MOJOK.CO – Dari mana keraguan dan pertanyaan mengenai keaslian keris Pangeran Diponegoro yang—katanya—pulang ke Indonesia ini bermula?
Dalam karya yang merangkum keseriusannya selama 40 tahun meneliti Sang Pangeran, ‘The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java’ jilid ke-3 bagian Appendix, Prof. Peter Carey tak lupa mencantumkan daftar pusaka Pangeran Diponegoro baik yang berupa tombak maupun keris.
Di antara nama-nama pusaka kerisnya itu ada KKA Bondoyudho, KK Abijoyo (dilebur bersama tombak panah Sarutomo dan tombak Barutubo menjadi Bondoyudho), KK Wisa Bintulu (sudah dikembalikan ke Keraton Yogyakarta sebelum pecahnya perang), KK Wresa Gumilar (warisan dari Sultan HB III), KK Rondhan (sama dengan nama salah satu tombak), KK Hatim, dan KK Blabar.
Kebetulan, dalam wawancara baru-baru ini, Prof. Peter sempat menegaskan kalau pusaka keris bernama “KK Naga Siluman” kemungkinan bukan pusaka utama dan yang paling berharga bagi Pangeran Diponegoro. Soalnya, sang pangeran tidak pernah menyebut sama sekali dalam Babad setebal 1.100 halamannya itu. Lagipula, Naga Siluman juga tak ada dalam daftar pusaka susunan Otoritas Kolonial yang dibagikan pada ahli waris setelah penangkapan Pangeran Diponegoro.
Bahkan, Sang Panglima tertinggi, Jenderal De Kock juga tak pernah menyebut keris ini dalam laporannya kepada Komisaris Du Bus, Gubernur Jenderal Van den Bosch, Menteri Jajahan, dan Raja Willem, maupun buku hariannya.
Penyebutan nama “Naga Siluman” sendiri baru muncul dalam catatan kecil Ali Basah Sentot Prawirodirjo yang telah menyerah. Sentot menyatakan, dia melihat sang pangeran menyerahkan Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Jan Baptiste Cleerens, pemrakarsa perundingan damai di Magelang yang berakhir dengan penangkapan Pangeran Diponegoro.
Nah, setahun setelah Perang Jawa berakhir, KK Naga Siluman itu dihadiahkan Kolonel Cleerens kepada Raja Willem I. Pada tahun 1831 itu pula keris jadi koleksi di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag.
Menurut Sejarawan Bonnie Triyana hal ini adalah, “Barangkali semacam simbol penaklukan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830) yang nyaris membuat Belanda bangkrut.”
Kalau kita membaca Babad dengan seksama, sebenarnya penyerahan Naga Siluman kepada Cleerens tak bisa disebut sebagai tanda takluk. Justru jauh lebih masuk akal jika penyerahan keris tersebut disebut sebagai tanda persahabatan dan tanda iktikad baik sebab dalam pembicaraan pra-perundingan Magelang memang sangat kental nuansa persahabatannya. Beberapa kali perbincangan malah ditingkahi dengan canda, seperti tentang berapakah tembakan salvo yang layak untuk menyambut kehadiran Pangeran Diponegoro di setiap benteng Belanda yang dilewatinya menuju Magelang?
Tanya jawab itu pun diakhiri dengan epik, “Tak perlulah jika merepotkan dan memberatkan. Toh sudah lebih dari 100.000 peluru kalian tembakkan padaku selama perang!”
Saking akrabnya suasana itu, sang pangeran disebut menganggap Cleerens seperti “adik”. Diberikan pula sebuah panggilan sayang, “Kurnel Kleres”. Kleres atau Kaleres artinya “orang yang benar”.
Hal ini menunjukkan kepercayaan yang begitu besar dari sang pangeran kepada sang kolonel. Ini karena Cleerens memberi jaminan bahwa jika perundingan dengan Jenderal De Kock gagal, Pangeran Diponegoro bisa bebas kembali ke Bagelen Barat. Jaminan yang sebenarnya tak berhak diberi oleh Cleerens, sekaligus memang bakal diingkari.
Jadi Naga Siluman yang dilihat Sentot kemungkinan adalah hadiah persahabatan tanda iktikad baik, bukan tanda takluk.
Kalau Cleerens kemudian dikisahkan menghadiahkannya kepada Raja Willem I dengan menyebutnya sebagai tanda takluk, ini murni cuma untuk kepentingan karier sang kolonel agar dianggap berjasa semata.
Maka bisa dibilang, momen inilah yang jadi pengkhianatan kedua Cleerens kepada Pangeran Diponegoro. Pertama, mengingkari jaminan untuk kembali ke Bagelen Barat jika perundingan dengan De Kock gagal. Kedua, keris tanda persahabatan malah disebutnya sebagai tanda takluk.
Catatan berikutnya yang dianggap memperkuat keberadaan Naga Siluman di Belanda adalah penugasan Raden Saleh untuk memverifikasi sebilah keris di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden.
Raden Saleh melaporkan keris itu kepada Direktur KKVZ, SRP Van de Kasteele, pada 17 Januari 1831.
Seperti dikutip dalam buku Raden Saleh dan Karyanya karya Werner Kraus, Raden Saleh mengatakan kata “kiai” merupakan gelar kehormatan kepada “tuan”. Sedangkan kata “nogo” atau “naga” adalah simbol orang Jawa bagi seorang pemimpin. Sedangkan “siluman” adalah orang yang punya kemampuan tinggi dan bisa menghilang.
“Karena itu, nama keris Kiai Naga Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah,” sebut Raden Saleh. Sang maestro juga sempat menyebut bahwa keris ini ber-gandhik naga dan ber-luk 13.
Persentuhan pelukis masyhur ini dengan Naga Siluman dikisahkan sangat impresif, bahkan diduga menginspirasinya untuk melukis ‘De Gevangenname van Prins Diponegoro‘ (Penangkapan Pangeran Diponegoro) yang termasyhur pada 1857. Sebuah lukisan yang menandingi perspektif “penyerahan diri” ala Nicholaas Pieneman.
Nah, lantas dari mana keraguan dan pertanyaan mengenai keris yang pulang ini bermula?
PERTAMA; keris yang diserahkan secara resmi oleh Raja Belanda Willem Alexander kepada Presiden Joko Widodo di Istana Bogor justru ber-dhapur Naga Sasra (Naga bersisik seribu) dengan tinatah emas lung Kamarogan.
Ini jelas berbeda dengan dhapur Naga Siluman yang pakemnya ber-gandhik kepala naga tanpa badan. Lagipula luk-nya bukan 13, melainkan hanya 11. Pertanyaannya, apa Raden Saleh yang salah hitung? Rasanya tidak mungkin.
Kalau demikian, apakah mungkin keris ber-dhapur Naga Sasra diberi gelar ‘Naga Siluman’?
Kurator museum keris Surakarta, Ronggojati Sugiyatno menyatakan tidak mungkin seorang seperti Diponegoro memberi gelar Naga Siluman untuk keris yang jelas-jelas Naga Sasra Kamarogan.
Pernyataan ini didukung oleh pakar perkerisan Toni Junus, penulis buku Tafsir Keris. Meski ada beberapa nama keris pusaka Keraton yang tak sesuai nama dhapur-nya seperti Kiai Carubuk atau Kiai Bethok, tapi penyebutan “Naga Siluman” untuk “Naga Sasra” terlalu dipaksakan.
Lebih jauh, Toni Junus punya hipotesis bahwa keris yang “pulang” ini adalah KK Wresa/Resa Gumilar, atau menurut beliau yang lebih tepat Resa Gumilang.
Belanda merampas keris Kiai Resa Gumilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo.
Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat, “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro.”
KEDUA; terjadi blunder penjelasan dari Sejarawan Prof. Sri Margana sebagai tenaga ahli yang ditunjuk untuk memverifikasi keris ini.
Prof. Sri Margana ketika ditanya dari mana kesimpulan bahwa keris ini adalah Naga Siluman; beliau justru merujuk sebuah ukiran tinatah emas berbentuk hewan berkaki empat yang sedang mengaum dan terdapat di wuwung ganja sebelah belakang pesi. Menurut beliau, itulah Naga Siluman Jawa berkaki empat.
Di kalangan perkerisan, sangat mafhum bahwa ukiran tersebut melambangkan Singa Mitologis yang konon diadaptasi dari Kilin dalam budaya Tionghoa. Di masa Sultan Agung, tatahan singa ini biasanya berpasangan dengan Gajah di wuwungan ganja depan pesi.
Menurut pakar padhuwungan GPH Hadiwijoyo sebagaimana dikutip maestro perkerisan Haryono Haryo Guritno dalam buku Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar, ukiran ini bisa dibaca sebagai sengkalan memet, penanda tahun dengan kalimat “Gajah Singa Keris Tunggal”.
Gajah merujuk angka 8, Singa 5, Keris 5, dan Tunggal 1. Dibaca dari belakang menjadi Tahun Jawa 1558 atau 1636 Masehi.
Konon tatahan Gajah-Singa ini dihadiahkan Sultan Agung kepada para panglimanya yang berjasa memadamkan pemberontakan Adipati Pragola II dari Pati dengan simbol “Gajah Nggiwar Singa Nggero” alias Gajah menghindar ketakutan karena Singa mengaum mengerikan. Singa adalah lambang Mataram sementara Gajah merupakan lambang Kadipaten Pati.
Adakah tatahan Gajah di keris yang pulang ini? Tak lagi ada. Tapi wuwungan ganja depan pesi tatahan emasnya tampak telah terkelupas, menjadikan Toni Junus sangat yakin keris ini memang Naga Sasra bertinatah Gajah Singa yang diperkirakan dibuat di era Sultan Agung (1613-1645).
Lebih jauh lagi, tim sempat menyebut “luka-luka” geripis pada bilah keris adalah akibat keris ini dipakai bertempur oleh Pangeran Diponegoro.
Aduh, duh, yang ini semakin aneh. Hanya puisi Chairil Anwar yang menyebut Pangeran Diponegoro bersenjata “pedang di kanan keris di kiri, berselubung semangat yang tak bisa mati.”
Keris yang dibawa sang pangeran sebagaimana pemahaman masyarakat Jawa ketika itu lebih sebagai simbol filosofis dan tidak fungsional. Sulit membayangkan ada yang “tega” menggunakan keris bertinatah emas sedemikian itu untuk bergelut, tikam menikam, dan tangkis menangkis. Korosi itu justru lebih mungkin karena akibat pewarangan dan ada dugaan pernah terpendam.
Kredibilitas tim kian menjadi tanda tanya dengan pernyataan tersebut. Betul, basis Prof. Sri Margana adalah ilmuwan sejarah. Barangkali beliau juga telah melaksanakan tugasnya dengan baik yakni dengan meneliti dokumen dan arsip yang diduga terkait keris ini.
Akan tetapi, kelemahan sejak semula barangkali adalah kurang dilibatkannya pakar keris dalam tim. Kalaupun ada yang diminta ikut berangkat ataupun mendampingi, sepertinya memang belum memiliki kapasitas memadai untuk memberi masukan kepada kesimpulan akhir.
Seharusnya memang ini penelitian gabungan antara ahli telisik dokumen dengan ahli telisik artefak. Tidak separuh-separuh yang hasil finalnya meruntuhkan kredibilitas tim secara keseluruhan.
Bukti lain dari ketidakfahaman tim adalah peletakan kerisnya dalam acara di Istana Bogor yang dipasang dengan warangka dibalik hingga komposisinya menjadi “simpingan kiwa”; satu istilah paralel dengan dunia wayang yang filosofinya justru sisi antagonistik.
Pertanyaan lain yang mungkin remeh namun juga belum terjawab adalah mengapa warangkanya Ladrang Kagok Capu yang biasa dijumpai di Surakarta dengan pendhok emas blewahan, sementara handle-nya bergaya Yogyakarta.
Pertanyaannya, apakah dulu warangka ini lazim dipakai seorang Pangeran Yogyakarta?
Lebih jauh lagi, warangka Ladrang atau Branggah umumnya dipakai dalam acara resmi, tidak cocok dibawa sehari-hari terlebih dalam perang. Angkup dan godongan-nya sangat rawan patah.
Dalam berbagai lukisan, termasuk sketsa litograf sahih yang dibuat oleh A.J. Bik ketika Pangeran Diponegoro ditahan di Stadhuis Batavia, jelas tampak beliau mengenakan keris berwarangka gayaman yang sederhana dan lebih kokoh.
Sebagai penanggung jawab, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tertuntut menyelenggarakan Seminar dan Uji Publik mengenai keris tersebut dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, akademisi, peneliti, komunitas seperti Sekretariat Nasional Keris Indonesia (SNKI) dan Senapati Nusantara (SN), juga tokoh dan pegiat keris.
Anak cucu kita berhak mendapatkan informasi yang akurat terkait sejarah bangsanya, terlebih untuk tokoh sebesar Pangeran Diponegoro. Memang betul, kesalahan itu sangat manusiawi. Bisa terjadi. Namun enggan memperbaiki kesalahan, itu lah yang bisa jadi cacat akademik yang mengerikan. Mari kembali ke objektivitas, sebab kebenaran tak serta merta terjamin oleh gelar akademik sekelas profesor dan guru besar.
Ini juga akan menjadi penguatan pemahaman tentang keris bagi khalayak; bahwa ia adalah benda yang akrab dengan para pahlawan kita. Ia bukan simplistis benda musyrik. Ia warisan budaya tak benda kelas dunia yang telah diakui oleh UNESCO, yang mengembankan amanat bagi kita untuk terus melestarikan dan mengembangkannya.
Tabik hormat. Salam cinta sejarah. Salam pelestarian budaya.
BACA JUGA Kiat Sukses Bikin Kerajaan Layaknya Keraton Agung Sejagat atau tulisan ESAI lainnya.