[MOJOK.CO] “Poligami di kalangan ustadz dan perceraian yang menyusul kemudian di satu sisi adalah urusan pribadi. Tapi, pada titik mereka juga promotor poligami, wajar saja praktik poligami mereka menjadi sorotan.”
Di suatu sore yang murung saya melihat poster acara berwarna ungu yang didesain secara serampangan dan, meminjam istilah Gus Mul, nggak ada artsy-artsy-nya.
Itu poster seminar poligami dengan tema besar “CARA KILAT DAPAT ISTRI 4”. Ditulis dengan huruf kapital di tengah penjelasan lain, seperti tiga narasumber berlabel “praktisi poligami”, HTM senilai 2,9 sampai 5 juta yang tentu saja tak terjangkau oleh pekerja bergaji pas-pasan seperti saya ini, lalu kehadiran perempuan yang siap melangsungkan prosesi poligami di tempat.
Berdasarkan pengalaman sependek jarak tempuh siput, ini acara yang tak akan pernah saya datangi. Saya trauma setelah ikut seminar MLM yang membuat hidup saya tak pernah sama lagi setelahnya. Trauma dengan janji motivator mengenai pendapatan 20 juta sebulan, kepastian memiliki kapal pesiar, rumah mewah, dan anak-anak lucu yang berlarian di halaman belakang rumah sendiri, bukan rumah ngontrak.
Didesak rasa penasaran, saya menelusuri seluk-beluk seminar itu ke mesin pelacak tren media sosial. Ternyata Detik.com pernah memberitakan acara ini pada 3 November 2017 dan sudah dibagikan dua ribu kali diikuti puluhan komentar nyinyir. Pembaca sedang tak senang, menilai seminar poligami merendahkan martabat perempuan.
Tapi, panitia selalu memiliki pembenaran tersendiri. Berikut tesis panitia yang terpampang di poster yang saya lihat.
“Banyak suami yang berhasrat untuk berpoligami, banyak pula wanita lajang yang siap dimadu dan memadu, namun mereka tak mengerti harus apa dan memulai dari mana ? Bagaimana mempersiapkan agar istri siap dengan keputusan suaminya yang hendak berpoligami. Bagaimana Islam mengaturnya dari A-Z ? kami dampingi dan bantu anda….”
(Demi menjaga orisinalitas, kesalahan tanda baca dalam paragraf ini tidak diedit dan sepenuhnya berada di luar tanggung jawab penulis dan Mojok~)
Sekelebat saja sudah tampak keganjilan di mata. Mungkin karena teman-teman perempuan saya yang mendaku feminis terlampau sering berteriak “Dasar! Nggak sensitif gender!”
Terpengaruh bayang-bayang teriakan itu, saya mantap berpendapat, susunan kalimat dengan kesalahan tanda baca itu mengerdilkan perempuan.
Kalimat pertama dimulai dari hasrat suami/laki-laki. Jadi, bermula dari hasrat suami, bolehlah lelaki memadu istri pertama sebab banyak perempuan yang siap dimadu. Tentu saja boleh, asal mampu mempersiapkan istri pertama agar kuat dan mau dan ridho dan tidak keberatan, benak saya menyimpulkan.
Tak berhenti sampai di sana, saya melanjutkan penelusuran tentang acara ini. Saya buka situs daurahpoligamiindonesia.com lalu mencari motif penyelenggaraan acara berbagi tips nikah lebih dari satu ini. Sekadar menjelajah utuk menuntaskan rasa penasaran.
Alamak, ternyata agenda yang akan berlangsung 25 November 2017 di Jakarta ini bukan yang pertama kalinya. Sudah periode yang ketiga. Setiap gelombang disebut batch. Lalu saya intip sebuah esai berjudul “Cuma Empat” dan membacanya dengan saksama.
Kata si penulis, ada empat alasan suami belum berpoligami. Pertama, belum tahu/ belum siap. Kedua, istri belum siap. Ketiga, belum ada wanita yang siap untuk ber-JOINT KOLABORASI (istilah di tulisan). Keempat, wali perempuan yang hendak dipoligami belum siap.
Sudah sepanjang ini menelusuri penjelasan mereka, tak ada penjelasan soal manfaat poligami bagi perempuan. Sudah sepanjang ini, hanya satu kesimpulan terbersit di benak: poligami hanyalah jalan untuk menuruti hasrat laki-laki.
Maafkanlah. Mungkin, saya belum dapat hidayah.
Lalu saya teringat liputan Ayunda Nurvitasari yang mengisahkan pengalamannya datang ke seminar poligami. Seorang ustadz yang jadi pembicara mengutarakan pendapat, “Bagaimanapun, kita tahu, semua laki-laki akan melakukan poligami, setidaknya di akhirat nanti.”
Gaes, semua akan poligami pada waktunya. Catat: semua. Tak terkecuali Anda yang dirundung dilema cinta sepanjang musim.
Lalu pembicara lain, kali ini seorang perempuan yang dipoligami berkata, poligami tak memberi keadilan dalam cinta dan kasih sayang. Keadilan hanya berhenti pada dua hal: pembagian harta dan jatah malam. “Ketika sampai pada cinta dan perasaan, tak akan pernah adil.”
Ah, kata adil dalam poligami tak mencakup cinta dan perasaan. Seorang istri yang dipoligami tak perlu repot-repot mempertanyakan seberapa besar cinta suami pada dirinya. Perasaan dan cinta yang merupakan fitrah manusia dinonaktifkan seperti jaringan internet kartu paketan yang hampir habis di hape mahasiswa miskin.
Iwan Fals bilang, “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.”
Bagaimana mungkin perasaan perempuan ini hendak diabaikan. Tidak perlu cemburu sebab keadilan poligami tidak menyasar cinta. Padahal 90% penggugat perceraian adalah perempuan. Artinya, perempuan ini jelas punya perasaan dan sikap tegas atas nasib rumah tangganya.
Usai mendengar konsep keadilan poligami pembicara tadi, Ayunda membatin, Inilah saat poligami terdengar seperti didesain untuk lelaki pencandu seks.
Sampai di sini, poligami tampak tak memberi faedah bagi perempuan. Poligami dimulai dari hasrat laki-laki dan berujung pada kenikmatan lelaki saja. Bagi pihak perempuan? Tentu perlu dipikir ulang seratus ribu kali lagi.
Lagi pula, promosi poligami ini menyeruak di saat kasus perceraian di Indonesia masih begitu tinggi meninggalkan single parent dengan hidup yang sulit. Dalam konteks dunia pernikahan, seminar poligami menjadi perayaan kesenangan di atas derita ratusan ribu rumah tangga orang lain.
Selama lima tahun sejak 2010 sampai 2015, presentase perceraian di Indonesia mencapai 15—20%, atau 200—300 ribu pasangan dari rata-rata 2 juta pernikahan setiap tahun.
Kenapa tidak mengadvokasi janda saja? Kenapa tidak memberikan edukasi rumah tangga harmonis saja?
Rata-rata, setiap hari ada 40 sidang cerai di pengadilan agama, setiap bulan ada 500 putusan cerai di Cilacap pada 2015, dan lebih dari 1.000 kasus perceraian di Palembang pada 2016.
Saya teringat status seorang teman beberapa tahun lalu: banyak janda muda di daerah industri di Karawang yang bercerai akibat impitan ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu faktor paling mematikan buat rumah tangga.
Sudah terang begini keadaannya, eh seminar poligami dengan tiket mahal menyeruak ke publik. Membanggakan diri. Memberi iming-iming nikmat 4 istri dengan cepat. Semua itu, atas dasar “hasrat suami”.
Memang Dauroh Poligami memberi tiket masuk gratis buat gadis dan janda yang pengin ikut acara. Tapi, berapa banyak “praktisi poligami” yang menikahi janda miskin yang bercerai akibat desakan ekonomi?
Memang Dauroh Poligami memberi tiket masuk gratis buat gadis dan janda yang pengin ikut acara. Tapi sudah tiga kali acara, diadakan di kota-kota besar saja. Padahal kasus perceraian paling tinggi terdapat di daerah. Memangnya, janda di daerah tahu acara ini dan punya cukup uang untuk ke sana?
Mana ane tahu, belum ada laporan dari antum. Hehe.
Seminar poligami ini memang bias kelas. Hanya ditujukan untuk kalangan kelas menengah. HTM saja mahal sekali. Tidak terjangkau orang-orang dengan gaji UMR. Jadi kini, poligami hanya ditujukan untuk kelas menengah ke atas? Atau mungkin benar kata netizen, ini sekadar usaha cari uang lewat industri kreatif.
Ayolah, poligami tak sesederhana usaha mengungkapkan hasrat laki-laki. Ada perempuan yang harus dihargai perasaannya sebagai seorang manusia. Bukan malah dirayu agar mau dimadu. Setahu saya, Islam sangat menghargai perempuan. Tapi, kok saya nggak nemu usaha menghargai kaum hawa di kampanye poligami ini. Hanya ada trik bikin istri siap dimadu.
Sudahlah, kalau atas nama ibadah kau menganjurkan poligami, masih banyak cara beribadah yang terang kebaikannya, tidak bias maksud kayak poligami yang ini, seperti menyantuni janda, mengentaskan kemiskinan umat, menumbangkan kapitalisma. Itu juga ibadah.
Lewat sebaran poster ini, poligami tampak sebagai perilaku patriarkis nan egois yang seakan berhasil mendamaikan ajaran agama dengan hasrat seksual individu. Padahal, tentu saja tidak.