MOJOK.CO – Para politisi koar-koar akan libatkan kaum milenial. Ealah, praktiknya yang disasar anak muda kota aja, anak kampung “gondes” nggak dianggap milenial juga?
Setelah pencet tombol remot tipi berkali-kali sambil gulang-guling kayak cacing, akhirnya saya berhenti sejenak di salah satu program stasiun tipi. Program acara yang sedang ngerumpi soal Pemilu 2019.
Bahasan utamanya mengenai persepsi generasi milenial akan Pemilu. Saya tak ingat detail acaranya bagaimana. Tapi saya menangkap satu kesan mengenai apa itu milenial.
Kaum kota dan kalau ngomong cas-cis-cus Inggris.
Iya, setelah saya perhatikan, ada saja kata bahasa Inggris yang terselip pada narasumber pada program tersebut. Dan mau tak mau saya jadi mikir, apa iya, yang namanya milenial begitu?
Saya lihat kok banyak yang mengasosiasikan milenial sebatas cuma di situ ya?
Contoh saja PSI. Mereka selalu menggunakan panggilan “bro” dan “sis” untuk memanggil satu sama lain. Sebuah panggilan yang memang disesuaikan dengan target mereka, yakni para milenial.
Bisa jadi mereka udah riset dulu mengenai karakter milenial, atau setidak-tidaknya sudah berasumsi demikian. Kan ya tidak mungkin toh, mereka mengasumsikan “bro” dan “sis” untuk orang-orang berusia 45 tahun ke atas?
Nah, persoalan panggilan ini menurut saya penting. Darinya, kita bisa meraba gambaran karakter dan tujuan sebuah organisasi atau partai.
Minke, misalnya, dalam Tetralogi Pulau Buru diceritakan menyepakati panggilan “saudara” untuk dipakai antar sesama anggota Syarikat Dagang Islamijah (SDI). Tujuannya sederhana, yaitu untuk menunjukkan semangat persaudaraan dan kesetaraan dalam organisasi yang saat itu hidup di tengah kultur feodal.
Selain itu kata “saudara” juga merupakan kata dari Bahasa Melayu yang dianggap sebagai bahasa perantara berbagai suku di Hindia Belanda.
SDI dengan demikian, adalah organisasi yang menjunjung semangat kesetaraan dalam persaudaraan dan lintas suku di bumi Nusantara.
Makanya, soal panggilan ini memang tak main-main. Nah, “bro” and “sis”-nya PSI pun saya kira bukan sekadar aksesoris tak penting.
Tapi kita perlu kembali ke pertanyaan sebelumnya: Apa iya panggilan “bro” dan “sis” itu “milenial”?
Meski PSI sudah yakin, saya sendiri kok kurang yakin.
Soalnya kalau diperhatikan, saat ini banyak tokoh publik yang juga sering menyelipkan istilah bahasa Inggris saat bicara. Dan mereka itu toh juga tua-tua. Jadi, kayaknya masalah “bro” dan “sis” ini lebih soal didikan orang tersebut dan urban tidaknya daerah tinggalnya.
Lah saya ini tinggal di desa, di sebuah kabupaten bernama Mbantul yang oleh sesama kawula Jogja pun dianggap ndeso (meski belakangan juga dikenal karena peristiwa intoleransinya). Di daerah saya mana ada anak muda bicara campur Inggris kayak gitu?
Saya malah takut, segala persepsi tentang milenial urban nan cas-cis-cus Inggris itu bisa runtuh ketika melihat anak muda di kampung saya.
Hal ini sudah saya buktikan sendiri ketika beberapa hari sebelum Israj Mi’raj, rumah saya kedapatan giliran yasinan (kegiatan bersama membaca surat yasin).
Saya kemudian diharuskan berinteraksi kembali dengan muda-mudi yang sudah lama tak saya jumpa itu. Hampir 7 tahun saya ngekost dan karenanya sudah mulai tak kenal dengan mereka.
Satu per satu saya perhatikan mereka. Kulitnya kebanyakan coklat terbakar matahari, kaos yang dipakai apa adanya (kadang ada yang pakai kaos bonus beli cat tembok), dan tampangnya masih seperti muka-muka inlander zaman Hindia Belanda gitu. Hee, kayak saya juga sih.
Ketika ngomong, yang keluar bukan selipan bahasa Inggris, tapi bahasa Jawa 100%. Jangankan ngomong bahasa Inggris, ngomong bahasa Indonesia saja mereka medhok pol mentok. Tapi saya sih seneng-seneng saja. Wong saya pencinta kearifan lokal ketimbang kearifan internasional.
Nah, di antara sekawanan pemuda desa ini, ada saja yang bisa dikategorikan dalam kelompok “Gondes” alias Gondrong Desa. Cirinya berkulit sawo matang sampai hitam, bajunya tidak karuan, dan rambutnya kemerahan atau malah dicat pirang sekalian.
Kegondrongan sih menurut saya cuma bonus. Karena setelah saya amati, istilah “Gondes” sudah mengalami perluasan makna di mana yang rambutnya cepak pun sering dimasukkan di kelompok itu. Apalagi kalau kerjaannya nongkrong di pos ronda, main layangan, dan nyuit-nyuitin kembang desa.
Terus, gondes-gondes ini apa juga merupakan sasaran kampanye para capres, cawapres, dan caleg?
Saya kok ragu.
Kembali ke acara yasinan di rumah saya, waktu saya menghidangkan kue putu ayu untuk acara, saya tanya ke salah satu di antara mereka, “Sudah boleh milih belum, Dek?”
Maksudnya nyoblos buat Pemilu. Anak itu menjawab sudah boleh.
Lalu saya tanya iseng milih siapa? “Mbuh, mbak,” katanya. “Mau milih yang kasih libur banyak.”
Polos sekali jawabannya. Duh, duh, mengenaskan. Persis banget kayak saya dulu waktu masih SMA.
Meski begitu, banyak juga yang sudah melek politik. Waktu saya dimasukkan di WAG muda-mudi desa, ada saja yang sebar konten soal Pilpres. Ada yang dukung 01 dan ada juga yang dukung 02.
Alhamdulillah, tak ada yang sampai mencebong atau mengkampret. Cuma satu yang ingin saya tekankan, mereka ini rasa-rasanya kok nggak cocok dengan gambaran narasi milenial yang sering diangkat para parpol peserta pemilu kali ini.
Eh, tapi saya tidak menyalahkan kalangan milenial yang bukan dari desa dan khususnya bukan Gondes lho ya. Mereka itu toh nyatanya ada. Saya cuma mau bilang, mbok ya kalau sasarannya milenial itu ya benar-benar bicara generasi milenial secara keseluruhan.
Artinya, milenial itu bukan cuma anak gaul kota dengan selipan bahasa Inggris di sana-sini. Anak-anak muda di kampung saya, benar-benar tak bisa dan tak bakal merasa diwakili hanya oleh sekelompok orang kota yang berpendidikan tinggi.
Apalagi anak muda spesies unik macam Gondes.
Pun begitu milenial dari daerah lain, baik itu Aceh, Kalimantan, sampai Papua. Mbok ya sekali-kali milenial yang Gondes-Gondes begini ini yang ditanya-tanya di tipi tentang masalah yang mereka hadapi.
Mereka ini kan juga punya isu dan kepentingan sendiri. Nggak selalu bisa disamaratakan dengan milenial kota.
Kaum milenial yang sekolah di sekolah internasional atau bahkan luar negeri masa ngomongin permasalahan kaum milenial yang sekolah di di kampung?
Gondes, misalnya, ya bakal lebih milih mikirin kemiskinan orang tuanya lebih dulu, menyelesaikan atau ikut serta dalam tawuran antar-desa, mengatasi pernikahan dini, cari tempat aman buat nenggak miras, sampai keterlibatan dengan geng motor.
Mereka membutuhkan wakil-wakil yang bisa mewakili kegelisahan mereka tanpa menggurui. Artinya juga dilibatkan untuk membenahi persoalan dengan perspektif mereka. Bukan dengan perspektif kaum milenial kota.
Anehnya, sepanjang masa kampanye ini, saya kok belum lihat ada yang mencoba mengangkat isu itu dari perspektif milenial ndeso begini ya?
Masa yang muncul di tipi cuma nama-nama kayak Faldo Maldini, Rian Ernest, atau Tsamara Amany sih? Politisi milenial yang berpendidikan tinggi dan sama sekali tak mewakil para melenial ndeso kayak tetangga-tetangga saya ini?
Meski begitu, para parpol di kota-kota nggak perlu khawatir. Anak-anak muda tetangga saya udah punya jagoannya masing-masing untuk Pemilu nanti kok. Dari partai bernama Crows Zero dengan caleg bernama Takiya Genji.
Si Takiya itu kan rambutnya juga gondrong. Suka gelut juga. Kayaknya mashook aja kalau mereka memilih Takiya Genji jadi perwakilan anak-anak yang sering dimarjinalkan begini?
Toh, dipandang sebelah mata terus-terusan kayak gini kan ya nakal-nakal dikit nggak apa, yang penting kan banyak akal.