Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nyatanya, Malioboro Kini Tak Lagi Sama dan Kata “Istimewa” bagi Jogja Hanya Pencitraan Semata

Wiji Nurasih oleh Wiji Nurasih
9 Desember 2024
A A
Malioboro, Jogja, aksi demo.MOJOK.CO

Ilustrasi - Curhat Pedagang di Titik Nol Kilometer Malioboro yang Kerap Diintimidasi Preman: Dilarang Jualan, Kursi Dibuang, sampai “Diharamkan” Bantu Demonstran (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Tidak lagi sama

Sebentar. Saya memandangi Malioboro lebih lekat. Rasanya ada yang berbeda. Lebih tertata, tapi kurang bernyawa. Aura ingar-bingarnya terasa hampa. Entah ke mana perginya gairah Malioboro yang dulu pernah kulihat, kesemrawutan yang “nyeni”. 

Saking “nyeni”-nya, konon seniman-seniman legendaris juga lahir di sini. Ah ya! Belakangan saya baru paham bahwa nyawa Malioboro adalah para pedagang kaki lima dan seniman-seniman jalanan. Sekarang, napas mereka tersengal-sengal, bahkan meregang nyawa, tersekap dalam petak-petak kecil lapak Teras 1 dan Teras 2. 

Para PKL tergusur dari ruang hidupnya semula, tepian Jalan Malioboro yang memanjang. Hilangnya Covid tidak lantas mengusir raut muram bisnis-bisnis mereka. Setiap hari, masih ada pengunjung yang memadati Malioboro. Namun, rasa sepi sunyi masih menyeruak di antara para PKL yang tidak lagi seberuntung dulu untuk beramah-tamah langsung dengan turis di sepanjang jalan itu.  

Penggusuran yang mengentak Jogja

Semalam hujan gerimis, aura Jogja kian romantis. Di cuaca dingin itu, kehangatan menyeruak di ruang tengah Kantor AJI Yogyakarta. 

Di sana duduk-duduk sejumlah orang, termasuk Pak Arif Usman, yang akan menjadi tokoh penting dalam catatan ini. Udar rasa yang disampaikan oleh Pak Arif mengesankan bahwa pemindahan para PKL dari selasar ke teras-teras sungguh bukan perkara yang bisa dijelaskan dengan sederhana. 

Proses pemindahan terkesan tiba-tiba dan mengejutkan. “Warga tidak pernah disosialisasi, langsung eksekusi, bahkan pakai kekerasan,” ungkapnya. 

Penggusuran PKL dilakukan secara paksa dan sepihak, yang mengakibatkan ketercerabutan masyarakat dari tempat tinggal dan pekerjaan. Padahal, “Malioboro ada dan diperhitungkan karena keberadaan PKL,” kenang Pak Arif. 

Mulanya para PKL juga merasa tenang-tenang saja. Ya maklum, pada 2006, Gubernur DIY menyampaikan bahwa PKL tidak akan pernah digusur. Tapi, nyatanya….

Di balik teras, para pedagang hanya bisa mengenang kehidupan mereka yang sejahtera, dulu. Sekarang, mereka jauh dari kata sejahtera. Penggusuran atau bahasa halusnya “relokasi, sterilisasi, dan penataan” PKL ini telah merenggut hak atas ekonomi masyarakat yang bertopang hidup di Malioboro. 

Relokasi mestinya mensejahterakan, tapi ini hanyalah eksekusi kehendak penguasa yang memaksa. Rakyat harus manut sama pemerintah meskipun pemerintah tidak mempedulikan hak-hak PKL. Bahkan Paguyuban Tri Dharma PKL Malioboro dianggap seolah tidak ada. 

Pemerintah Jogja seakan-akan tidak menganggap keberadaan Paguyuban Tri Dharma PKL. Apalagi untuk menjadi jalan jalan sosialisasi terkait relokasi. Komnas HAM pun mengamini bahwa “pelibatan” dalam proses relokasi para pedagang ini sama sekali tidak ada. 

Adanya intimidasi

Orang-orang bahkan dibuat semakin resah karena diintimidasi untuk menandatangani kontrak relokasi. Jika tidak bersedia, mereka diancam lapaknya akan hilang. Proses relokasi ini harapannya berkeadilan. Tapi pada kenyataannya, satu per satu pedagang di panggil untuk menandatangani pernyataan yang tidak menguntungkan pedagang. 

Keinginan para pedagang itu sederhana. “Jadikan kami mitra dalam membuat kebijakan, jangan jadikan kami korban dari kebijakan. Kebijakan yang ada bukannya membantu rakyat miskin kota, tetapi malah menambah jumlah rakyat miskin kota. Kita tertipu dengan Jogja Istimewa yang ayem, tentrem, tapi di baliknya ada penindasan,” ungkap Pak Arif Usman. Demi citra wisata, suara orang-orang yang tertindas juga tidak dimunculkan. 

Demi “Sumbu Filosofi”

Penataan Sumbu Filosofi yang sudah resmi menjadi warisan budaya oleh UNESCO menjadi dalih penggusuran para PKL. “Apakah kalau ada PKL di sana, sumbu filosofi tidak sah?” Bambang Muryanto mencoba mengulik. 

Iklan

Filosofi manunggaling kawula lan Gusti, menurutnya, harus membuat pemimpin andhap asor (rendah hati), tapi malah dipakai untuk menggusur. Sekarang, suasana Malioboro yang seperti dulu justru bisa ditemukan di Koridor Gatot Subroto, Solo. 

Kota-kota lain seperti Purwokerto dan Purworejo jika diamati baik-baik, berusaha menghadirkan nuansa Malioboro di alun-alunnya. Malioboro dihadirkan di mana-mana, Malioboro yang asli justru kehilangan jati diri dan ruhnya oleh beauty-fikasi yang tidak humanis.

Kiranya dengan cerita-cerita itu, kita tidak lagi kalap degan branding istimewanya Jogja yang berseliweran di media sosial. Pasalnya itu hanyalah pencitraan demi memuluskan pariwisata. Kemajuan pariwisata memang bagus, tapi tidak cukup jika kita hanya terperangkap pesona-pesona permukaan tanpa mempedulikan penindasan-penindasan yang ada di baliknya.

Penulis: Wiji Nurasih

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Tangis Pedagang Teras Malioboro 2 di Samping Dagangan yang Tak Laku dan pandangan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 10 Desember 2024 oleh

Tags: jalan malioboroJogjamalioboroMalioboro Jogjateras malioboro
Wiji Nurasih

Wiji Nurasih

Mbak-mbak penutur dialek Ngapak yang belum tahu kapan akan meninggalkan Jogja.

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
elang jawa.MOJOK.CO

Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS

13 Desember 2025
bantul, korupsi politik, budaya korupsi.MOJOK.CO

Raibnya Miliaran Dana Kalurahan di Bantul, Ada Penyelewengan

16 Desember 2025
Teknisi dealer Yamaha asal Sumatera Utara, Robet B Simanullang ukir prestasi di ajang dunia WTGP 2025 MOJOK.CO

Cerita Robet: Teknisi Yamaha Indonesia Ukir Prestasi di Ajang Dunia usai Adu Skill vs Teknisi Berbagai Negara

16 Desember 2025
Saat banyak teman langsungkan pernikahan, saya pilih tidak menikah demi fokus rawat orang tua MOJOK.CO

Pilih Tidak Menikah demi Fokus Bahagiakan Orang Tua, Justru Merasa Hidup Lebih Lega dan Tak Punya Beban

15 Desember 2025

Video Terbaru

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

Perjalanan Aswin Menemukan Burung Unta: Dari Hidup Serabutan hingga Membangun Mahaswin Farm

10 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.