MOJOK.CO – Independensi dan perjuangan Aisyah terhadap kedudukan perempuan sempat membuatnya dinilai sebagai feminis pada tafsir era kekinian.
Saat membaca ini kalian mungkin sudah bosan dengan lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang kontroversial itu. Tapi berkat kontroversi itu pula mau nggak mau kita jadi lebih banyak belajar soal ummul mukmin ini.
Mereka yang tidak rela kemuliaan Aisyah direduksi sebatas romantisme pasutri dan visualisasi fisik berbondong-bondong membela muruah beliau sebagai salah satu ilmuwan utama Islam. Dalam beberapa kajian Aisyah bahkan disebut sebagai feminis karena aktivitasnya yang kerap menggugat hadis-hadis misoginis di zamannya.
Misalnya protes Aisyah terhadap hadis riwayat Abu Hurairah yang menyebut perempuan sebagai salah satu sumber kesialan (HR Bukhari) serta jadi salah satu sebab batalnya sholat (HR Ibnu Majah).
Dengan keluasan ilmu dan pengalamannya, Aisyah meluruskan hadis-hadis itu. Bahwa anggapan perempuan sebagai salah satu sumber kesialan adalah penjelasan Nabi soal cara pandang jahiliyah, bukan penilaian Rasulullah terhadap perempuan (HR Baihaqi).
Sedangkan anggapan perempuan sebagai pembatal salat diprotes Aisyah dengan keteladanan langsung dari Rasulullah yang tetap melaksanakan salat dengan posisi Aisyah tidur melintang di hadapan beliau (HR Abu Daud).
Pengalaman keperempuanan Aisyah juga menjadikannya penyambung suara perempuan kepada Nabi. Alurnya begitu khas: perempuan mendatangi Aisyah, curhat, lalu beliau menyampaikannya pada Rasulullah untuk dicarikan solusi yang responsif gender.
Dalam buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya Dr. Faqihuddin idolaqu, banyak sekali contoh periwayatan seperti itu. Misalnya ketika istri-istrinya Saad bin Abi Waqqash—iya, nggak cuma satu—curhat ke Aisyah untuk menempatkan jenazah suaminya di masjid agar bisa mereka salati (HR Muslim).
Atau ketika ada perempuan datang dengan dua anak perempuan dan sambat tentang susahnya hidup mereka, lalu Nabi menguatkan hati perempuan itu dengan mengatakan anak-anak perempuan yang diasuhnya dengan baik akan menjadi perisai penghalangnya dari api neraka (HR Bukhari).
Kisah-kisah itu mungkin biasa saja bagi perempuan hari ini, tetapi memahaminya dalam konteks masyarakat Jahiliyah saat itu akan membuat kita mak-jegagik.
Bagaimana Aisyah telah berhasil menjadi duta perempuan. Bahkan dengan kepandaiannya beliau tidak segan mengkritik Sahabat yang keliru dalam periwayatan hadis. Independensi dan perjuangan terhadap kedudukan perempuan inilah yang membuatnya dinilai sebagai feminis.
Tapi, sebentar, masak sih Sayyidah Aisyah itu feminis?
Awalnya saya juga berpikir beliau itu feminis (soalnya kan semua pejuang perempuan hari ini seperti wajib digelari begitu biar berkemajuan, hehe). Lalu karena ngefans saya coba menggali lebih dalam tentang beliau.
Dan ternyataaa… jika benar-benar mengikuti “serial protes hadis” sebenarnya akan dengan mudah kita temui bahwa Aisyah tidak hanya protes terhadap hadis-hadis tentang perempuan yang salah dipahami sehingga dilabeli misoginis.
Dalam kitab Maqayyish Naqdul Mutun yang berisi kumpulan kritik mantan eh matan (konten) hadis, Aisyah tercatat banyak mengkritik hadis perihal hukum Islam secara umum.
Ketika Ibnu Umar yang menyampaikan seorang mayat disiksa dalam kubur karena tangis keluarganya, Aisyah meluruskan redaksional Nabi SAW terkait dua peristiwa tersebut yang tidak memiliki hubungan kausalitas, serta menguatkannya dengan dalil seorang tidak akan menanggung dosa akibat perbuatan orang lain (HR Abu Daud).
Atau ketika Ibnu Umar menyampaikan larangan menggunakan minyak wangi saat ihram, Aisyah memiliki pandangan berlainan dengan keteladanan langsung dari Nabi SAW (HR Bukhari).
Uniknya, ketika menyampaikan kritik-kritik tersebut sekaligus meluruskannya, Aisyah tidak serta merta membenci periwayat hadis hanya karena yang menyampaikan adalah ulama laki-laki sehingga auto-misoginis terhadap perempuan.
Ketika menggugat hadis Ibnu Umar, misalnya, dengan humble-nya Aisyah justru berkata, “Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), sungguh ia tidak berdusta, namun mungkin beliau lupa atau keliru.”
Kok bisaaa?
Ya karena sebagai sesama muslim Aisyah meyakini kepribadian Sahabat yang tidak mungkin sengaja berdusta, terlebih hingga melakukan diskriminasi terstruktur atas nama Nabi.
Mungkin fakta ini mengecewakan sister fillah yang melihat sosok Aisyah sebagai feminis penggugat hadis-hadis misoginis. Tapi begitulah kenyataannya, ukhti….
Bahkan sebenarnya dalam tradisi keilmuan Islam, istilah “hadis misoginis” pun dipertanyakan. Soalnya nama-nama yang katanya meriwayatkan hadis dengan perspektif diskriminatif terhadap perempuan (sebut saja, misal, Abu Hurairah) dalam kenyataannya justru banyak meriwayatkan hadis tentang kedudukan mulia perempuan dalam Islam.
Contohnya dari keseluruhan hadis di buku 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam (yang terinspirasi dari buku babon Pembebasan Perempuan-nya Syaikh Abu Shuqqa), 47 di antaranya diriwayatkan oleh lelaki, termasuk Abu Hurairah yang sering dilabeli misoginis oleh netijen dalam kisah-kisah penggugatan Aisyah.
Abu Hurairah sendiri meriwayatkan setidaknya tujuh hadis khusus hak-hak perempuan, termasuk hadis yang sangat hits terkait penghormatan kepada ibu tiga kali lebih utama dibanding ayah (HR Muslim).
Kalau pengalaman khas Aisyah sebagai perempuan dianggap menjadikannya lebih otoritatif untuk meriwayatkan hadis-hadis tentang perempuan, sorry to say hal ini bertolak belakang dengan fakta sejarah.
Para Sahabat periwayat hadis, sekalipun tidak memiliki pengalaman ketubuhan sebagai perempuan, dengan objektif juga berperan sebagai penyambung suara perempuan terkait hukum syariat.
Misalnya hadis tentang perempuan yang bekerja ke luar rumah ketika dicerai suaminya, kemudian digosipin para tetangga, lalu Rasulullah membolehkannya bekerja untuk bersedekah dan berbuat baik dengan harta itu (HR Muslim).
Hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, seorang lelaki, yang menyampaikan curhat tentang… tantenya.
Intinya apa, sih?
Jadi begini, Ukh, kalau sampai di sini kamu masih berpikir Aisyah mengkritik hadis karena jiwa feminisnya terusik oleh pemikiran misoginis. Atau karena beliau perempuan sehingga memiliki pengalaman khas yang otentik untuk berbicara tentang perempuan. Sayang sekali, kamu harus kecewa.
Dengan mempelajari kaidah dan sejarah kritik hadis secara santuy dan proper, kita akan sadar kalau gugatan yang dilakukan Aisyah semata karena beliau manusia terdidik yang wajib meluruskan kesalahan sesama intelektual. Tak peduli kesalahan itu berasal dari lelaki atau perempuan.
Kita mungkin kecewa dengan imej Aisyah yang direduksi sebagai istri romantis semata. Tapi ikutan mereduksi kompleksitas intelektualisme beliau dengan melabeli falsafah tertentu yang dalam beberapa sisi bertentangan dengan laku hidupnya juga bukan sikap yang bijak dong, iya kan?
BACA JUGA Pahitnya Menjadi Feminis Nanggung yang Tidak Diakui atau tulisan Esty Dyah Imaniar lainnya.