MOJOK.CO – Ada sebuah ruang gelap yang belum terang dari live streaming TikTok. Apalagi konten mandi lumpur yang kini jadi fenomena.
Konten live streaming TikTok dengan tema mandi lumpur memancing perdebatan keras. Iya, Ini fenomena baru yang memecah opini banyak pihak. Namun, meski diprotes, konten seperti ini tumbuh dengan subur. Saya bahkan yakin, minimal satu kali, kamu pernah menghabiskan beberapa menit untuk menonton aksi mengemis online ini.
Di satu sisi, konten live streaming TikTok mandi lumpur ini dianggap sebagai sebuah komodifikasi kemiskinan. Jenis konten seperti ini memang sering digunakan beberapa pihak untuk melakukan aktivitas transaksional yang ironisnya, jadi sebuah kebiasaan yang nagih atau candu.
Sesederhana ada orang yang rela kedinginan di malam hari untuk mandi lumpur sambil live. Setelah itu ada segelintir orang yang kebetulan punya uang lebih kemudian me-nyawer-nya dalam bentuk gift. Lalu ada pihak ketiga, yakni kita-kita penonton biasa, yang menyaksikan orang lain menderita di proses itu.
Sebuah pasar yang menggiurkan
Nah, masalahnya, di sisi lain, jangan salah, secara bisnis, live streaming adalah pasar yang menggiurkan. Setidaknya di dua tahun terakhir, TikTok merasakan benar manfaat besar dari live streaming seperti mandi lumpur.
Pada periode 2020 hingga 2022, TikTok merasakan sekali pertumbuhan bisnis yang cukup signifikan dari dua lini. Dari sisi iklan, aplikasi milik ByteDance ini tumbuh sebanyak 500%. Sementara itu, dari bisnis live streaming, growth ini menembus angka 900%!
Memang, konon revenue dari live streaming belum melewati angka yang didapat dari iklan. Namun, pertumbuhan yang signifikan itu menjadi modal bahwa potensi besar ada di sana dan TikTok tahu itu.
Itulah kenapa kemudian penjual di TikTok Shop, lini bisnis e-commerce milik TikTok, kemudian secara masif juga diarahkan untuk secara spartan melakukan jualan produknya di live streaming. Dan ya, pertumbuhan begitu masif.
Perdebatan yang muncul
Hal ini sangat berpotensi mendatangkan peluang baru untuk menghasilkan uang buat penggunanya. Konteks itu yang kemudian dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan mandi lumpur di live streaming TikTok.
Apakah itu salah? Dari sisi konten, sejatinya, nggak ada yang salah. Itu bukan SARA, atau berbau seksual, bukan pula kekerasan yang mengganggu. Hitam dan putih begitu sulit diterapkan ketika kita melihat konten live streaming TikTok mandi lumpur. Tapi yang mungkin jadi concern banyak orang adalah konten tersebut tidak ada manfaatnya dan rentan sekali berujung pada eksploitasi.
Contohnya tak hanya ada di Indonesia, kok. Medio Oktober 2022, media Inggris, BBC, menurunkan berita cukup menarik bahwa sekelompok pengungsi di Suriah memanfaatkan fitur live streaming TikTok untuk menggalang dana dengan cara mengemis.
Investigasi BBC saat itu menemukan, live streaming penggalangan dana itu menghasilkan total $1000 atau sekitar Rp15 juta hanya dalam satu jam live. Dan konten sejenis ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum, sembari menunggangi para pengungsi Suriah, dengan membuat sebuah agensi untuk mengkoordinir aktivitas ini. Agensi ini kemudian memodali para pengungsi ini dengan gawai dan SIM card, untuk kemudian melakukan live streaming TikTok dan mengumpulkan dana dari sana.
Kenapa live streaming TikTok dan apa istimewanya fitur ini?
Well, kalau kamu belum tahu, kamu mungkin akan terkaget-kaget setelah tahu. Pertama, fitur ini memang memungkinkan kamu untuk melakukan live streaming TikTok. Tapi, tidak semua akun yang berstatus baru bisa langsung live streaming. TikTok punya aturan bahwa kamu harus punya minimal 1000 pengikut. Setelah itu, kamu sudah berusia lebih dari 16 tahun, dan sudah mengunduh TikTok ke versi paling baru.
Kedua, live streaming, dengan porsi yang tepat, sejatinya digunakan banyak penjual di TikTok Shop untuk menjajakan dagangannya. Mulai dari makanan, pakaian, hingga mainan. Idealnya ya begini. Karena dari live streaming itu, penjual akan mencantumkan etalase produk yang mereka jajakan, dan penonton atau calon pembeli bisa langsung memproses check out dari sana.
Ketiga, dan ini yang kemudian menimbulkan polemik karena di live streaming TikTok, ada sistem yang memungkinkan penonton memberikan kado virtual atau acap disebut gift dan kelak itu yang bersumber menjadi masalah. TikTok sendiri cukup tertutup terkait berapa persen yang mereka tarik sebagai “pajak” dari hasil gift itu tadi.
Revenue besar dari gift
Gift ini, meski di-purchase secara virtual, namun sejatinya punya nilai sama seperti uang tunai sebab bisa dicairkan sebagai real money. Dari perspektif penonton, gift yang lucu berbentuk bunga, gambar singa, hingga pesawat terbang memang terkesan gemas sekali. Namun, semakin menarik gift yang diberikan, makin besar pula nilai uang di gift tersebut.
Dengan asumsi dari BBC bahwa TikTok mendapatkan sekitar 60 hingga 70% dari setiap total gift yang didapat live streamer dari satu kali live streaming, agaknya benar belaka pendapat bahwa bisnis live streaming TikTok jadi salah satu ujung tombak perusahaan teknologi asal Cina itu untuk meningkatkan revenue secara optimal.
Kalau mandi lumpur gimana?
Lalu, apakah konten mandi lumpur orang Indonesia punya pola kasus yang sama dengan konteks pengungsi Suriah? Itu, sih, bukan kewenangan saya buat menjawab ya.
Kalau ada media yang mau melakukan liputan mendalam tentang hal itu, agaknya akan sangat menarik sekali untuk tahu hasilnya. Tapi, satu yang pasti, arah menuju eksploitasi kemiskinan memang nampak di sana dan pemerintah mulai “ngeh” sama hal ini. Begitulah, live streaming TikTok jadi ruang gelap yang perlu kita bikin terang bersama-sama.
BACA JUGA Live TikTok Tampilkan Adegan Orang Tua Diguyur Bukan Hiburan melainkan Penyiksaan dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno