MOJOK.CO – Kenapa sih tokoh di Tukang Ojek Pengkolan yang berasal dari Sunda dan Jawa, selalu melekat sifat menyebalkan dan njelehi?
Kian hari, sinetron yang premis awalnya berkisah tentang tukang ojek yang nangkring di pengkolan ini makin meresahkan saja. Mulai dari mengangkat hal viral di kehidupan nyata namun jatuhnya norak, sampai hal-hal kaku yang nggak wangun blas untuk ditayangkan di layar kaca.
Ya, benar, kedengkian Emak terhadap Ojak yang kini masuk dalam sebuah tahap abu-abu yang justru membuat penontonnya mbatin, opo seehhhh?
Tapi saya nggak akan mengutarakan keresahan mengenai betapa munafikun tokoh Emak. Ya gimana nggak munafik, tokoh ini diceritakan hobi ngaji tapi memelihara dengki je.
Pun saya nggak akan berkomentar banyak mengenai betapa membosankannya Tukang Ojek Pengkolan. Melainkan saya akan menjabarkan kenapa ya tokoh-tokoh yang berasal dari Sunda dan Jawa, selalu melekat sifat menyebalkan, njelehi, dan bikin mengernyitkan dahi.
Saya sudah istikamah kok mbok menowo diserang habis-habisan sama fanbase Tukang Ojek Pengkolan yang terkenal fanatik namun jarang yang mau open-minded itu. Saya hanya ingin memperlihatkan, selain lebih baik sinetron ini bungkus saja, pun kandungan ceritanya sudah nggak baik bahkan sejak dalam penokohan.
Pertama, orang Jawa yang dibuat selalu “meresahkan”
Kita mulai dari tokoh-tokoh yang berasal dari Jawa dulu. Garis besarnya, beberapa tokoh yang berasal dari Jawa ini cenderung ngotot, plenggak-pelungguk, dan nggatheli.
Sujono, misalnya. Tukang ojek online yang sepertinya bakal diplot sebagai pengganti Tisna ini sudah menghimpun semua sifat menyebalkan mulai dari omongan, tingkah, dan tindak tanduknya. Sujono ini melekat karakter njelehi yang sudah menyentuh titik nadir di Tukang Ojek Pengkolan.
Apa-apa gelot dengan Purnomo yang menurut saya pribadi sudah menyentuh batas kewajaran. Komedi yang dihadirkan dua orang ini, sejatinya nggak memperlihatkan guyonan khas orang Jogja dan Jawa Tengah yang mengedepankan intelegensia celekopan maupun perbuatan.
Guyonan yang penuh dengan pemikiran dan tricky khas Bumi Mataraman itu, dibumihanguskan oleh kedua tokoh ini di Tukang Ojek Pengkolan dengan cara yang sungguh nggak mashoook blas.
Seakan, perselisihan di antara Sujono dan Purnomo, diperuntukkan kepada beberapa golongan saja. Skrip kaku, onek-onekan tanpa unsur cerdik, membuat kedua tokoh ini masuk dalam improvisasi perselisihan cringe dan konyol alih-alih lucu.
Kita ke tokoh ketiga, yakni Wahyuni atau yang akrab disapa Mbak Yuni dalam sinetron. Biang gosip, ngotot, dan hal buruk lain, melekat dalam tokoh yang satu ini.
Barangkali, tujuh dosa mematikan, dihimpun dengan sempurna oleh tokoh yang nggapleki satu ini. Sempat keluar, tokoh ini masuk lagi karena kuat dan nggak tergantikan.
Saya nggak mengatakan semua orang Jawa nggak ada yang nggosipan lho ya, tetapi tokoh Wahyuni ini saya rasa blas nggak mewujudkan sosok orang Semarang pada lumrahnya.
Di tanah rantau, kondisi menjalin hubungan bertetangga, sekitar adalah asing, apa iya sifat ndongkoli seseorang sampai menyentuh level Wahyuni? Lhoh, lhoh, lhoh, lhoooh.
Kedua, orang Jawa yang selalu bekerja sebagai “kasta kedua”
Selain tukang ojek, orang Jawa di Rawa Bebek ini selalu memerankan pekerjaan kasta kedua, nggak pernah sebagai juragan atau bos.
Katakanlah kurir barang, tukang ketoprak, pembantu (istrinya Kasman tukang cendol), dan profesi pemberi jasa lainnya. Sucipto dan istrinya salah satunya. Datang sebagai pelengkap hengkangnya Tisna, toh peran blio ini nggak besar-besar amat.
Satu lagi, Surti. Entah bakti kepada Babeh sebagai bapak mertua atau rasa hormat kepada orangtua, kerjaanya selain mengernyitkan dahi ya disuruh-suruh oleh Babeh.
Jika disuruhnya dengan cara yang baik masih enak untuk dilihat, lha ini lho dibentak-bentak. Walau tokoh Babeh ini digambarkan memiliki pita sura melengking, tapi sama mantu mosok gitu, sih, Beh?
Blas sedikit sekali ada orang Jawa di Rawa Bebek yang digambarkan sukses semisal pemilik kafe, pemilik kontrakan, pemilik kos-kosan, dosen, pemilik bengkel, catering, atau pemilik warung makan dan sup buah.
Semenjak hilangnya Pak Firman, orang Jawa di Rawa Bebek adalah pekerjaan jasa dan kasta kedua.
Ketiga, tokoh asal Sunda yang digambarkan tidak jauh beda dengan tokoh Jawa
Jakarta memang keras, bahkan melalui sinetron yang sejatinya sistem paling waras dalam membentuk gambaran kehidupan yang mendekati nyata. Tokoh Jawa yang seakan menjadi nomor dua, tidak terkecuali bagi orang Sunda yang notabene lebih dekat dari Jakarta. Mereka juga sama, sama-sama diplot menjadi tokoh yang njelehi.
“Eleuh, eleuh, meuni pening pisaaaaan!” Itulah hal yang tepat untuk merangkum perasaan tokoh-tokoh Sunda yang hadir dalam sinetron ini. Mulai dari Tisna yang digambarkan menyebalkan dengan berpedoman pada petuah sok bijak bapaknya, sampai Deden yang entah apa eksistensi dan kepentingannya dalam sinetron ini.
Jika Sujono hadir dengan mewujudkan perasaan menyebalkan yang sporadis, maka tokoh-tokoh Sunda hadir dengan membawa sifat menyebalkan yang halus.
Selain Tisna yang membawa template, “kata bapak saya…,” Deden dengan logatnya yang cenderung over-acting, kini hadir satu lagi tokoh menyebalkan dengan pola yang sama, kakaknya Deden (saya lupa namanya) dengan template, “punten, punten ini mah…”.
Pemberian template kata-kata tiap tokoh di Tukang Ojek Pengkolan, jatuhnya malah memberikan kesan kurang pantas dan menimbulkan tanda tanya besar.
Emang harus begitu ya untuk memperlihatkan bahwa tokoh itu dari Sunda? Sepertinya, penulis skrip Tukang Ojek Pengkolan harus banyak melihat film-film indie buatan anak-anak Jawa Barat yang nggak over.
Juga ada tokoh Amin, menyebalkan dengan gaya yang dipaksakan bertikai dengan Purnomo. Yah, walau saya tahu konteksnya sebagai pelapis Sujono yang nggak hadir di spin-off “Spesial Abi Umi” selama awal pandemi, tapi penulis skrip nggak ada ide kembangkan tokoh-tokohnya selain gelooot dengan Purnomo, gitu?
Masalahnya, selama bermain di sinetron Preman Pensiun, tokoh Amin ini cukup memuaskan. Bersanding dengan Kang Bahar, Amin digambarkan sebagai orang yang setia, humoris, dan patuh. Namun selama main di Tukang Ojek Pengkolan, eleuh, eleuh… meuni bertolak belakang pisan.
Bang Simin punya kontrakan, Emak yang kerja sama membangun bisnis kafe, Babeh yang punya kontrakan, dan Uyuy yang selalu digambarkan sempurna padahal ada atau nggak adanya blio, nggak bakal ngaruh dalam jalannya cerita.
Tokoh-tokoh di atas, seakan memiliki peran wahid padahal ya yang membentuk cerita adalah karakter-karakter nggondoki macam Wahyuni.
Seakan, sinetron ini memberikan sebuah petuah bijak yang sejatinya amat jahat, yakni jangan ke ibukota jika nggak punya privilese khusus. Tentunya, ditunjang dengan iklan di tengah cerita dan pemain putus kontrak, diceritakan “mati” saja.
Saya curiga, dikira yang nonton ini sinetron nggak punya pikiran apa, ya? No offense ya bagi pecinta Tukang Ojek Pengkolan.
Sinetron ini sudah banyak hal yang wagu dan nggak masuk logika sama sekali. Harus ada perombakan besar-besaran. Selain mengkaji ulang cerita dan penokohan secara mendalam, memang sudah seharusnya sinetron ini dihentikan saja.
Eh, tapi kalau cuannya besar, ngapain harus meningkatkan kualitas juga sih?
BACA JUGA Agar Nggak Kayak Tukang Bubur Naik Haji, Tukang Ojek Pengkolan Harusnya Tahu Diri dan tulisan Gusti Aditya lainnya.