Dalam buku Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?, Asvi Warman Adam menyebut istilah “watershed“ sebagai penanda batas perubahan total di bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya secara serempak.
Ada banyak watershed dalam kesejarahan kita. 1830 menandai dimulainya zaman baru: ketika Pangeran Diponegoro ditangkap, pipa-pipa kolonialisme semakin rakus menyedot kekayaan Nusantara, para sultan di sekujur Jawa takluk, kurikulum pendidikan Barat menjejali alam pikiran para menak berikut gaya hidup dan fesyennya.
Seabad lebih lima belas tahun kemudian, 1945, watershed corak baru dimulai. Gegap gempita kemerdekaan disambut bahagia. Sebuah era baru merekah mengiringi pertumbuhan sebuah bangsa, mendampingi laju raksasa yang tertatih-tatih.
Lalu tiba tahun 1965. Orde Lama beserta perangkat budayanya dikubur. Istilah khas era Bung Karno: revolusi, reaksioner, manipol usdek, nekolim, pengganyangan, dan sebagainya, dihilangkan dari ingatan dan percakapan rakyat.
Setelah tahun ini, perubahan terjadi secara drastis dan serentak. Orde Baru mengkooptasi semuanya, termasuk istilah baru: Kopkamtib, pembangunan, pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan, subversif, eks (untuk menyebut mereka yang terindikasi PKI), petrus, lepas landas, iptek-imtaq, dll. Bahkan, begitu lamanya Orba mengkooptasi pikiran rakyat, hingga susunan kalimat sebuah perhelatan/peringatan hari besar pun seragam, misalnya: “Dengan memperingati … mari kita tingkatkan ….”
1998 pun tiba. Banyak orang menilai ini zaman baru, era perubahan. Tapi ternyata tidak. Ia hanya fase jeda. Orang-orang Orba hanya ganti baju, ganti strategi, dan pindah jalur. Karakternya tetap.
Bagi saya, watershed paling jelas setelah 1965 itu bukan 1998, melainkan 2014. Mengapa? Ini fase pilpres paling brutal, merugikan, dan menjijikkan.
Gara-gara bela pantat Jokowi maupun Prabowo, seorang santri berubah perangainya karena berbeda pilihan dengan gurunya. Di fesbuk, saya menyaksikan seorang santri yang fanatik Prabowo menyebut kiai pendukung Jokowi sebagai “kiai pelacur”. Tak mau kalah, para pendukung Jokowi menilai para kiai yang memberikan restu kepada Prabowo sebagai “kiai katrok”. Di fesbuk pula saya menyaksikan seorang profesor eyel-eyelan dengan argumentasi murahan melawan bocah tengil. Di tikungan lain, keakraban bertetangga mulai renggang akibat pilihan politik ini.
Hubungan kekerabatan tak seakrab sebelum 2014. Ada juga pasutri yang bercerai gara-gara pilihan.
Setelah Jokowi dan Prabowo rebutan kursi, bangsa ini terbelah. Pemilihannya hanya sehari, tapi permusuhan dan kebenciannya sepanjang waktu.
2014 adalah watershed baru yang memunculkan istilah-istilah khas: Jokodok, Jokowers, Prabowers, Kecebong, Haters, Kaum Bumi Datar, Ontalektual, Sumbu Pendek, Liberal, Antek China, dan istilah lain yang entah dikulak dari mana.
Watershed 2014 ini saya anggap sebagai penanda ke(tidak)warasan seseorang. Para ustadz maupun akademisi, yang enak diikuti status dan uraiannya di media sosial sebelum 2014, tiba-tiba berubah menjadi corong hoax, pengecer kebencian, dan menjadi pakar segala hal: apa pun dikomentari.
Dan, lingkaran setan itu mulai berwujud lagi meski pilpres masih dua tahun lagi. Mesin politik sudah mulai dipanasi. Suasana yang mulai adem pasca pilkada DKI, kini mulai dikipasi.
Saya menduga, akhir tahun ini fesbuk akan membusuk lagi. Apalagi ada Pilkada serentak di Jawa barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebagaimana 2014, ujaran kebencian, fitnah, kabar bohong dan kabar konyol bakal lebih istikamah menyapa kita di linimasa fesbuk dan media sosial lain. Riuh gemuruh. Warga Indonesia akan terbelah lagi.
Apa yang harus saya lakukan? Sebagai golput 24 karat, saya memilih menghindari debat politik. Membaca, kemudian abaikan. Selesai. Kalau diteruskan, itu akan membuang waktu produktif saya.
Energi debat selama dua jam itu sama besarnya dengan tenaga yang kita keluarkan untuk memandikan domba kurban sekaligus membersihkan tahinya.
Lagi pula, sehebat-hebatnya saya eyel-eyelan membela kebijakan Jokowi, si Gibran Abu Ethes juga nggak bakal ngasih saya sekontainer markobar. Atau, kalau saya khusyuk mengkritisi pemerintah, pimpinan parpol oposan nggak bakal mengantar saya ketemu Gal Gadot, kok. Jadi, ya sudahlah, itu urusan mereka. Wong mereka itu kegemarannya ya padu, cari musuh. Untuk apa ikut-ikutan?
Jadi, sebelum linimasa fesbuk kembali membusuk beberapa bulan mendatang, lebih baik kita bersiap sedia sejak sekarang, sedia mental dan kuota. Mental cuek, mental mengabaikan, mental menahan diri, dan kuota internet untuk menonton video-video lucu. Sebab kelak banyak orang yang bakal kehilangan selera humor.