MOJOK.CO – Sudahlah, kalau berbenturan dengan soal praktis dan perut, kemungkinan nasionalisme untuk menang, tipis! Termasuk di Piala Dunia 2022.
Kata nasionalisme berasal dari nation dalam bahasa Inggris. Nation diserap dari kata nacion (Prancis kuno). Perancis kuno menyerap langsung dari bahasa Latin, nationem. Secara literal, selain arti terkait lainnya, kata nacion dan nationem mempunyai arti ‘birth: that which has been born’. Nationem berasal dari natus, past participle-nya nasci yang berarti ‘be born’. Dari sini akar kata noel (Prancis) yang berarti ‘hari Natal’.
Dari nasci jadilah nationalism. Kita paham kalau nasionalisme overdosis menjadi sumber dari formula imajinatif bernama “negara kekeluargaan,” di mana unsur-unsur nepotisme kekeluargaan berkubang. Rasionalisme dan profesionalisme masuk goa dulu.
Tantangan untuk nasionalisme
Tapi, politik nasionalisme dan turunannya patriotisme sedang mendapat tantangan serius dari Piala Dunia 2022 di Qatar yang, lucunya, merupakan kompetisi dunia antar-nation. Kita tahu, pada perhelatan besar pertandingan olahraga internasional, lagu-lagu kebangsaan selalu dikumandangkan. Kendati kita, atau setidaknya saya, tidak pernah benar-benar mengerti hal itu untuk apa. Atau apa gunanya. Karena di dalam Piala Dunia 2022 ini misalnya, dua lagu kebangsaan yang dinyanyikan, bisa membingungkan pemain, pelatih, dan penonton. Berikut beberapa contoh nyata yang berpotensi membuat nasionalisme berada di posisi yang bisa ditimbang-timbang, ditawar-tawar, atau lebih buruk lagi, ditertawakan.
Kalau kakak-adik Eden dan Thorgan Hazard berada di dalam satu timnas (Belgia), itu lumrah. Kerumitan bisa dihindari. Beda halnya dengan kakak adik Williams, Inãki dan Nico, di Piala Dunia 2022. Inãki, sang kakak, di timnas Ghana, Nico adiknya di timnas Spanyol. Walaupun mereka kompak di klub Spanyol, Atletico Bilbao.
Bagaimana bila Ghana bertemu Spanyol? Apa nggak bingung orang tua dan keluarga mereka untuk mendukung yang mana? Sang emak dan sang bapak, kalau kebetulan nonton di tribun, harus berbagi menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing anaknya, gitu? Harus ada pertemuan dan keputusan keluarga membahasnya.
Breel Embolo mungkin belum pernah membaca puisi Robert Frost “A Question,” entahlah. Dia kan, atlet, bukan penggemar sastra. Tapi biar saya kutipkan.
“Bisikan itu bertanya,
Lihatlah aku di bintang-bintang.
Katakan padaku sesungguhnya, wahai orang-orang bumi,
Bukankah semua luka pada jiwa dan raga belum seberapa untuk membayar sebuah kelahiran?”
Tidak melihat di mana ari-ari dikebumikan
Ketika membuat gol lawan Kamerun di Piala Dunia 2022, Embolo mengontrol ekspresinya. Merasa bersalahkah, dia? Dia yang tahu. Yang jelas, usai membuat gol itu, Embolo mengangkat kedua tangannya ke arah penonton, mengusap mukanya, dan menundukkan kepala di antara kerumunan pelukan para pemain Swiss.
Tak ada selebrasi tepuk dada sambil duduk merosot di lapangan atau “bersiu-siu” ala Ronaldo. Embolo ogah berselebrasi seperti itu. Dia malah seperti meminta maaf. Profesionalismenya sebagai pemain, diaduk-aduk.
Lahir di ibu kota Kamerun, Yaoundé, pada hari Valentine 14 Februari 1997, setelah mengikuti hijrah sang ibu ke Prancis lalu ke Basel, baru delapan tahun lalu, pada 2014 Embolo mendapat kewarganegaraan Swiss. Sebagai pesepakbola profesional, dia kemudian direkrut menjadi pemain timnas Swiss.
Nasionalisme hanya mengurus politik kebangsaan. Soal di mana ari-ari ditanam, tidak diurus nasionalisme.
Dasarnya imajinasi dan pikiran
Tata Martino, warga negara Argentina keturunan Italia. Kakek dan neneknya orang Italia Selatan. Sebagai pelatih utama timnas Meksiko di Piala Dunia 2022, di mana posisi nasionalistik mantan penyerang tengah timnas Argentina ini berada, ketika Meksiko berhadapan dengan Argentina kemarin? Lagu kebangsaan mana yang dia nyanyikan? Apakah dengan lidah yang kelu, dia menyanyikan lagu Himno Nacional Argentino? Atau dengan pikiran dan hati yang bingung ia nyanyikan Himno Nacional Mexicano? Atau dia diam saja? Mengetuk-ngetuk jari-jari tangannya di atas sisi kaki, sambil menyenandungkan Imagine-nya John Lennon?
Petinju Meksiko Canelo Alvarez mengirim ancaman serius kepada la Pulga, setelah melihat Messi menggerak-gerakkan jersey Meksiko dengan kakinya di lantai ruang ganti. Alvarez, yang tidak tahu duduk perkara dan terbawa suasana dukungannya ke timnas Meksiko, marah dan mengirim cuitan ancaman ke Messi.
Tapi setelah mengetahui duduk perkaranya, termasuk bahkan penjelasan dari kapten timnas Meksiko, Andres Guardado, yang menukar jerseynya dengan Messi, Alvarez menyadari dan meminta maaf secara terbuka. Kita sudah sering melihat betapa naif dan spontannya rasa nasionalisme itu diekspresikan, bukan?
Karena dasar dari nasionalisme adalah imajinasi dan pikiran, sementara sepak bola terdiri dari hal-hal nyata seperti bikin gol dan kebobolan, mengatur serangan, takel dan cedera patah tulang, maka selalu ada situasi membingungkan ketika imajinasi dan hal-hal nyata itu dicampuradukkan. Ya, Piala Dunia 2022 yang sudah diatur dan diurus sedemikian rupa jelimet dengan detail hal-hal praktis, ditambah dukungan teknologi paling mutakhir, tetap saja menyisakan kebingungan. Imajinasi tidak selalu bisa bekerja efektif di ranah praktis.
Pemandangan di Indonesia
Para penonton di tanah air lebih ugal-ugalan lagi. Walaupun bisa saja merupakan eskapisme dari tidak pernahnya PSSI ikut Piala Dunia. Kalau cuma nonton Piala Dunia 2022 di gardu ronda semata berdasar kesenangan atau membunuh rasa bosan karena susah tidur, fine. Tapi kalau sudah sampai mengibarkan bendera nasional negara lain di area publik, harus atas izin pemerintah. Ada aturan yang mengaturnya. Kalau cuma dipajang di dalam kamar tidur sih, antum nggak bakal diapa-apain. Dan coba bayangkan, andai di bendera atau jersey Argentina dan Brazil ada gambar palu aritnya. Ada yang berani mengibarkan atau mengenakannya?
Lalu kenapa di beberapa tempat bendera-bendera nasional negara lain bisa berjejer berkibar, bahkan di jalan-jalan dan halaman rumah, yang saya duga tanpa izin dari pemerintah? Juga jersey-jersey beberapa timnas yang dikenakan di mana-mana? Nah, di sini imajinasi nasionalistik harus tunduk patuh pada hukum dagang “lu jual gua beli.” Sudahlah, kalau berbenturan dengan soal praktis dan perut, kemungkinan nasionalisme untuk menang, tipis!
Belum lagi kalau melihat penonton dan pemain yang berdoa sebelum pertandingan. Doa berharap timnasnya menang, kan, berarti juga mendoakan timnas lawan kalah, bukan? Terus kalau timnas lawan juga berdoa, bagaimana Tuhan akan menyikapinya? Lagian, memangnya Tuhan teritorial? Ngawur! Urusan lapangan diurus di lapangan aja. Jangan bawa-bawa ke ranah teologis.
Enaknya gimana?
Tapi ada dua entitas yang diuntungkan dan bisa tetap merasa di posisi aman dari tudingan selama Piala Dunia 2022. Di tangga teratas ada para Drakorean dan K-Popian, para penggemar Drakor dan K-Pop harga banderol. Para Drakorean dan penggemar K-Pop, yakin, pasti mendukung timnas Korsel. Itu dukungan yang sudah menjadi kode identifikasi keberadaan mereka: “ada dan terus menggejala dan menggila.”
Di tangga kedua, para penjudi. Kepedulian penjudi dalam bertaruh hanya satu dan satu-satunya: timnas mana yang bakal menang! Para petaruh di Jogja akan dengan senang hati saja bekerja keras menghafalkan lagu kebangsaan Korsel dan menyanyikannya dengan lidah dan mulut yang ngos-ngosan, kalau mereka tahu sebelumnya Korsel akan menang lawan Spanyol. Pasti! Hidup adalah sebuah perjudian. Maka bila tak berjudi, Anda tidak hidup.
Ibu Megawati sebagai ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pernah dengan gencar mensosialisasikan riset Pancasila dan salam Pancasila. Dan beliau merupakan salah satu tokoh yang jelas paling concern dengan nasionalisme. Terus bagaimana beliau melihat dan menyikapi para penggila bola ugal-ugalan di Piala Dunia 2022 ini?
“Life is a tragedy to those who feel and a comedy to those who think.” (Molière)
BACA JUGA Tentang Nasionalisme dan Tuhan yang Ternyata Tinggal di Bali dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Saleh Abdullah
Editor: Yamadipati Seno