NU Hadapi Dunia Metaverse: Melihat Fikih Bekerja di Semesta para Avatar

NU sih sudah terbiasa ngurus hal-hal metafisik, tapi masalahnya ini metafisik yang lain.

NU Hadapi Dunia Metaverse: Melihat Fikih Bekerja di Semesta para Avatar. (Mojok.co / Ega Fansuri).

MOJOK.CONU perlu menyiapkan diri untuk hadapi dunia metaverse. Sebab, prinsip fikih untuk menghukumi avatar bisa jadi jauh lebih pelik.

Banyak hal menarik yang terjadi pada acara Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Lampung tempo hari. Keterpilihan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU adalah salah satunya, sedangkan persaingan sengit antar-kubu yang membuat muktamar kali ini beraura pilpres adalah contoh lain.

Namun, buat saya, hal paling menarik terjadi justru pada saat Presiden Joko Widodo memberi sambutan. Di hadapan ribuan nahdliyin, di acara penetapan pemimpin organisasi keagamaan berhaluan tradisionalis, Pak Jokowi berpidato soal teknologi mutakhir bernama metaverse.

“NU di dalam temanya berkhidmat untuk peradaban dunia, hati-hati memang, peradaban itu harus kita pengaruhi, agar maslahat bagi umat manusia di seluruh dunia, khususnya di negara kita Indonesia. Nanti semuanya dakwah virtual, pengajian virtual, tapi betul-betul kayak kita bertemu seperti ini, bukan seperti sekarang yang masih vicon,” ujar Pak Jokowi.

Pak Jokowi juga menceritakan pengalamannya bermain ping-pong virtual dengan Mark Zuckerberg lima tahun lalu dan kisikan yang diterimanya dari bos Meta tersebut.

“Ini baru awal. Nantinya semuanya akan virtual, semuanya akan muncul yang namanya metaverse, restoran virtual, kantor virtual, wisata virtual, mal virtual, hati-hati menyikapi ini.”

Pak Jokowi memang benar: kita mesti berhati-hati dalam menyikapi metaverse. Masalahnya, blio tidak menjelaskan makhluk macam apa metaverse itu, dan kenapa pula orang-orang NU, yang lebih akrab dengan kata “metafisik” ketimbang meta-meta yang lain, harus bersikap waspada?

Sebagai nahdliyin sejak dalam kandungan, izinkanlah saya membantu presiden kita tercinta untuk menjelaskan kepada orang-orang NU mengenai metaverse dan peluang serta tantangan apa yang mungkin dibawanya.

Bagaimanapun NU ingin berkhidmat bagi peradaban dunia; maka sudah semestinya NU mula-mula tahu peradaban dunia macam apa yang sedang dan akan mereka tinggali.

Definisi metaverse sudah dijabarkan dengan apik oleh Mas Isidorus di dalam esainya tempo hari. Ringkasnya, metaverse adalah semesta virtual tiga dimensi yang memungkinkan interaksi antar-penggunanya.

Menurut Mark Zuckerberg, metaverse adalah versi selanjutnya dari media sosial: tidak ada lagi ruang dan layar yang memisahkan pengguna.

Contohnya begini: katakanlah saya dan Mas Bojo terpisah ratusan kilometer karena alasan tertentu. Pada suatu sore saya merasa luar biasa kangen lalu memutuskan untuk membuat panggilan video WhatsApp dengannya.

Sekalipun kami bisa saling memandang dan mewek bersama, ada layar dan ruang yang membatasi kami; Mas Bojo tidak bisa benar-benar terasa hadir di dekat saya.

Keterbatasan itulah yang ingin dihapus melalui metaverse. Ketika saya merasa kangen, saya tinggal menghubungi Mas Bojo sebelum kami memakai peranti keras tertentu.

Fisik kami memang masih berjauhan, tapi representasi diri kami bisa duduk berduaan di ruang virtual. Saya bisa memandangnya tanpa penghalang layar, dan dia bisa memeluk saya seolah kami berada di teras rumah.

Sampai di sini tidak ada yang benar-benar baru pada teknologi metaverse. Seperti yang ada di Twitter atau Facebook, apa-apa yang ada di metaverse hadir sebagai representasi.

Bedanya, jika diri kita di medsos hanya diwakili oleh gambar diam dan teks, maka metaverse memungkinkan kita untuk membikin tubuh representatif bernama avatar.

Avatar itulah yang nantinya menyediakan banyak tantangan bagi NU. Dalam jangka pendek, NU mesti menemukan jawaban atas pertanyaan fikih berikut ini: bisakah representasi diri berupa avatar itu dikenai hukum dan norma yang sama dengan diri fisik?

Di era medsos sebelumnya, pertanyaan di atas mungkin bakal terdengar kocak. Kita jelas tidak bisa menggelar salat Jumat via Zoom karena secara fisik kita berada di ruang yang berbeda, sekalipun berada pada waktu yang sama.

Tapi dengan metaverse, keterbatasan itu bisa diatasi. Sekalipun sang khotib berada di Maroko, muazinnya mengumandangkan azan dari Siberia, dan seratus jamaah lainnya duduk dengan takzim di kamarnya masing-masing, avatar mereka bisa berkumpul bersama di masjid virtual demi melangsungkan salat Jumat.

Dan ingat, gerakan avatar bergantung pada gerakan tubuh fisik: kita tidak bisa menyebut jamaah avatar itu tidak sedang salat karena nyatanya tubuh fisik mereka benar-benar melakukan gerakan salat.

Sah atau tidaknya salat Jumat model begitu tentu bakal bergantung pada keputusan ahli fikih dalam menentukan jawaban atas pertanyaan tadi.

Jika ruang virtual itu bisa dipakai untuk menggelar muktamar dan salat Jumat menurut ahli fikih, maka ia alat ini pun pasti bisa dipakai juga untuk urusan lain. Berzina, misalnya.

Ketika Romeo di era medsos merasa kangen dengan Juliet, ia akan membuka aplikasi medsos tertentu dan menghubungi kekasihnya tercinta. Mereka mungkin akan saling mengirim pesan teks dan suara, dan jika kerinduan itu tak kunjung tertuntaskan mereka bakal melakukan panggilan video.

Romeo kita ini ternyata sedang kepingin, tetapi keberadaan jarak menghalanginya untuk berkimochi dengan Juliet. Mereka akhirnya sama-sama bermasturbasi di panggilan video itu.

Apa yang dilakukan Romeo dan Juliet di atas tentu salah dari perspektif agama, tapi keduanya tak bisa disebut berzina. Mau seheboh apa pun desahan Juliet dan secabul apa pun ucapan Romeo, tak ada penetrasi penis masuk ke vagina, yang menjadi definisi atas zina.

Lalu tibalah era metaverse. Romeo dan Juliet telah membeli peranti keras tertentu, dan keduanya sepakat bertemu di ruang virtual demi menuntaskan rindu. Katakanlah bahwa teknologi metaverse telah cukup matang sehingga mampu menampilkan bukan hanya audio-visual, melainkan juga tekstur dan kontur benda, serta sensasi.

Romeo dan Juliet kini bisa merasakan apapun dari perbuatan avatarnya, dan representasi diri mereka itu kini juga punya sesuatu yang bisa dipakai untuk memenuhi definisi zina.

Tapi bisakah mereka disebut sedang hohohihe? Jika bisa, faktanya tubuh fisik Romeo berada di Maladewa dan Juliet di Mojorembun, dan keduanya berpakaian serapi pegawai negeri di hari Senin.

Jika tidak, maka faktanya diri representatif mereka benar-benar melakukannya, dan diri fisik keduanya menerima sensasi dan emosi yang sama belaka dengan sejoli yang sedang bersenggama betulan di hotel.

Kalau status soal diri representatif di jagat meta sudah sedemikian pelik, maka bayangkanlah apa jadinya bila avatar nanti terlepas dari diri fisik yang ia representasikan.

Katakanlah bahwa kita hidup di era ketika kecerdasan artifisial sudah sangat canggih sehingga bisa menciptakan kesadaran.

Tahu bahwa sebentar lagi saya bakal mati gara-gara kanker, saya menyewa jasa AI tertentu yang bukan hanya mampu merekam segala perjalanan historis dan data biometrik saya, melainkan juga merekam semua memori dari otak saya, menganalisis karakteristik saya, lalu memindahkannya ke avatar saya di metaverse.

Saya sebagai organisme kemudian mati betulan seminggu kemudian, tapi avatar saya masih hidup entah hingga kapan. Dan avatar saya ini tak ada bedanya dengan saya si manusia berdaging dan berdarah; ia punya kesadaran, memori, karakteristik, dan inteligensi yang persis sama dengan saya. Bedanya, ia muda abadi dan hanya bisa mati karena kerusakan server.

Bagaimana institusi agama kemudian menganggap avatar saya itu? Ia tidak lagi merepresentasikan diri fisik saya. Ia sudah menjadi diri saya sendiri. Memang benar bahwa ia bukan makhluk organik, tapi ia memiliki kesadaran.

Ingat, hukum agama selama ini dikenakan berdasar pada kepemilikan kesadaran seseorang; oleh sebab itulah orang gila atau koma tidak bisa dimintai zakat atau disuruh salat, sekalipun mereka masih punya tubuh organik.

Artinya, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi bahan perdebatan ilmu fikih di bahtsul masail beberapa dekade mendatang. Bagaimana NU menghadapi dunia yang multi-dimensi, multi-representatif, dan bagaimana fikih mampu mengikutinya.

Tidak perlu sampai urusan halal-haram deh, tapi soal sah atau tidak sah urusan ibadah. Seperti, apakah sah bayar zakat pakai kripto ke avatar pengemis di dunia metaverse? Atau apakah sah thawaf melalui dunia metaverse padahal yang muterin Ka’bah itu adalah avatar kita doang? Atau, bagaimana kalau nanti ada santri mau mondok, tapi yang mondok cuma avatarnya doang?

Nah, peradaban dunia seperti inilah yang akan merombak cara kita mendefinisikan dan memaknai diri, yang tentu saja bakal ikut mengubah tatanan yang selama ini kadung mapan.

Liberalisme dan demokrasi bakal usang, dan konsep negara-bangsa tak pernah menghadapi tantangan yang lebih serius ketimbang sebelumnya.

Begitu pula dengan NU dan institusi agama mana pun. NU berhasil menjadi kompas yang akurat di era pra-kemerdekaan, dan NU mampu menjadi jangkar yang kokoh di era informasi.

Era baru yang sebentar lagi tiba ini menghadirkan ombak dan angin yang berbeda, bahkan mungkin pula ia tak cocok diarungi dengan metode pelayaran konvensional. Mampukah NU tetap relevan bagi umat Islam pada era baru anak cucu kita nanti itu? Yah, syukur-syukur mampu berkiprah aktif dan bukan sekadar jadi jangkar?

Saya sih ingin sekali berkata: Iya, bisa.

BACA JUGA Mental Silikon pada Proyek Silicon Valley Indonesia dan tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.

Penulis: Mita Idhatul Khumaidah

Editor: Ahmad Khadafi

 

Exit mobile version