MOJOK.CO – Kita jarang melihat kematian dari sudut pandang mereka yang mengalami. Boleh jadi mereka sangat berbahagia dengan kepergian itu.
Cerita tentang ungkapan kebahagiaan ketika melepas kematian seseorang sudah lama saya dengar, terutama dari kisah para sufi. Banyak dari mereka yang merindukan saat-saat ketika ajal mereka dijemput oleh Malaikat Izrail. Kiai saya di pondok dulu sambil bercanda mengatakan, sesekali mungkin perlu dicoba pada saat menyampaikan kabar kematian di spiker masjid tidak didahului dengan bacaan istirja tetapi dengan hamdalah.
“Alhamdulillah, telah meninggal dunia dengan tenang Bapak Fulan bin Fulan pada hari ini di rumah sakit….”
Kalau saja usulan itu benar-benar dilakukan mungkin akan menimbulkan kehebohan karena dianggap tidak senonoh. Tetapi sejauh ini saya belum pernah mendengar ucapan itu dipraktikkan dalam kehidupan nyata, kecuali pada upacara melepas keberangkatan Kiai Najib Abdul Qodir, pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta beberapa saat yang lalu. Ungkapan selamat itu disampaikan oleh Gus Yahya Cholil Staquf.
“… Kami semua mengucapkan manghayubagya, nderek sugeng tindak dan turut berbahagia atas tindaknya Syaikhina al-Murabbi al-ruh K.H.R. Najib Abdul Qadir. Kami yakin… ini adalah waktu yang sudah berpuluh tahun beliau tunggu. Sejak berpuluh tahun yang lalu ketika beliau memutuskan berkhidmad kepada Al-Qur’an….”
Andai bukan beliau yang mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, mungkin akan muncul banyak kritik atau cemooh sebagai orang yang tak tahu adab atau tata krama. Lha wong di momen berduka dan banjir air mata kok malah mengucapkan selamat berbahagia.
Terhadap kematian, kita selalu menanggapinya dengan ungkapan belasungkawa. Barangkali karena kita melihatnya dari sudut pandang orang yang ditinggalkan. Kita bersedih karena berpisah dengan orang yang kita cintai, orang yang kita hormati, kita jadikan sandaran hidup dan pegangan. Kita berharap orang-orang itu senantiasa ada di sekitar kita, menemani dan menjadi sumber kebahagiaan bagi kita. Maka ketika orang-orang itu wafat, kita merasa ada bagian dalam diri kita yang terluka. Kita bersedih.
Kita jarang melihat kematian dari sudut pandang mereka yang mengalami. Boleh jadi mereka sangat berbahagia dengan kepergian itu, seperti disampaikan oleh Gus Yahya di atas. Bahwa orang yang meninggal itu sudah lama menantikan saat-saat itu, di saat mereka bertemu dengan sang Kekasih sejati.
Jalaluddin Rumi, misalnya, mengibaratkan kematian sebagai perkawinan. Orang Jawa pun sebenarnya juga sering mengaitkan perkawinan dengan kematian, tapi dalam jenis hubungan yang berbeda. Misalnya, jika seseorang mimpi atau diimpikan menikah biasanya akan ditafsirkan akan meninggal dan itu artinya kabar duka.
Sebaliknya bagi Rumi, kematian disimbolkan dengan perkawinan karena di sana ada pesta bahagia. Dalam perkawinan ada persatuan antara kekasih dengan yang dikasihinya. Perkawinan melahirkan kebahagiaan tiada tara. Karenanya, ia bukanlah tragedi atau peristiwa yang layak ditangisi. Rumi banyak membuat puisi-puisi indah yang merefleksikan kematian.
Ketika engkau mengunjungi kuburku, batu nisanku akan terlihat menari-nari
Jangan datang ke kuburku tanpa tambur, saudaraku!
Sebab orang yang berduka tidak pantas datang ke hidangan Allah.
Atau dengarkan bait-bait Rumi lainnya:
Setelah meninggalkan manusia, tak diragukan lagi engkau akan menjadi malaikat
Lalu engkau akan meninggalkan bumi dan menuju surga
Melampaui malaikat, menjadi lautan yang setiap tetesnya akan lebih besar daripada lautan Oman!
Kematian, bagi Rumi, menjadi peristiwa yang begitu memesona dan membahagiakan, sehingga ia meminta orang yang berziarah ke makamnya tidak lupa membawa tambur.
Di Gresik, seingat saya, pengumuman kematian, meski diawali dengan kata innalillah, selalu diikuti dengan pernyataan yang juga indah dan menenangkan yang berbunyi “intiqal ila rahmatillah”. Kematian disebut sebagai intiqal (‘berpindah’) ke rahmat Allah. Jika orang yang meninggal sejatinya sedang berpindah ke rahmat Allah, bukankah kita seharusnya berbahagia?
Dalam intiqal juga kita disadarkan bahwa sesungguhnya tidak ada perpisahan yang benar-benar terjadi. Seseorang hanya sedang berpindah dari satu dimensi ke dimensi lain dan kemudian bertemu kembali. Seperti saat kita berpindah dari alam sebelumnya ke alam yang sekarang ini lalu kelak kembali meneruskan perjalanan ke alam lain.
Maka ketika Gus Yahya memberikan sambutannya, pernyataannya di hadapan para ribuan pelayat saat itu bagi saya kemudian terdengar sebagai pertanyaan, “Sudahkah kematianmu layak kau rayakan?”
Janganlah berbahagia, membayangkan saja saya masih takut. Rasanya, saya bahkan lebih sering menghindari pikiran mengenai kematian ketimbang mulai berkemas untuk menyiapkan perjalanan. Bahkan di saat kabar kematian sering datang bergelombang seperti sekarang ini, saya masih kerap memperdaya diri dengan menganggap bahwa kematian adalah masalah orang lain.
Saya ingat Hasan al-Basri yang sering menyindir sikap kita terhadap kematian. Kita sering kali berlaku seperti sapi di tempat jagal. Meski tahu pedang sudah dihunus dan tempat jagal sudah disiapkan, sapi tak pernah sekalipun berhenti mengunyah makanan.
Etapi, sapi kan binatang.
BACA JUGA Perihal Kematian yang Menyenangkan dan Mengecewakan dan esai-esai Muhammad Zaid Su’di lainnya.