Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Memberedel Pers Mahasiswa itu Baik

Prima Sulistya oleh Prima Sulistya
23 Oktober 2015
A A
pers mahasiswa
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Bapak Profesor Pendeta John A. Titaley, Th.D, yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, adalah orang baik. Buktinya, ia memberedel majalah Lentera yang dibuat oleh mahasiswanya sendiri.

Bukan saja baik kepada mahasiswanya, dalam hal ini pegiat Lembaga Pers Mahasiswa Lentera, ia juga memberi sumbangsih besar bagi pers mahasiswa (persma) se-Indonesia dengan membantu memecahkan masalah terbesar persma dua dekade terakhir: masalah sirkulasi.

Persma pernah mengalami masa jaya. Semasa Orde Baru, ketika kebebasan pers arus utama dikunci lewat SIUPP dan kontrol Departemen Penerangan, persma adalah media alternatif yang bersedia menaikkan berita-berita kritis. Dalam kasus penggusuran ketika Waduk Kedungombo dibangun, misalnya, sementara pers arus utama bungkam, persma justru terlibat dalam advokasi.

Reformasi membuat persma disorientasi. Dengan situasi negara yang semakin demokratis, dan pers arus utama tidak lagi dikontrol negara, apa peran yang mau persma mainkan? Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga hari ini.

Disorientasi tersebut sangat terasa sampai ke proses sirkulasi produk. Siapa kini yang mau membaca terbitan persma? Mereka bukan lagi alternatif. Bahkan angin berbalik. Kini mereka yang mengekor pers arus utama. Lihat saja edisi Lentera yang diberedel, plek dengan edisi khusus Tempo tahun lalu tentang tragedi 65—dari segi tema dan pilihan sampulnya.

Akibatnya, kerja sirkulasi majalah persma menjadi kerja berdarah-darah. Terlebih, mereka tak punya nama. Untuk terbit saja kembang-kempis. Kalau rutin, paling banter setahun sekali dua kali. Itu sudah pakai berantem dan ngambek-ngambekan.

Kualitas persma jelas bukan rujukan. Wong masih amatiran. Penulisnya baru belajar, karena ini tempat menempa diri. Mereka cuma punya stok penulis jelek, bagusnya baru setelah keluar. Eka kurniawan, misalnya, pernah dengar namanya sewaktu dia masih di Balairung UGM? Zen RS juga tidak mungkin punya follower puluhan ribu di Twitter kalau dia masih nyangkruk di sekre EKSPRESI UNY.

Karena persma adalah tempat belajar dan eksperimentasi, tidak hanya isi yang acak-adul. Kalau sedang kena sial punya layouter dan desainer buruk, sampulnya juga enggak karu-karuan. Atau, jangan coba-coba baca majalah persma yang agenda diskusi filsafatnya banyak. Saya hakulyakin, ketika membuka majalahnya, mulai dari headline sampai iklan, satu kata pun kita enggak akan mengerti. Beratnya ngalah-ngalahi filsuf posmo. Contohnya majalah Tegalboto yang menghasilkan manusia kayak Arman Dhani.

Sebagai barisan penjaga idealisme, pers mahasiswa juga kukuh mempertahankan majalah, salah satu produk cetak yang sedang dilindas zaman. Satu upaya menyiksa diri sekaligus menguji ketangguhan. Membuat produk cetak repotnya tiga kali lipat online. Ongkosnya juga besar. Kalau bukan divisi iklan dan event organizer yang harus pontang-panting cari uang, dana dari rektoratlah yang diharapkan. Jumlahnya pun masih harus tawar-menawar.

Itulah mengapa harga yang dipatok buat satu majalah mahasiswa suka tidak masuk akal: produk yang digarap berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, mentok di angka belasan hingga dua puluh ribuan. Lentera malah hanya dibanderol lima ribu rupiah.

Dengan kerepotan sebegitu berat, bayangkanlah bagaimana perasaannya Bapak Pendeta John. Bukankah kita diajarkan bahwa dosen adalah bapak dan ibu kita di kampus?

Memberedel Lentera adalah keputusan paling tepat yang diambil Bapak Pendeta John untuk membantu sirkulasi Lentera. Mungkin Bapak Pendeta sebelumnya terinspirasi dengan kisah pelarangan buku-buku Pram. Alangkah mulianya peringai Bapak yang mengikuti anjuran Bung Karno: jangan sekali-sekali melupakan sejarah.

Segera setelah kabar Lentera ditarik, saya dapat info satu tautan untuk mengunduh versi digitalnya. Sehari kemudian, server tautan itu down. Situs-situs lainnya langsung merespons dengan mengunggah sendiri di laman mereka. Bukankah ini bentuk paling konkret dari slogan “Kami ada dan terus berlipat ganda”? Lentera akhirnya berlipat ganda beneran. Sukses besar.

Tentu saja sukses itu hanya pantas dipersembahkan kepada Bapak Pendeta John seorang. Terima kasih kami haturkan kepada Bapak atas segala yang telah Bapak lakukan. Terutama tiga hal berikut ini:

Iklan

Pertama, kesediaan Bapak mencontohkan aplikasi streisand effect dalam menggenjot sirkulasi dan pemasaran produk cetak pers mahasiswa. (P.S: bisa dijadikan judul skripsi). Memang, Bapak bukanlah yang pertama. Kampus memberedel produk persmanya sendiri sudah seperti rutinitas. Setiap tahun terjadi. Tapi Bapak yang juara.

Kedua, kepedulian Bapak untuk membantu persma menyebarkan gagasan dan laporan. Karena jika Lentera tidak dibredel, meski sudah dikerjakan dengan darah dan doa, pastilah hanya akan teronggok di sudut gudang sebagai barang returan. Apa yang Bapak lalukan tentunya juga inspirasi bagi rektor-rektor lain.

Terakhir, karena membuat kami semua teringat sebuah puisi dari Taufiq Ismail, seorang penganjur teori Komunis Gaya Baru (KGB) yang beberapa hari lalu berpesan, di sebuah diskusi tentang kasus 65 di Frankfurt Book Fair, “semuanya harus dilupakan dan dikubur dalam-dalam”. Judul puisi itu, Takut 66, Takut 98.

Mahasiswa takut pada dosen

Dosen takut pada dekan

Dekan takut pada rektor

Rektor takut pada menteri

Menteri takut pada presiden

Presiden takut pada mahasiswa

Bapak John dan Dokter Hewan Taufiq, sekali lagi terima kasih.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: John A. TitaleyLenteraPers MahasiswaTaufiq Ismail
Prima Sulistya

Prima Sulistya

Penulis dan penyunting, tinggal di Yogyakarta

Artikel Terkait

karya lukis damar kurung masmundari mojok.co
Liputan

Lentera Damar Kurung Gresik dan Kisah Sang Maestro Masmundari

17 Februari 2022
170928 ESAI Agar Umat Tak
Esai

Agar Umat Islam Tak Lagi Galak dengan Kuminis

28 September 2017
Taufiq Ismail Menyelamatkan Kita dari Bahaya Laten Lagu Wajib
Esai

Taufiq Ismail Menyelamatkan Kita dari Bahaya Laten Lagu Wajib

30 Januari 2017
mahasiswa sastra
Esai

Betapa Tidak Enaknya Jadi Mahasiswa Sastra Indonesia

4 September 2016
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Warteg Singapura vs Indonesia: Perbedaan Kualitas Langit-Bumi MOJOK.CO

Membandingkan Warteg di Singapura, Negara Tersehat di Dunia, dengan Indonesia: Perbedaan Kualitasnya Bagai Langit dan Bumi

22 Desember 2025
Praja bertanding panahan di Kudus. MOJOK.CO

Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan

20 Desember 2025
Atlet pencak silat asal Kota Semarang, Tito Hendra Septa Kurnia Wijaya, raih medali emas di SEA Games 2025 Thailand MOJOK.CO

Menguatkan Pembinaan Pencak Silat di Semarang, Karena Olahraga Ini Bisa Harumkan Indonesia di Kancah Internasional

22 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel

23 Desember 2025
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wali Kota Agustina Wilujeng ajak anak muda mengenal sejarah Kota Semarang lewat kartu pos MOJOK.CO

Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang

20 Desember 2025
Olahraga panahan di MLARC Kudus. MOJOK.CO

Regenerasi Atlet Panahan Terancam Mandek di Ajang Internasional, Legenda “3 Srikandi” Yakin Masih Ada Harapan

23 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.