Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Naik Pangkat Berjamaah di Tengah Wabah: Semua Ingin Menjadi Jenderal

Aris Santoso oleh Aris Santoso
16 April 2020
A A
Program Barak Militer bagi Siswa Nakal: Penghinaan Akal Sehat dan Pengingkaran terhadap Esensi Pendidikan.MOJOK.CO

Ilustrasi - Program Barak Militer bagi Siswa Nakal: Penghinaan Akal Sehat dan Pengingkaran terhadap Esensi Pendidikan (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebanyak 329 perwira menengah TNI baru saja naik pangkat menjadi jenderal (perwira tinggi) pada 9 April lalu. Indonesia jadi negara dengan surplus jenderal.

Daya tarik kekuasaan memang luar biasa. Dengan kekuasaan hidup terasa lebih mudah, orang sekitar akan menaruh hormat tiada henti. Itulah sebabnya hampir semua orang ingin berkuasa. Dalam masyarakat kita, kekuasaan biasa dicapai dengan cara menjadi pejabat, baik pada birokrasi sipil maupun militer.

Pada awal April ini, TNI baru saja memutasi hampir 400 perwira, yang seluruhnya ditempatkan dalam posisi jenderal, mulai jabatan bintang satu (brigjen) sampai jabatan bintang tiga (letjen). Tentu saja yang paling banyak adalah pos brigjen, meski baru satu bintang, namun sudah sangat membanggakan karena dalam bahasa sehari-hari semuanya akan disebut jenderal.

Seluruh lulusan Akmil (termasuk AAL, AAU, dan Akpol) ingin menjadi jenderal, karena dengan cara itulah kekuasaan bisa diraih. Lembaga militer bisa berjalan karena sistem kekuasaan, yakni ada pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang menjalankan perintah. Bagi pihak yang tidak menjalankan perintah (biasanya bawahan), sudah ada sanksi yang menanti.

Atmosfer seperti itu jelas tidak kita temukan dalam komunitas pekerja kreatif, yang menekankan nilai kolektif-kolegial. Seperti di masa kejayaan seniman Malioboro dulu misalnya, ada tokoh seniman yang disebut Presiden Malioboro, yaitu penyair Umbu Landu Parangi. Namun sebutan “presiden” bagi Umbu tentu saja sekadar olok-olok, Umbu tidak bisa memerintah anggota komunitas seniman semaunya. Begitu juga sebaliknya, bagi seniman atau anggota komunitas yang kurang berkenan dengan “perintah” Umbu, dia boleh kabur (dari kawasan Malioboro) untuk sementara waktu, tanpa ada sanksi yang tegas.

Sayang spirit kolektif-kolegial seperti biasa terjadi pada komunitas pekerja kreatif, kurang menarik bagi masyarakat kita, dari generasi ke generasi. Itu bisa terjadi, karena ada faktor kesejahteraan yang melekat pada kekuasaan. Bagi komunitas seniman, soal pembagian honor yang didapat, bisa dibicarakan, jadi tidak terjadi kesenjangan (besar) pendapatan antara koordinator (pemimpin proyek) dan pelaksana proyek.

Di satuan militer, hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Bagi seorang pimpinan berpangkat jenderal, selain memperoleh gaji bulanan, masih ada fasilitas lain, seperti kendaraan dan perumahan. Belum lagi karena kehormatan yang melekat pada jabatan, dia akan memperoleh berbagai kemudahan, dalam akses pendidikan, kesehatan, dan sektor jasa lainnya.

Sudah biasa terjadi, bila keluarga pimpinan militer akan berwisata, sudah ada pihak yang akan menanggung biaya transpor dan akomodasinya. Juga saat belanja, bila sang pemilik toko mengetahui bahwa yang belanja adalah istri pejabat militer setempat, akan memperoleh pelayanan berlebih, seperti keramahan, informasi produk, dan bila beruntung masih ada harga khusus (rabat).

Hasrat untuk menjadi jenderal sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Namun yang menjadi masalah, jumlah jabatan untuk perwira tinggi sangat terbatas sehingga tidak bisa menampung semua kolonel yang ada, yang jumlahnya jauh lebih besar. Seperti pada mutasi baru-baru ini, meski sudah “diciptakan” sejumlah jabatan baru bagi jenderal, tetap saja banyak kolonel yang belum tertampung. Dan para kolonel ini akan tetap sabar menanti, sampai tiba saatnya “bintang jatuh” di pundaknya, dan bisa jadi tidak akan pernah sampai hingga dirinya pensiun.

Hasrat kekuasaan yang terjadi pada militer, tentu sama sebangun dengan yang biasa terjadi pada birokrasi sipil, yang bisa jadi persaingannya jauh lebih sengit, mengingat jumlahnya juga lebih besar, baik di pusat maupun daerah. Mengapa orang begitu berhasrat pada kekuasaan, bagi saya yang rakyat jelata, tetaplah sebuah misteri. Saya hanya bisa mengajukan pertanyaan kecil, kalau semua ingin menjadi penguasa atau pejabat, lalu siapa yang akan menjadi rakyat kecil?

Bila kita perhatikan, dalam masyarakat di level mana pun, selalu ada fenomena kekuasaan, termasuk di kelas bawah. Di kalangan supir angkot, kuli panggul, tukang becak, buruh, pedagang pasar, dan seterusnya, selalu ada orang yang ingin berkuasa atau sok kuasa. Ada orang yang merasa lebih pintar, atau sedikit lebih kaya, dan sedikit memiliki akses pada kekuasaan yang tinggi, sehingga dia berlagak sok kuasa, dengan cara memerintah temannya, dan segala ucapannya tidak bisa dibantah.

Jabatan atau kekuasaan yang biasanya dihindari warga adalah pada posisi Ketua RT atau RW, karena kelak lebih banyak nombok. Kalau jabatan di luar itu, tentu orang akan berebut. Kekuasaan ibarat air laut, semakin kita reguk, semakin menjadikan kita haus, itu sebabnya orang telah berkuasa, biasanya ingin terus berkuasa, dan berusaha agar bisa dilanjutkan anak-cucunya sendiri, sebagaimana yang kita saksikan hari ini di ranah politik.

Tulisan ini akan saya tutup dengan mengutip piwulang (ajaran) “Urip iki mung mampir ngombe” (hidup ini sekadar singgah untuk minum). Betapa narasi ini sudah dilupakan sama sekali, mata hati para pemimpin seolah dibutakan karena hasrat kekuasan yang membuncah. Demikian pula dengan nasihat para khatib saat ibadah jumat bahwa jabatan dan harta adalah sesuatu yang fana. Semua menguap dan sia-sia

Harapan kini tertuju pada generasi milenial, yang sekiranya masih mampu mengambil jarak dengan kekuasaan. Mungkinkah mereka memiliki jalan sendiri, bahwa hidup di negeri ini tidak harus menjadi pejabat atau jenderal. Tapi entahlah, karena minat pelajar SMA/SMK untuk mendaftar ke (khususnya) Akmil ternyata masih juga tinggi. Waduh… tepuk jidat.

Iklan

BACA JUGA Menghitung Gaji Anggota TNI, Profesi Idaman Banyak Mertua dan esai Aris Santoso lainnya.

Terakhir diperbarui pada 15 April 2020 oleh

Tags: jenderalmutasipangkatTNI
Aris Santoso

Aris Santoso

Pengamat militer

Artikel Terkait

Pemerintah Tolak Uji Formil UU TNI, Bukti Suara Rakyat Tak Dianggap dan Cuma Fasilitasi Kepentingan Kekuasaan.MOJOK.CO
Aktual

Pemerintah Tolak Uji Formil UU TNI, Bukti Suara Rakyat Tak Dianggap dan Cuma Fasilitasi Kepentingan Kekuasaan

25 Juni 2025
Alumni Unhan RI Jurusan Ekonomi Pertahanan. MOJOK.CO
Kampus

Kuliah di Universitas Pertahanan Memang Menjanjikan, tapi Tugasnya bikin Mahasiswa Kena Mental

28 Mei 2025
tentara, dwifungsi tni, tni, militer.MOJOK.CO
Aktual

Dwifungsi TNI is Back, Ancaman Nyata Bagi Dunia Akademik

20 Maret 2025
Pemerintah Tolak Uji Formil UU TNI, Bukti Suara Rakyat Tak Dianggap dan Cuma Fasilitasi Kepentingan Kekuasaan.MOJOK.CO
Esai

Humor Gelap Tentara vs Sipil yang Menghantui Indonesia

17 Maret 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.