu yang mudah dihafal dan nempel terus di otak.
Ketidaksukaan saya kepada Joshua ini semacam mendapatkan amplifikasi pendukung karena orangtua saya ternyata amat suka membandingkan saya dengan Joshua.
Di mata orangtua saya (dan tentu saja di mata banyak orangtua lain juga), Joshua memang selalu menjadi figur yang baik dan keren.
Tiap kali saya menonton acara siaran lagu-lagu anak, semisal Ci Luk Ba atau Tralala-Trilili dan lagu Joshua diputar, orangtua saya, utamanya ibu saya, pasti langsung membandingkannya dengan saya.
“Kae deleng, Joshua lek nyanyi pinter, apik, mental. Tiru sing ngono kui,” ujarnya. (lihat tuh, Joshua nyanyinya pinter, bagus, pede. Contohlah dia).
Saat kecil, saya memang hobi menyanyi, namun saya sangat malas kalau disuruh tampil. Bukan karena saya nggak pede, tapi lebih ke males dilihatin banyak orang aja.
Pernah juga saya dan orangtua saya nonton Joshua oh Joshua bersama (entah apa yang mengaburkan pikiran saya sampai saya mau menonto film itu bersama orangtua saya). Bisa dibayangkan apa yang terjadi: mereka nyerocos terus menerus.
“Kae pinter ekting, film’e yo apik, pinter. Ditiru kae.” (Tuh pinter akting, filmnya bagus, pintar. Dicontoh)
Saya paham sekali, orang tua saya amat menginginkan saya agar jadi artis seperti Joshua. Menurut mereka, saya ini punya bakat. Dugaan saya, orang tua saya kelewat ingin membanggakan saya dengan bakat menyanyi yang saya miliki.
Kelak, gara-gara hal itu, lama-kelamaan, ketidaksukaan saya pada Joshua kemudian melebar menjadi sebuah kebencian.
Hingga sampai pada titik yang paling mangkel, tiap lihat Joshua, saya matikan televisi. Ada gambar atau poster Joshua, saya acungkan jari tengah.
Bertahun-tahun kemudian, kita semua paham. Kepopuleran Joshua tak bertahan lama seiring dengan semakin bertumbuhnya usianya. Ia semakin jarang tampil di televisi.
Saya sampai berani menggoda orangtua saya. “Piye kabare Joshua?” (Gimana kabarnya Joshua?).
Ada semacam kepuasan batin saat saya menggoda orangtua saya demikian. Semacam pembalasan dendam dengan tingkatan yang sangat subtil.
Saya merasa seperti seorang pemenang sejati. Bertahun-tahun dibandingkan dengan seseorang dan kemudian orang itu, selayaknya penyanyi cilik lain, tumbang. Kecuali Sherina, tentu saja, pokoknya aku padamu.
Kemenangan saya seakan semakin sempurna saat suatu ketika, saya dan ibu saya menonton televisi bersama. Saat itulah, entah kenapa, muncul Joshua, saya lupa acaranya apa.
Mendadak, dari mulut ibu saya, muncul kalimat yang, mungkin, sangat saya nantikan bertahun-tahun.
“Ya Allah, Joshua. Kok saiki elek temen!” (Ya Allah, Joshua. Kok sekarang jelek sekali!)
Saya tentu saja tertawa sejadi-jadinya. Girang betul hati ini. Saya tahu saya jahat, tapi biar saja, namanya juga balas dendam. Kepuasan batin dan jiwa saya membuncah. Ibu saya tampaknya sudah tak kagum lagi dengan si obok-obok. Dalam hati saya bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan. Si anak kebanggaan itu kini benar-benar hancur.
Memang Joshua masih sempat muncul di berbagai media, minimal iklan Nutrisari lah. Namun tentu saja ia tak semengagumkan dulu.
Joshua juga sempat ngeband. Saya ingat betul gara-gara sempat baca majalah milik seorang kawan. Di sana, ada artikel tentang Joshua yang punya band dan merilis single.
Di majalah tersebut, tampak Joshua memakai busana yang sangat pop punk. Saya penasaran dan seperti sedang tersaingi seorang sosok Joshua lagi. Saya sempat berusaha mencari video klipnya di internet namun tak kunjung ketemu. Hingga kemudian peruntungan akhirnya mempertemukan saya dengan single Joshua tersebut di televisi.
Di video klip tersebut, Joshua nyanyi sambil main gitar di wahana air. Rambutnya njegrak-njegrak dan matanya pakai eyeshadow. Outfit dan make up-nya ala-ala anak emo yang nggak banget lah. Video klipnya juga aneh dan lagunya itu lho, maksa banget.
Saya merasa unggul saat itu, kenapa saya bisa bilang begitu? Sebab saya sudah sering ikut festival dan lagu saya sering menang.
Beberapa kali juga si Joshua ini main FTV. Tentu dengan rambut emo andalanya itu. Saya sudah tak terlalu peduli, begitu juga orang tua saya. Perlahan Joshua benar-benar tak muncul dalam peradaban perbincangan di rumah saya.
Kelak, selayaknya sebuah tim sepakbola yang comeback setelah tertinggal skor, Joshua pun ternyata muncul kembali.
Banyak kawan saya yang membicarakan lagi anak ini. Rasa sebal saya yang traumatik itu muncul lagi. Joshua ternyata muncul di film bersama YouTuber kesukaan saya, Bayu Skak. Yowis Ben muncul seperti gelombang tsunami. Ia membuat Joshua seperti mendapat posisi yang baik lagi di mata orangtua dan kawan-kawan saya.
Saat ibu saya akhirnya menonton film tersebut, wejangan klasik yang dulu berkali-kali ia ucapkan pada saya itu kembali ia lontarkan.
“Kae Joshua, ngeband maju, film’e yo apik. Koe ngeband ngono wae rak mlebu tipi.” (Itu Joshua, nge band terkenal, filmnya bagus. Kamu ngeband gitu-gitu aja nggak masuk tipi)
Mak jleb!
Namun sial, pencapaian Joshua melalui film Yowis Ben itu ternyata tanpa sadar bukan hanya mengubah posisi Joshua di mata ibu saya, namun juga di mata saya. Ya, di mata saya.
Entah bagaimana, melalui Yowis Ben, perlahan, muncul kekaguman saya pada Joshua. Saya mengagumi bagaimana Joshua, dengan segenap yang ia punya, berjuang keras untuk tetap mempertahankan eksistensinya di dunia hiburan. Mulai dari FTV sampai sok-sok an standup comedy (nggak banget, Jo).
Pada akhirnya, segala upaya yang ia lakukan kini benar-benar membuahkan hasil. Kini kita bisa melihat karier Joshua yang makin moncer. Tak semoncer jaman diobok-obok, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati hasil.
Joshua Suherman menunjukan kehebatanya dalam berusaha. Kini saya merasa bahwa saya memang harus berdamai dengan dirinya. Dendam itu perlahan luruh dan mulai berganti kekaguman.
BACA JUGA Melihat Pertanda Kiamat dari Keberadaan Warung Burjo dan artikel Bayu Kharisma lainnya.