MOJOK.CO – Sebagai mahasiswa UIN sejati, saya menolak disebut konservatif dan fundamentalis. Plis, capek nih ketawanya.
Penelitian Setara Institute terhadap sejumlah kampus besar di Indonesia belum lama ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung paling konservatif dan fundamentalis dalam beragama.
Membaca temuan penelitian itu, respons pertama saya adalah berusaha menahan ketawa. Temuan tersebut lucu bukan main, bahkan jauh lebih lucu daripada lawakan Sule, tulisan Agus Mulyadi, dan kebijakan-kebijakan Anies Baswedan. Lha bagaimana tidak, sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya merasa simpulan di atas adalah olok-olok belaka, alih-alih suatu temuan ilmiah.
Pertama, bayangan saya soal konservatif adalah orang-orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, sebagaimana akar kata “konservatif” berasal dari bahasa Latin conservare yang berarti “melestarikan, menjaga, memelihara, mengamalkan”. Jika dikaitkan dengan agama, orang yang konservatif dalam beragama berarti yang memelihara nilai-nilai tradisional agama.
Tapi, coba kita lihat mahasiswa-mahasiswa UIN (setidaknya mahasiswa UIN Bandung tempat saya kuliah). Asal kalian tahu, kebanyakan mereka itu kemampuan bahasa Arabnya anjlok, mylov. Kayaknya, malah lebih jago onta, deh, ketimbang mereka. Boro-boro memelihara dan mengamalkan nilai-nilai tradisional dalam beragama, baca kitab kuning aja nggak bisa.
Lha terus, konservatifnya dari mana???
Ini yang membuat saya bertanya-tanya. Mereka itu, konservatif saja belum. Sebutan “konservatif” malah terkesan terlalu mewah bagi mereka. Coba saja tanya satu-satu para mahasiswa itu arti “konservatif”, belum tentu pada ngerti! Xixixi~
Kalau boleh saya kasih anjuran kepada Kakak-Kakak Peneliti, sebutan yang tepat buat mereka adalah mahasiswa pemalas, bukan konservatif. Hehe.
Apa buktinya? Silakan main-main ke kampus saya, lalu survei tempat mana yang paling sepi. Saya hakulyakin tiga besar tempat tersepi sekampus adalah perpus, perpus, dan perpus. Sekalipun ada yang berkunjung ke perpus kampus, paling-paling karena terpaksa memenuhi tuntutan tugas. Hampir nggak ada yang datang ke perpus dengan tulus.
Sedih sih, ya. Nasib perpus di kampus saya mirip-mirip nasib kamu yang didatengin cuma pas doi lagi butuh. Pedih.
Namun, apa hanya itu tolok ukur saya menyebut mahasiswa UIN “pemalas”? Tentu ada lagi yang lain. Saya sebut satu lagi indikasinya: malasnya para mahasiswa bikin makalah dan Power Point.
Sebagai mahasiswa yang sering menjadi martir kemalasan sobat-sobat yang katanya konservatif padahal nggak ada konservatif-konservatifnya pisan itu, jelas saya merasa tersinggung kalau ada yang menyebut mereka konservatif. Konservatif kok pemalas? Konservatif macam apa itu?!
Sejujurnya, kalau temuan Setara Institute yang menyebutkan bahwa mahasiswa UIN konservatif benar adanya, saya bakal senang dan sujud syukur. Mereka akan merawat nilai-nilai tradisional dalam beragama. Mereka akan mengamalkan hadis soal seruan untuk bersemangat dalam mengerjakan suatu hal dan larangan menzalimi orang lain.
Kalau mereka konservatif, niscaya saya nggak bakal misuh-misuh lagi dalam hati: mahasiswa kampus Islam kok malas ngerjain tugas, sekalinya ngerjain tugas cuma modal copas!!!
Kedua, katanya, mahasiswa UIN adalah mahasiswa fundamentalis. Hah, fundamentalis?! Sebentar-sebentar, coba kita dudukkan perkaranya dulu.
Secara singkat, fundamentalis atau fundamentalisme berarti sebuah paham yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Pertanyaannya: apa iya mahasiswa UIN begitu? Fundamentalis dalam beragama?
Duh, yang benar saja, Maliiiih! Bagaimana bisa sebuah kampus dengan mahasiswa yang lebih getol meramaikan konser Fiersa Besari dan Danilla daripada pengajian di masjid kampus dikatakan fundamentalis dalam beragama? Ini lawaknya pekok abis.
Saya ceritain, nih, peristiwa yang terjadi bulan Ramadan kemarin. Pada suatu malam, bersamaan dengan waktu salat Tarawih, ramailah satu sudut di kampus saya. Selidik punya selidik, ternyata saat itu bakal ada konser Jason Ranti. Ini ironis, karena pada saat yang sama, di masjid kampus sedang dilaksanakan salat Tarawih berjamaah.
Yang begini mau disebut fundamentalis? Fundamentalis beragama di era post-truth kali, ya. Eh, gimana, gimana?
Saya nggak percaya mahasiswa UIN itu fundamentalis. Perkara ada satu-dua mahasiswa yang berhaluan ke ormas terlarang atau pro-ISIS itu nggak lantas menjadikan mahasiswa UIN pantas menyandang sebutan fundamentalis. Itu sedikit banget, kok, dan nggak laku di UIN.
Yang laku di UIN itu mahasiswi-mahasiswi geulis khas kota Kembang kegiatan-kegiatan organisasi ekstra kampus macam HMI-PMII dan yang indie-indie. Memang, sih, ada acara ala-ala kajian “hijrah”, tapi ya nggak laris-laris amat. Lagi pula dampak kajian sejenis itu nggak signifikan.
Lha gimana mau signifikan kalau temanya itu-itu aja? Taaruf lagi, nikah muda lagi, taaruf lagi, nikah muda lagi, begitu seterusnya sampai Pak Prabowo mencalonkan diri jadi presiden lagi.
Pernah ada satu acara keagamaan di kampus saya yang luar biasa ramainya. Ribuan orang memenuhi aula tempat diadakannya acara tersebut. Mayoritas mereka tentu saja kalangan mahasiswa UIN. Acara apakah itu? Apakah acara yang diisi ustaz-ustaz berpaham konservatif dan fundamentalis? Apakah acara intoleran berupa kiat-kiat menjadi teroris?
Bukan. Acara itu adalah acara Maiyah yang diisi oleh Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib. Lalu, apakah kamu mau menyebut Cak Nun itu seorang konservatif dan fundamentalis? Ya kaleee~
Pada akhirnya, menyebut mahasiswa UIN sebagai konservatif dan fundamentalis cuma bikin saya mau ketawa saja. Setelah selesai ketawa—itu pun karena sudah nggak kuat menahannya—saya akan masuk ke dalam masjid kampus, mengambil toa, lalu berteriak:
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Sobat UIN yang semoga dicintai Allah, saya ingin memberitahukan kepada kalian semua, bahwasanya ada yang menyebut kalian sebagai mahasiswa konservatif dan fundamentalis. Sekian dan terima kasih.”
Saya bayangkan para mahasiswa yang lebih sering ngopi ketimbang ngaji itu akan mikir sesaat, untuk kemudian ikut tertawa terbahak-bahak, lalu nyanyi bareng lagu “Doa Sejuta Umat”:
Ya Tuhan lindungi aku selalu, Ya Tuhan jagalah aku selalu.
Dari penelitian yang ngawur, label yang menyimpang, dosen bangkot yang mesum.
Yang aku butuh IPK tinggi, berikan aku IPK tinggi
Yeeeee ahhhhhhhh~