[MOJOK.CO] “Sudah sering dengar sebutan Gus Dur, tapi apa sih arti panggilan gus? Berikut penjelasan Gus Dafi.”
Tentu saja geli saja rasanya ketika mendapati ada seseorang yang mendaku dirinya “Gus” secara terbuka di hadapan banyak orang. Menyebut namanya sendiri dengan gelar gus, tapi yang diajak ngomong nggak tahu yang ngomong ini sebenarnya siapa.
Sejujurnya waktu beberapa teman kasih tahu cerita penyematan gelar Gus pada diri sendiri tersebut, saya saat itu masih sempat berpikir–halah, itu cuma guyonan palingan, atau usaha untuk menyindir seseorang.
Eladalah, tanpa diduga saya kok ya betulan nemu videonya di yutup. Bahkan tanpa tedeng aling-aling di video tersebut si Gus ini mengaku menyematkan kata “gus” pada dirinya sendiri karena ingin menjadi penceramah atau pendakwah.
Biar pantes katanya. Masak penceramah nggak ada embel-embel gelarnya? “Nah, akhirnya aku merintis bangun image, yak opo men diceluk ‘Gus’. Kan ngunu? Wong jenenge dakwah kan kudu diceluk ‘Gus’,” katanya. Ebuset bijiknalpot.
Barangkali gelar ustadz terlalu mainstream, gelar habib nggak punya garis keturunannya, dan gelar kiai terlalu berat, jadi sebutan Gus lebih dipilih karena kesannya nggak wah-wah banget. Cukup merakyatlah. Kira-kira gitu kali ya?
Tentu saja apa yang dilakukan gus satu ini sah-sahnya. Tidak ada larangannya, baik di dalil-dalil agama maupun dalil-dalil UUD empat lima.
Hanya saja kalau dipikir-pikir kan lucu juga ketika situ punya wajah ganteng, lalu serta-merta situ bilang ke banyak orang kalau situ ganteng. Iya sih memang betul situ beneran ganteng, tapi kan ganteng bukan sesuatu yang perlu diproklamirkan.
Wong, orang lain juga sudah tahu kalau situ ganteng tanpa perlu diaku-aku sendiri. Kayak orang lain nggak bisa bedain mana wajah Lee Min Ho mana wajah Ega Fansuri aja sampai perlu ada disklaimer segala.
Justru ketika situ bilang bahwa situ ganteng padahal wajah situ emang udah beneran ganteng… itu menunjukkan ada keraguan dari diri sendiri.
Semacam pertanyaan kontemplasi gitu: “Aku ini sebenarnya ganteng nggak tho?” sehingga perlu penegas melalui pengakuan bermajas ironi gitu.
Oke baiklah, maafkan saya jika saya tidak pernah mendengar nama Gus yang sedang kita bicarakan ini sebelum-sebelumnya. Ya, maklum saya ini cuma santri biasa yang nggak begitu hafal nama Gus tenar keluaran terbaru, jadi agak bingung ketika mendengar nama belio sebagai Gus yang dikenal sebagai penceramah kondang waktu pertama kali.
Sebagai permohonan maaf saya karena nggak mengenal nama beliau beserta hal-hal ajaibnya, saya jadi kepikiran untuk membikin klasifikasi Gus-Gus sebagai jawaban atas fenomena ini. Yah, paling tidak untuk memberi penjelasan gimana sih tipe-tipe Gus sampai Gus seperti beliau itu ada di dunia yang aneh ini. Ini dia.
Yang pertama: Gus Gelar Transit
Nah, gus di sini maksudnya adalah gus yang memang diproyeksikan untuk jadi pewaris pesantren yang sah. Artinya secara garis keturunan bapaknya adalah kiai dan si gus memang putra kandung tertua dari keluarga si kiai. Ini semacam definisi dari makna sebutan gus yang kita semua kenal secara lumrah, sudah seperti pakem gitulah.
Ketika si bapak pensiun, maka selain gantian ngurus pesantren, si gus ini juga akan naik pangkat jadi kiai. Bisa dibilang gelar gus model gini adalah gelar transit atau peralihan. Udah kayak shelter busway gitulah. Gelar gus cuma buat ngetem sementara waktu.
Kedua: Gus Mantu
Selain dari anak kandung, gelar gus juga bisa disematkan kepada mantu putra seorang kiai pengasuh pesantren. Ya kan anak kiai nggak selalu cowok semua. Oleh karena itu, mantu kiai secara otomatis akan dipanggil gus juga meskipun secara latar besan tidak punya garis keturunan kiai—bahkan misalnya si gus ini dulunya hanyalah santri biasa di pesantren yang bersangkutan.
Ya walaupun pada praktiknya di lapangan, kebanyakan putri kiai nikahnya sama putra kiai juga sih. Kejadian santri diminta jadi mantu itu bisa dibilang kasus-kasus istimewa. Jadi si gus ini punya legitimasi dari dua pihak. Di rumah sendiri dipanggil gus sama santrinya, di rumah mertua juga dipanggil gus saja sama santri istrinya. Yang kayak gitu bisa juga disebut gus side A side B. Atau gus bolak-bolak. Atau gus dobel pake telor. Gus sebagai wujud dari ketidakadilan sosial bagi seluruh santri se-Indonesia.
Ketiga: Park the Gus
Kalau Jose Mourinho punya istilah strategi Park the Bus yang bikin mager (malas gerak) pemain-pemainnya untuk beranjak dari kotak penalti sendiri, beberapa gus ada juga yang males transit dari satu gelar ke gelar berikutnya. Jenis yang saya namai dengan istilah “Park the Gus”.
Yang berikut ini adalah tipe-tipe gus yang sebenarnya sudah jauh lebih layak dipanggil kiai, tapi lebih nyaman dengan sebutan gus. Tentu saja dengan berbagai alasan yang rata-rata nyeleneh.
Seperti alasan Gus Dur berikut ini misalnya: “Saya sih lebih seneng dipanggil gus. Sebutan kiai terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat. Makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi gus saja. Dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong.”
Keempat: Gus Penyematan
Nah, yang satu ini adalah tipe gus sebagai gelar atau status yang cukup baru dan belakangan viral lagi. Baik dalam kancah sosial budaya, politik, atau bahkan ekonomi.
Gus model ini adalah sosok yang mendapat sebutan gus karena penyematannya nggak beda jauh seperti pemberian emblem dari Siaga ke Penegak ke Penggalang dan seterusnya. Seperti nempel emblem gitu.
Dari yang serius untuk citra politik seperti Setnov dan Tommy, atau yang tersulut dari karya dan pengaruh seperti Gus Muh (Muhidin M. Dahlan), sampai yang lucu-lucuan untuk motif ekonomi seperti Gus Mul (Agus Mulyadi). Semua boleh, semua bisa terjadi di tipe gus yang satu ini.
Hanya saja, gus jenis ini tetap tidak menyematkan label gus pada dirinya dirinya sendiri. Artinya, memang ada pengakuan dari orang lain, meskipun pengakuan itu perlu dilacak lagi tulus atau nggak. Beda dengan jenis gus terakhir yang dengan kesadaran penuh menamai diri sendiri sebagai gus.
Terakhir atau Kelima: Gus Nur
Eh, malah kesebut namanya.