MOJOK.CO – Saya menemui Bus AKAP dan mengulik perasaannya terkait dengan aturan pelarangan bus AKAP dari dan ke Jakarta.
Rabu, 1 April 2020. Terminal Giwangan tampak muram dan sepi sore itu kendati beberapa bus masih tampak beroperasi mengantar beberapa manusia yang berkelumit dengan maskernya menuju daerah asalnya. Ada yang ke Jawa Tengah, ke Jawa Timur, juga ke Bali. Beberapa teriakan semi cempreng dari para kernet pun tak mampu mengusir sunyi yang menyelimuti terminal dan seisinya. Wajah-wajah pun tampak layu, tak ada yang bersemangat seperti biasanya. Ada banyak keputusasaan yang menggelayut di udara.
Di salah satu sudut los Terminal Giwangan, terlihat sebuah bus yang bodi bagian sampingnya sedikit penyok tengah bersandar. Di kaca bagian kiri depannya, tertempel stiker bertuliskan “Don’t to milik” yang kemudian diikuti dengan penjelasannya yang artinya “Rasah kesusu”, sedangkan di kaca depan bagian kanannya ada coretan pilok ngeblok berwarna merah.
Saya mendatangi bus tersebut dan mencoba ngobrol banyak dengannya. Belakangan saya tahu kalau dia adalah Bus AKAP (28) yang sering dipanggil Bro Sumber Laras Prima atau cukup Bro Sumber Laras saja.
Ia menolak tua walau bodinya sudah tidak merestui kecepatan di atas 120 km/jam. “Nanti badan saya rontok, Mas,” katanya dengan sendu. “Pantura adalah pertaruhan keprimaan fisik saya,” tambahnya lagi pada saya.
“Jalanan memang keras ya, Bung?” tanya saya.
“Sangat. Apalagi untuk bus sepuh seperti saya. Jalan 100 km/jam saja rasanya tubuh saya langsung meriang, padahal kalau jalan 80 atau 90, sudah pasti tiba di tujuan nggak sesuai jadwal,” terangnya seraya menghapus peluh di kaca bagian depan. “Yang lebih menyebalkan itu bus yang masih muda-muda itu, lho. Kemlinti-nya setengah mati. Masak pernah saya jalan 90, trus disalib sama mereka, eh, bisa-bisanya pas nyalip itu mereka sambil teriak, ‘Mbok ya ngebut dikit, Pak. Sampeyan itu bus, bukan odong-odong!’ Kan bajingan itu namanya.”
Saya berusaha menahan tawa saya. Cerita soal bus muda yang menyalipnya itu memang lucu betul. Tapi saya tidak tega untuk tertawa. Tidak di depan dia.
Obrolan saya bersama Bro Sumber Laras membikin saya jadi tahu banyak hal tentang perasaan dirinya. Bro Sumber Laras ini tengah merenung atas keputusan Plt Kemenhub, Lord Luhut, yang membuat dirinya pusing.
“Gimana nggak pusing, Mas, ini Pak Anies beberapa hari yang lalu mengeluarkan keputusan melarang bus AKAP seperti saya untuk masuk dan keluar dari Jakarta. Tapi, kemarin (31 Maret 2020, red) Pemerintah Pusat mengatakan bahwa langkah itu bisa menggerus potensi ekonomi. Duh, Mas,” ujar Bro Sumber Laras sembari mengelap kaca depannya karena keringetan.
Bro Sumber Laras lantas menambahkan keterangannya, “Begini lho, Mas, kan kita (kita? red) ini cuma rakyat kecil. Kerjaan saya juga job-job-an. Kalau dapat borongan, saya jalan. Yang jelas, saya hanya butuh kepastian. Kalau digantung begini, bingung job mana yang harus saya ambil.”
Ditarik dari keterangan Bro Sumber Laras, job yang dimaksudkan olehnya adalah carteran atau disewakan kepada pengguna jasa. Maklum, selama musim mudik beberapa tahun terakhir, bus-bus tanpa trayek seperti bus pariwisata memang menjadi primadona sebagai tambahan armada untuk mengangantar penumpang dari daerah yang ramai semisal Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya.
Nah, keputusan Kemenhub yang menganulir kebijakan larangan bus AKAP dari dan ke Jakarta oleh Pemerintah DKI Jakarta beberapa hari yang lalu cukup menjadi dilema tersendiri. Termasuk bagi Bro Sumber Laras.
Mereka ingin berangkat ke Jakarta, tapi takut kalau ternyata sampai sana nggak diperbolehkan bawa penumpang. Tapi kalau nggak ke sana, hati rasanya ragu juga, sebab memang larangan dari Pemerintah DKI Jakarta kan sudah dianulir oleh Kemenhub.
“Pucing pala AKAP,” kata Bro Sumber Laras.
Seperti diketahui, Jakarta merupakan salah satu daerah episentrum utama persebaran virus corona. Maksud dari Pemerintah DKI Jakarta menghentikan alur bus AKAP beberapa waktu yang lewat itu juga semata agar pandemi ini tidak menyebar secara masif.
Ketika saya tanyai perihal pandemi corona, Bro Sumber Laras menolak berkomentar banyak, “Bukan kapasitas saya, Mas. Yang bisa saya lakukan cuma manut ketika disemprot cairan apa itu ya… hmm itulah (desinfektan, red) sama Pak Supir.”
“Kalau soal aturan pelarangan bus AKAP itu, pendapat sampeyan gimana?”
“Saya ini hanya bisa berharap diberikan yang terbaik untuk seluruh penduduk bumi. Kalau memang pelarangan itu bagus untuk memutus rantai penyebaran corona, ya saya tentu setuju dengan pelarangan itu,” terangnya. “Mau bagaimana lagi ya, Mas, ekonomi selamat tapi warganya kolaps, kan sama saja.”
Ketika hendak ditanyai apakah keputusan Plt Menteri Perhubungan, Luhut Panjaitan, tepat atau tidak. Belum juga saya rampung menyebutkan nama Luhut, mulut saya langsung dibekap oleh Bro Sumber Laras. Matanya menjadi melotot panik, keringatnya makin deras, ban-bannya bergetar dan knalpotnya mengeluarkan sedikit asap. “Jangan bilang nama itu, Mas. Setara dengan mitos. Takut saya, Mas,” saya pun lantas terdiam dan mengajukan pertanyaan berikutnya.
Sek, kan tadi sampeyan bilang setuju dengan pelarangan bus AKAP, lha kalau begitu, gimana dengan nasib sampeyan?”
“Kan tadi saya sudah bilang, saya itu cuma butuh kejelasan, Mas. Semisal alurnya ditutup, saya nggak boleh bawa penumpang ke sana, it’s okay. Saya bisa ambil job lainnya.”
“Job ke daerah lain, maksudnya?” tanya saya turut prihatin.
Dengan sedikit merenges, Bro Sumber Laras menepuk-nepuk punggung saya.
“Job saya itu banyak, Mas. Bisa main di FTV ‘Juragan Bus Kepentok Cintanya’ atau ‘Supir Cantik Ketagihan Naik Kopata’ apik lho mas akting saya di kamera (gimana nggak apik, lha wong cuma jadi bus, red). Serius (pakai serius pula, red).”
Bro Sumber Laras kembali memberikan keterangan dengan agak kemaki, “Saya juga ada tawaran jadi guest star di animasi Tayo. Tugas saya gampang, cuma jingkrak-jingkrak di Ring Road Selatan, Jogja. Kemarin saya juga dapat email dari kru Thomas and Friend, tapi saya tolak, Mas. Masa ceritanya saya nanti ditabrak Thomas gara-gara nerobos palang kereta. Kan nggak lucu.”
Lagi-lagi, saya harus menahan tawa saya.
“Terlepas dari semua itu, pandemi ini nggak akan bisa dilawan dengan ego, Mas. Yakin deh sama saya yang lulusan Jepang ini (pabrikan bus tipe Bro Sumber Laras ini memang dari Jepang, red). Harus sinkron antara pusat dan Jakarta. Selesaikan bersama. Urusan dapur saya, itu urusan mudah, Mas. Yang sulit itu memikirkan ribuan orang yang sekarang luntang-lantung di Jakarta. Mau pulang pekewuh, mau stay at Jekardah mau makan apa? Kan ini harus dikaji bersama. Kalau pulang, saya siap di-calling untuk antar mereka ke Jawa. Tenang, nego tipis, asal Djarum dua bungkus dalam genggaman.”
“Wah, sampeyan ini sungguh bis AKAP yang bijak bestari,” puji saya. Bro Sumber Laras tampak tersipu mendengar pujian saya.
“Yah, usia memang melatih kepekaan saya, Mas.”
“Eh, tapi btw, saya itu dari tadi penasaran. Itu di kaca depan kok ada coretan ngeblok pakai pilok warna merah, itu maksudnya apa, je?”
“Oh, itu dipilok ngeblok buat menutupi gambar corat-coret yang dibikin sama anak-anak SMA. Dua tahun lalu, saya sama beberapa temen saya sempat dicarter buat nganter anak-anak SMA piknik ke Bandung. Nah, karena saya jalannya nggak kenceng-kenceng amat, saya jadinya ketinggalan. Anak-anak yang ikut bus lain sudah sampai di hotel pukul tiga sore, sedangkan saya baru sampai dua jam kemudian.”
“Lah, trus?”
“Anak-anak yang ikut saya itu marah karena ketinggalan dari temen-temen mereka. Trus mereka nekat mencoret-coret kaca depan saya. Gambar corat-coret itu sangat tidak sopan, makanya sama supir saya kemudian ditutupi dengan cara diblok pakai pilok juga.”
“Memangnya anak-anak SMA itu nggambar apa di kaca depan sampeyan?”
“Gambar kontol!”
Kali ini, saya tak kuat menahan tawa.