Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Menghidupkan Komisi Pengaduan Penghinaan Presiden

Tri Agus S Siswowiharjo oleh Tri Agus S Siswowiharjo
9 Februari 2018
A A
Nikah-dan-Traveling-MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Daripada menghidupkan pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP, lebih baik mendirikan Komisi Pengaduan Penghinaan Presiden.”

Sambil menikmati kopi sore di sebuah kafe di kawasan Kotabaru Yogyakarta, saya berniat menulis surat untuk Presiden Joko Widodo. Surat itu terkait pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang digodok di DPR. Tentu kita tahu, ada rencana menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang penghinaan kepada presiden yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Ide menulis surat ini sebenarnya datang dari status Facebook Wilson. Aktivis PRD itu menulis pengalaman betapa ia merasa terhina mendapat surat panggilan dari polisi bahwa dirinya melanggar pasal 134 KUHP.

“Pasal 134? Masak saya cuma dianggap menghina presiden. Ada yang lebih berat lagi ga?” Kira-kira itu jawaban Wilson kepada polisi. Dan kita tahu kemudian, Wilson dan kawan-kawan diciduk tentara dan dijebloskan ke penjara dengan pasal UU Subversi.

Pengalaman saya berbeda. Saya tak sempat bernegosiasi dengan polisi yang menangkap saya dengan pasal sama di Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada 1995. Saat itu, sudah menjadi kebiasaan para aktivis jika mau masuk markas PIJAR (Pilar Kesejahteraan Rakyat) Indonesia, yang ada tulisan “Ragu-ragu pulang saja,” sering mengatakan, “Selamat malam, saya dari kepolisian (atau kodam)… akan membawakan sebuah lagu…,” dan gaya bercanda yang lain. Nah, saat polisi sungguhan datang, saya pun menganggap, “Ah, ini paling kawan-kawan yang datang….”

Saat membaca pleidoi pada September 1995 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saya mengatakan, “Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa saya bukanlah orang terakhir yang mengalami pemenjaraan Orde Baru seperti sekarang ini. Masih akan ada lagi calon-calon penghina Soeharto. Hal itu akan terjadi karena memang pada dasarnya Soeharto patut dihina. Untuk itu saya berpesan agar Anda latihan dulu. Anda boleh menghina Soeharto sepuas-puasnya dengan meneriakkan yel-yel, ‘Ganti Soeharto!’ , ‘Soeharto goblok!’, dll., tanpa kena jerat Pasal 134 KUHP. Bagaimana caranya? Tontonlah sepak bola antara Medan Jaya melawan mana pun, di mana salah seorang pemainnya bernama Soeharto. Anda akan beruntung, membeli satu tiket bisa menonton bola, karate, bahkan bisa menghina Soeharto sepuas-puasnya.”

Saya tak mengerti mengapa pemerintah menyetujui menghidupkan pasal karet yang telah dimatikan MK. Pasal ini pada era Soeharto menelan banyak korban. Mereka yang kritis terhadap pemerintah dituduh menghina presiden, antara lain Sri Bintang Pamungkas, Nuku Soleiman, Yeni Rosa Damayanti, dan banyak lainnya. Saya tentu khawatir korban pertama bila pasal ini kembali diberlakukan adalah pers. Pasal penghinaan kepala negara ini lentur dan bisa ditafsirkan sesuai keinginan penguasa. Bila ada narasumber atau media kritis, dengan mudah penguasa akan membungkam. Ini tentu kemunduran bagi demokrasi.

Presiden Jokowi pernah mengatakan, “Sejak saya wali kota lalu gubernur, setiap hari saya dihina. Kalau saya tuntut, penjara pasti penuh.” Kita semua tahu, sejak Jokowi memimpin negeri ini sudah banyak kasus penghinaan datang kepada dirinya. Dari Obor Rakyat sampai Saracen. Ada yang dimaafkan, ada yang sampai meja hijau. Sejauh ini tak ada masalah bagi pribadi Jokowi. Bahkan anak-anak Jokowi menyatakan biasa saja saat ayahnya atau ibunya dihina oleh sebagian masyarakat terutama lewat media sosial.

Anak bungsu Jokowi, Kaesang, bahkan menjadikan kartu kuning yang dipopulerkan Ketua BEM UI saat Jokowi berkunjung ke kampus itu menjadi bagian dari promosi usahanya. Kaesang sengaja membuat meme seolah-olah dirinya wasit yang memberi kartu kuning kepada Gibran, kakaknya. Tetapi, kartu kuning itu peringatan agar Gibran madhang atau istirahat makan. Madhang adalah usaha rintisan Kaesang di bidang kuliner yang berbasis aplikasi di smartphone.

Kini wacana yang berkembang adalah membedakan antara menghina dan mengkritik. Menghina itu biasanya tertuju kepada personal dan tanpa dasar. Sementara mengkritik itu terkait kinerja seseorang dan umumnya dilandasi data. Bagaimana mengategori dua hal itu di tengah kebebasan berpendapat dan pers saat ini, tanpa kita kembali ke era otoriter sebelum 1998? Bisakah pasal-pasal dalam KUHP nanti secara rinci membedakan mana menghina dan mana mengkritik? Sehingga KUHP baru nanti tak ada pasal karet yang bisa menjerat apa saja dan kepada siapa saja. Sampai di sini saya tetap khawatir, pasal itu tetap menjadi pasal karet.

Karena itulah, pertama, saya mengusulkan pasal tersebut biarlah tetap, tidak usah direvisi. Pada tahun 2006 MK sudah mengabulkan bahwa Pasal 134 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, pasal penghinaan kepada presiden menjadi delik aduan, bukan delik umum seperti dulu. Jadi sebuah penghinaan menjadi kasus di pengadilan jika ada yang mengadukan. Jangan lupa, selain KUHP, negeri ini juga mempunyai UU ITE yang bisa menjerat siapa saja.

Nah, usul saya kedua adalah buatlah lembaga atau badan baru di luar negara (pemerintah) dan dibiayai sendiri oleh presiden sebagai pribadi. Badan atau Komisi Pengaduan Penghinaan Presiden (BP3 atau KP3). Lembaga ini tugasnya menilai apakah sebuah ujaran atau tulisan bisa dikategorikan menghina presiden atau tidak. Jika ternyata temuannya diduga menghina presiden, tugas berikutnya adalah mengadukan orang yang diduga menghina tadi ke bareskrim kepolisian. Ya cuma itu.

Lembaga itu idealnya dianggotai oleh pakar hukum pidana, polisi penyidik, jaksa penyidik, dan—ini penting: mantan pelaku penghina presiden. Dalam bahasa Jawa lembaga ini semacam “tumbak cucukan”. Lembaga yang kerjanya mengadu. Ya karena memang begitu, konsekuensi dari pasal penghinaan kepada presiden sebagai delik aduan. Dan untuk itu, saya bersedia mencari orang yang tepat dan bersedia duduk di sana. Cuma mencari lho.

Sedang asyik memikirkan ide itu, tahu-tahu saya ingat waktunya menjemput anak dari les di Kotabaru sudah tiba. Kopi hitam saya habiskan dulu. Sebelum pergi, saya memutuskan surat tersebut nanti tak usah dikirim ke Presiden Jokowi. Biar saya simpan saja.

Terakhir diperbarui pada 9 Februari 2018 oleh

Tags: gibrankaesangmkobor rakyatpasalpenghinaan presidenpijar indonesiaPRDrevisi kuhpruu kuhpSaracenwilson
Tri Agus S Siswowiharjo

Tri Agus S Siswowiharjo

Artikel Terkait

Sipil Harus Saling Jaga: Saat ini, Pemerintah Semakin Kelam MOJOK.CO
Esai

Sipil Harus Saling Jaga: Saat ini, Pemerintah Semakin Kelam dan Kita Hanya Punya Satu Sama Lain

25 Maret 2025
Prabowo-Gibran.MOJOK.CO
Esai

Pak Prabowo, Sebenarnya Apa, sih, yang Sampeyan Inginkan? Cuma Sekadar Pengin Jadi Presiden?

20 Februari 2025
Presidential Threshold, MK.MOJOK.CO
Aktual

Penghapusan Presidential Threshold adalah Langkah Maju Bagi Demokrasi

3 Januari 2025
Ketua Pukat UGM Jelaskan Kasus Jet Pribadi Kaesang yang Bakal Menyandera Jokowi Usai Lengser
Video

Ketua Pukat UGM Jelaskan Kasus Jet Pribadi Kaesang yang Bakal Menyandera Jokowi Usai Lengser

7 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.