Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Menjawab Fitnah, Menerima Sunody Abdurrahman

Rusdi Mathari oleh Rusdi Mathari
18 Juli 2015
A A
Menjawab Fitnah, Menerima Sunody Abdurrahman

Menjawab Fitnah, Menerima Sunody Abdurrahman

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Lebaran hari kedua, rumah Mat Piti ramai didatangi orang. Mereka bukan hanya hendak berlebaran dan bermaaf-maafan, tapi juga meminta kejelasan soal yang mereka sebut sebagai “isu nasional” di kampung: benarkah Romlah dan Cak Dlahom akan dinikahkan, dan kenapa Cak Dlahom menginap di rumah Mat Piti?

Romlah memang kembang kampung. Kecantikan dan kesalehannya tak ada yang menandingi. Perempuan itu juga nyaris tak pernah dekat dengan laki-laki. Beberapa orang termasuk Pak Lurah pernah mencoba melamarnya, tapi Romlah menolak. Ketika masih jadi imam masjid, Dullah pun pernah menggunakan pengaruhnua untuk melamar Romlah. Tapi Romlah tak menerima lamarannya. Beberapa lamaran lain juga ditampik Romlah.

Sebagai orang tua, Mat Piti tentu harus menelan rasa rak enak hati pada orang-orang yang melamar. Romlah memang anak gadisnya, anak semata wayang yang sangat disayangnya, tapi dia tak bisa memaksa Romlah untuk menerima atau menolak laki-laki yang akan jadi imam dan pendamping hidupnya.

Risikonya: Romlah dan kesendiriannya jadi perbincangan orang-orang kampung. Apalagi usia Romlah sudah tak muda, sudah menginjak 29 tahun. Dia dianggap perawan tua. Dituding sebagai gadis yang terlalu pemilih. Perempuan yang tak tahu diuntung.

Mat Piti sudah lama mendengar desas-desus semacam itu tapi dia tak bisa berbuat banyak. Adapun Romlah hanya sering menangis. Tak ada yang tahu dia sering menangis. Dia mengadukan seluruh kepedihan hidupnya hanya kepada Zat Pemelihara, hampir setiap malam, di setiap ujung malam.

Problemnya: di bulan Puasa yang sudah lewat, Mat Piti telanjur mengumumkan Romlah akan menikah di bulan Syawal. Dan kabar itu yang menjadi gosip orang-orang diseluruh kampung. Mereka menebak-nebak calon suami Romlah. Dan Cak Dlahom adalah orang yang paling sering disebut sebagai laki-laki yang akan menjadi suami Romlah.

Urusan pribadi orang lain, oleh orang-orang kampung, rupanya telah diubah seolah-olah adalah urusan banyak orang, urusan mereka. Padahal entah apa kepentingan mereka dengan pernikahan Romlah dengan siapa pun yang akan jadi suaminya.

Maka di hari kedua Lebaran, berdatanganlah orang-orang ke rumah Mat Piti. Gelombang pertama tamu yang datang adalah Pak RT bersama Dullah. Lalu Pak Lurah, disusul rombongan ibu-ibu pengajian, dan warga lainnya.

Mereka datang sejak pagi. Sebagian dari mereka lalu duduk-duduk di teras rumah yang sejak Lebaran pertama sudah digelar tikar dan karpet. Sebagian hanya berdiri di halaman rumah, memperhatikan Kliwon dan Legi, dua burung perkutut milik Mat Piti.

Mat Piti tak segera menemui mereka. Begitu juga Romlah. Bapak dan anak itu hanya duduk-duduk di lincak di dapur bersama Cak Dlahom. Kemarin, Mat Piti tak mengizinkan Cak Dlahom pulang ke gubuknya di dekat kandang kambing milik Pak Lurah, dan meminta tinggal di rumahnya. Hanya sementara untuk masa Lebaran, dan Cak Dlahom entah kenapa bersedia.

Baru setelah menghabiskan kopi dan kretek, Mat Piti lalu mengajak Cak Dlahom menemui kerumunan orang-orang di depan rumahnya.

“Assamualaikum… Pak Mat, Cak Dlahom.”

Pak Lurah mengucapkan salam ketika melihat Mat Piti yang diikuti Cak Dlahom menemui mereka. Mat Piti membalas salam itu sambil tersenyum. Cak Dlahom tak tersenyum.

“Begini, Pak Mat, kami minta maaf telah lancang datang ke mari. Sampeyan tentu mengerti, orang-orang ini tak bisa dicegah.”

Iklan

Pak RT mengawali pembicaraan ketika Mat Piti dan Cak Dlahom sudah duduk di tikar. Mat Piti tetap tersenyum.

“Demi ketenteraman, Pak Mat. Biar ndak ada fitnah,” Dullah menyahut.

Mat Piti tetap tersenyum, masih belum menjawab. Sejauh ini dia memang sudah mendengar banyak fitnah tentang anaknya dan Cak Dlahom. Entah siapa yang menyebarkan, fitnah itu kemudian menyebar di seluruh kampung. Menjadi gosip.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, terima kasih atas niat baik sampeyan semua. Tapi biar Cak Dlahom yang menggantikan saya untuk menjawab. Silakan, Cak Dlahom.” Suara Mat Piti terdengar tenang. Dia menatap hampir satu per satu orang-orang yang datang.

“Apa katamu, Dul? Biar ndak ada fitnah?”

“Iya, Cak. Apalagi sampeyan menginap di sini, padahal sampeyan bukan muhrim. Sebelumnya sampeyan juga sering berdua-duaan dengan Romlah.”

“Apa yang kamu dengar, Dul?”

“Ya sampeyan sering berdua-duan sama Romlah. Itu kan ndak boleh, Cak. Sampeyan tahu itu.”

“Dul, kamu dan orang-orang di sini hanya bersangka-sangka.”

“Kami tidak bersangka-sangka, Cak. Beberapa dari kami melihat sendiri sampeyan dan Romlah sering berduan di tengah malam. Itu bukan fitnah loh.”

“Terus kalian semua menganggap aku dan Romlah melakukan hal-hal yang buruk?”

“Ya gimana ya, Cak… Bukan muhrim berdua-duan, apalagi yang dilakukan?”

Cak Dlahom tak menjawab tudingan Dullah. Dia hanya menatap tajam Dullah yang segera tertunduk. Sorot mata Cak Dlahom rupanya telah menguliti Dullah.

Semua yang hadir di rumah Mat Piti terdiam. Mereka sebetulnya juga tak yakin dengan gosip yang beredar, tapi arus umum menyebabkan mereka ikut-ikutan. Mat Piti memperhatikan Cak Dlahom yang mulai menyalakan kreteknya. Romlah akhirnya keluar. Duduk di sebelah Mat Piti.

Usai mengisap kreteknya dalam-dalam, Cak Dlahom mulai menjelaskan duduk perkara yang sebenaranya. Dia menceritakan bahwa Romlah adalah anak kandungnya. Dia menitipkan Romlah pada Mat Piti dan membiarkan Mat Piti mengangkatnya sebagai anak, karena ibu Romlah meninggal saat melahirkan Romlah.

“Saat itu aku berat, Dul, tapi aku melihat Mat Piti dan almarhumah istrinya tak punya anak. Mereka bersungguh-sungguh menginginkan Romlah, dan aku tak kuasa menolak permintaan orang sebaik Mat Piti.”

Orang-orang semakin terdiam mendengarkan cerita Cak Dlahom. Romlah sudah sesenggukan di bahu Mat Piti. Pagi itu dia baru tahu, Cak Dlahom adalah bapak kandungnya.

“Tapi kenapa sampeyan sering berdua-duaan dengan Romlah?”

“Karena aku kangen pada anakku yang bertahu-tahun tak pernah aku sentuh, Dul. Tak pernah aku sayang-sayang.”

Tangis Romlah semakin pecah. Pak Lurah dan Pak RT manggut-manggut. Kliwon dan Legi bersahut-sahutan.

“Ya Allah, Cak, maafkan kami. Kami telah menfitnah sampeyan, Romlah dan Pak Mat.”

“Iya, Cak, saya juga minta maaf.”

“Sepurane, Cak.”

“Apa yang harus kami lakukan, Cak, untuk menebus kesalahan dan fitnah yang telanjur kami sebarkan.”

Suara Dullah paling kencang. Cak Dlahom melemparkan bantal yang kebetulan ada di sampingnya kepada Dullah, lalu meminta Dullah mengeluarkan semua kapuk yang ada di dalamnya. Dullah melakukannya.

Berhamburan seluruh kapuk dari bantal. Orang-orang menutup hidung, karena kuatir menghirup ampas kapuk. Dullah melakukannya dengan lekas, tapi setelah seluruh isi kapuk dikeluarkan dari bantal, Cak Dlahom memintanya memasukkan kembali, tanpa sisa.

“Waduh, Cak, ya ndak bisa, Cak. Saya ndak mampu.”

“Kenapa tak mampu, Dul?”

“Karena banyak kapuk yang sudah beterbangan, Cak, dan saya ndak bisa menjangkaunya.”

“Begitulah fitnah bekerja, Dul. Ia beterbangan ke mana-mana, dan tak akan ada yang bisa mengembalikan sesuatu yang sudah beterbangan itu seperti sediakala. Ia akan hinggap di mana saja, dan kamu tak akan sanggup menjangkau daya rusaknya.”

“Maafkan saya, Cak…”

“Aku sudah memaafkanmu, Dul, jauh sebelum mulutmu mengucapkan permintaan maaf. Beruntung kamu karena aku mau menjelaskan duduk persoalannya. Bayangkanlah orang-orang yang telah menjadi korban fitnah tapi mereka tak punya kesempatan dan kekuatan untuk menjelaskannya, maka fitnah terhadap mereka akan terus berkembang. Merusak pikiran kalian dan akan terus membunuh orang yang kalian fitnah.”

“Ampuni saya…”

“Sebaiknya sekarang engkau diam, Dul, karena hal itu akan lebih baik untukmu.”

Suasana semakin hening. Romlah yang terus menangis mendekar ke Cak Dlahom. Dia memeluk laki-laki yang selama ini selalu dicap sebagai orang sinting, dan mencium tangannya. Suaranya memecah keheningan suasana pagi itu.

“Bapak… maafkan Romlah.”

“Aku yang minta maaf padamu, Nduk. Aku orang tua yang tak berdaya…”

“Bapak…”

Orang-orang mulai ikut terisak. Mereka telah salah menilai Romlah dan Cak Dlahom. Suasana berubah haru.

Mat Piti yang sejak tadi hanya tertunduk mulai berdiri. Romlah mengikutinya. Dari dalam rumah mereka menyuguhkan aneka penganan.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, seludur semua, sambil menunggu Romlah menyiapkan teh hangat, silakan menikmati penganan apa adanya.”

“Tapi Romlah benar akan menikah, Pak Mat?”

Seseorang berusaha mencairkan suasana.

“Iya, betul. Bulan Syawal ini, Romlah, anak saya, anak Cak Dlahom, akan menikah.”

“Wah siapa laki-laki beruntung itu, Pak Mat?”

“Namanya Nody. Sunody Abdurrahman anak kiai kampung. Orang Rambipuji, tetangga desa kita. Sama dengan Romlah, dia perjaka yang belum pernah bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim”

“Subhanallah. Alhamdulillah…”

Lebaran hari kedua, di rumah Mat Piti, menjadi suka cita. Orang-orang yang hadir, sekali lagi saling bermaaf-maafan. Cak Dlahom duduk bersandar ke tembok. Matanya menerawang. Dia mungkin sedang membayangkan Nody, calon mantunya.

 

(Diinspirasi dari kirah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathany)

Terakhir diperbarui pada 23 Oktober 2018 oleh

Tags: #MerconCak DlahomFitnahLebaranMaafMat Piti
Rusdi Mathari

Rusdi Mathari

Artikel Terkait

THR ludes, libur lebaran selesai, sementara gajian masih lama. Kembali ke perantauan dengan penuh keprihatinan MOJOK.CO
Ragam

THR Ludes sementara Gajian Masih Lama, Kembali ke Perantauan dengan Nelangsa dan Hidup dalam Keprihatinan

6 April 2025
Lebaran 2025 Lebaran Paling Aneh 10 Tahun Terakhir MOJOK.CO
Esai

Mudik Lebaran 2025 Terasa Aneh dan Berbeda: Penumpang Bus Sepi Hingga Pedagang Asongan Menghilang

4 April 2025
Menjadi tolol saat ada saudara pamer pencapaian di reuni keluarga ternyata menyenangkan MOJOK.CO
Catatan

Reuni Keluarga Jadi Ajang Saudara Pamer Pencapaian, Pura-pura Tolol sambil Menyimaknya Ternyata Menyenangkan

4 April 2025
Perjalanan menyiksa rute Tuban-Jombang naik bus Bagong hingga Widji MOJOK.CO
Catatan

Perjalanan Menyiksa Rute Tuban-Jombang, Berdesakan dan Berpanasan Melibas Sisi Lain Jalanan Jawa Timur

3 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.