MOJOK.CO – Pengalaman ngurus rumah subsidi sebagai developer properti: duit tak seberapa, birokrasi ruwet, dan harus siap-siap dinyinyirin pembeli.
Ini adalah beberapa hal yang bakal terlintas pertama kali di kepalamu begitu mendengar “rumah subsidi”.
Harga murah di bawah pasaran, kualitas apa adanya (kadang ada apa-apanya), sama satu lagi; muncul komentar beginian, “Oalah, pantes aja harga rumahnya murah, wong lokasinya jauuuh bener gitu, tempat jin buang anak itu mah.”
Well saya nggak menafikan kalau rata-rata rumah subsidi memang jauh, terutama bagi kamu yang tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ya, biar gimana juga developer properti itu bukan lembaga sosial yang membangun rumah cuma-cuma untuk masyarakat berkantong pas-pasan tapi berjiwa sosialita.
Developer properti kan juga harus ngejar profit margin, cuan atau keuntungan, mau nggak mau mereka memang harus mencari tanah di pinggir kota yang harganya relatif murah, agar batas harga jual yang sudah ditetapkan oleh pemerintah bisa direalisasikan.
Selain itu, bangun rumah subsidi juga nggak bisa seperti developer rumah non-subsidi yang bisa netapin harga seenak udel mereka. Harga rumah subsidi sudah ditetapin dulu sama pemerintah. Yah, kamu perhatiin aja semua harga rumah subsidi di pinggiran Jakarta, pasti harganya sama semua dan saya jamin lokasinya juga sama jauhnya.
Mau itu di Barat, di Timur, atau Selatannya. Jangan tanya di Utara ya karena nanti kamu malah nyemplung di laut lepas, yang bedain paling cuma kualitas bangunan dan uang muka yang harus kamu bayar. Itu aja.
Nah, setelah dapat harga tanah yang sudah sesuai target mereka, nggak ujug-ujug mereka bisa bangun rumah subsidi. Ingat ini bukan legenda Roro Jonggrang, yang mana konon Bandung Bondowoso bisa bangun candi hanya dalam waktu semalam. Duh, duh, tidak semudah itu, Sulaiman.
Developer wajib mengurusi segala macam perizinan hingga mereka bisa membangun rumahnya, yah kira-kira ada 12 tahap lah. Mulai dari izin lingkungan, ngurus IMB, izin prinsip, tata ruang, pemakaman, dan masih banyak detail-detail lainnya.
Hal-hal yang nggak perlu saya jelasin semua karena kalau disebutin semua, bisa sepanjang masa tidurnya Ashabul Kahfi ini.
Meski begitu, masih aja saya sering dengar omongan sinis dari mereka yang nggak terjun langsung di industri ini. Sudah lah kami developer properti penuh risiko ngerjain proyek kayak gini, masih disindir-sindir pula.
“Gileee gimana nggak cuan banyak jadi developer properti ini! Beli tanah berapa, modal bangun rumah berapa, dijual berapa!”
Walah, walah. Serius, rasanya saya ingin nyentil amandelnya. Soalnya gini, Bwosque. Realitasnya nggak semudah dan semenguntungkan itu juga, Bwosque.
Yah, seperti yang sudah saya tulis di atas tadi. Jadi gini, setelah kami bisa membeli tanah, ada 12 izin yang harus diurus, dan yang namanya ngurus perizinan ya itu artinya kita bakal ketemu sama apa yang namanya birokrasi Republik Indonesia. Salah satu birokrasi paling rumit sejak era mamalia bisa memamah biak.
Selain soal ruwetnya, pengurusan birokrasi tadi itu juga nggak ada yang gratis. Bahkan sekalipun itu adalah proses yang sudah dikoar-koarkan dan dikampanyekan kepala daerah setempat kalau pengurusannya bisa gratis bla-bla-bla. Pada kenyataannya kan ya nggak gitu juga.
Jangankan soal ngurus izin untuk bangun rumah subsidi, dari yang paling simple aja kayak sehari-hari kamu ngurus KTP, surat nikah, KK, atau apapun itu. Di beberapa titik lokasi memang sudah ada yang beneran gratis, tapi di beberapa tempat terpencil praktik harus ada “sesuatu” agar prosesnya lebih cepat.
Nah, asal situ tahu aja ya, di proses perizinan atau birokrasi inilah yang sebenarnya ngambil porsi terbesar dalam komponen modal seorang developer ketika mereka memutuskan membangun sebuah properti—tak terkecuali kalau mau bangun proyek rumah subsidi beginian.
Nggak seperti komponen lainnya, misalnya harga tanah atau biaya bahan bangunan yang dengan mudah bisa diprediksi, porsi ngurus birokrasi ini harganya beneran fluktuatif. Kadang-kadang bisa ditebak, kadang tidak. Udah kayak main judi saham aja.
Ibarat kata, kalau kamu nyari semen di satu toko bahan bangunan, kalau harganya nggak masuk kan ya kamu tinggal ganti merek atau cari toko bahan bangunan lainnya. Lah, kalau birokrasi mana bisa kamu tawar-tawar?
Sekarang bisa kamu bayangkan bukan apabila kamu seorang developer properti datang ke sebuah instansi untuk meminta izin sambil bilang, “Pak, saya mau ngurus izin pembangunan proyek rumah subsidi.”
Ya nggak mungkin dong, petugasnya menyambut dengan ramah dan bilang, “Oh, iya. Sini saya uruskan semua prosesnya. Bapak tunggu saja di rumah. Kami akan selesaikan semuanya. Tentunya, ini semua gratis tis! Karena kami sudah digaji oleh pajak negara untuk melayani Anda semua.”
Sependek pengalaman saya dalam pengerjaan rumah subsidi ini, selalu saja ada beberapa deal khusus agar instansi tersebut bisa mengeluarkan izin untuk proyek rumah subsidi beginian dengan lancar sentosa dan mulus kayak jalan tol.
Celakanya, itu baru satu pintu, Bwosque. Ingat, masih ada 11 perizinan sisanya yang mesti kamu urus juga. Artinya masih dalem pula kamu ngerogoh kocek modal usahamu. Rumah subsidi sih rumah subsidi, tapi tidak dengan perizinannya dong. Mana ada perizinan bangun proyek dikasih subsidi.
Pada tahap ini kondisinya benar-benar ruwet plus rumit. Seperti buah simalakama. Tanah yang kamu beli udah dibayar atau kamu punya utang sama bank, dan kamu tak bisa mundur lagi. Artinya, ya harus ikut apa kata birokrasi terooos.
Itu segala proses tadi masih di tahap awal-awal lho, baru mulai, belum ada jaminan bakal laku—bangun pondasi apa lagi. Artinya cuan belum kelihatan, tapi udah banyak yang harus dikeluarin buat ngurus segala macam.
Mangkanya itu kalo kamu berpikir jadi developer properti untuk rumah subsidi itu untungnya banyak, saya cuma mau bilang… “Bangun woy, banguuun!”
Ongkos birokrasi inilah yang jadi estimasi terbesar dan jadi komponen paling menyedot modal. Intinya, biaya bangun rumah subsidi, yang kerap dikeluhkan lokasinya jauh dan kualitas bangunannya tak seberapa itu, yang mewujud jadi bangunan itu sebenarnya adalah “sisa” dari uang pengurusan izin birokrasi tadi.
Dan karena sisa, ya pantas lah kalau banyak calon pembeli rumah subsidi merasa kecewa.
Lagian toh rumah subsidi kan emang gitu konsepnya dari dahulu kala. Bukan negara yang akhirnya kasih rumah subsidi ke rakyatnya, tapi emang malah rakyatnya yang kasih subsidi ke penyelenggara negara.
Oknum sih. Cuma banyak.
BACA JUGA Pengorbanan yang Perlu Kamu Lakukan untuk Dapat Rumah Murah di Jogja dan ESAI lainnya.