MOJOK.CO – Seorang mahasiswa harus diskors selama 6 bulan oleh Dekan Fakultas Hukum Unnes karena laporkan Rektor Unnes ke KPK.
Kalau saja Presiden Joko Widodo tiba-tiba dapat ilham untuk melakukan reshuffle menteri dalam waktu dekat ini, maka nama yang paling saya jagokan adalah Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof. Fathur Rokhman.
Kepantasan bapak-bapak yang satu ini untuk menyandang jabatan menteri bukan saja karena memiliki nama Fathur yang artinya bersemangat, terutama di bidang pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, tetapi blio juga mewarisi semangat api layaknya Uchiha Itachi yang rela mengorbankan reputasi dirinya untuk melindungi sesuatu yang dianggap berharga.
Kalau Itachi rela melakukan pembantaian klan Uchiha hanya untuk melindungi Desa Konoha dari pertumpahan darah dengan konsekuensi namanya menjadi buruk di mata seluruh penduduk, sekaligus siap dimasukkan ke dalam daftar ninja buronan tingkat S, maka Rektor Unnes layak disandingkan dengan kepahlawanan Itachi yang mulia tanpa pamrih tersebut.
Bagaimana tidak, Pak Rektor tanpa pamrih kepada siapa pun, termasuk kepada Jokowi, rela “merumahkan” salah seorang mahasiswa yang telah melaporkan dirinya ke KPK atas dugaan terjadinya korupsi dengan alasan menjaga nama baik kampus.
Pak Rektor Unnes sendiri sudah membantah tudingan tersebut. Menurutnya, Unnes selalu mendapat perolehan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK dalam setiap tata kelola keuangan sebelum-sebelumnya.
Masalah-masalah yang menimpa Rektor Unnes ini jelas bukan persoalan sepele. Sebab, siapa pun yang menjadi rektor, maka harus membuktikan bahwa dirinya amat sayang dengan kampusnya, menyayangi kampus juga berarti menyayangi mahasiswa yang ada di dalamnya.
Praktis, hal ini adalah sebentuk kepahlawanan sebagaimana yang dilakukan Itachi, di mana Bapak Rektor siap menjadi sorotan. Dan memilih untuk melindungi nama baik kampus dibanding mengakomodir mahasiswa yang hanya seorang saja itu merupakan alasan yang sangat masuk akal.
Bukankah kepentingan yang lebih besar harus diutamakan daripada kepentingan yang lebih kecil?
Wah, selain menguasai ilmu budaya yang menjadi fokus kajiannya pada program S-3 di UGM, Bapak ini juga piawai menggunakan kaidah fikih dalam kepemimpinannya yang mengatakan bahwa, “Kepentingan umum harus diprioritaskan daripada kepentingan individu (al-maslahah al-ammah muqaddam ‘ala al-maslahah al-fardiyyah).”
Dan tentu saja saya sepakat dengan Pak Rektor Unnes, kalau nama baik kampus yang bebas dari citra buruk dugaan perbuatan korupsi lebih berharga ketimbang seorang mahasiswa yang punya komitmen dalam pencegahan korupsi.
Lah iya, ingat kata pepatah, “Karena nila setitik, rusak susu sebelangga.”
Nah, hanya karena dugaan korupsi yang dilakukan satu orang, maka rusak pula citra satu kampus.
Bayangkan saja nasib mahasiswa Unnes lainnya yang kerjaannya hanya duduk, dengar, diam dan tidak peduli dengan nasib kampusnya tiba-tiba ditanya sama ibu kos, “Rektormu kena masalah lagi a?”
Nah, bayangkan saudara-saudara, mau dijawab apa coba? Anda kira tidak malu jadi mahasiswa yang tidak tahu apa-apa dengan kampusnya sendiri? Anda kira tidak malu punya kampus yang bahan pergunjingan se-Indonesia raya?
Itu baru mahasiswa, bagaimana dengan dosen? Bayangkanlah dosen fakultas hukum tempat si mahasiswa belajar sedang asyik mengisi seminar tentang korupsi pasca-reformasi yang terdesentralisasi tidak hanya mengalir ke daerah-daerah, tapi juga institusi pemerintahan. Coba pikir saja, jadi nggak tuh seminar? Apalagi kalau diselenggarakannya di Unnes.
Maka, kebodohan macam apa yang mengira kalau citra kampus itu bukan kemaslahatan umum?
Tidak, saya tidak bermaksud mengatakan kalau pemberantasan korupsi itu tidak penting. Tetapi saya hanya ingin Anda bijak dalam menilai kesalehan Pak Rektor Unnes, apalagi kita tahu kalau sudah banyak sekali pihak yang hendak merusak reputasinya, sekaligus merusak reputasi Unnes pula.
Beberapa waktu yang lalu, bangsa ini hampir sepakat mengira kalau sebagian isi dari disertasi doktoral yang dilakukan oleh Pak Rektor Unnes merupakan hasil plagiasi. Media sekelas Tirto.id pernah meneliti disertasi tersebut dan ada beberapa bagian yang diduga hampir mirip dengan dua skripsi mahasiswa bimbingan Pak Rektor sendiri.
Meskipun berbagai pembuktian telah menunjukkan kalau tudingan itu sangat masuk akal, tetap saja pada akhirnya kebenaran mengalahkan kebatilan, tuduhan itu tidak jadi terbukti karena ada SK yang dikeluarkan oleh Rektor UGM soal disertasi tersebut. Tanpa perlu penjelasan mendetail dan berbusa-busa, tiba-tiba kasus ini selesai begitu saja.
Apalagi setelah pelapor yang menduga adanya plagiasi ini mendadak diperkarakan balik oleh Rektor Unnes dengan ancaman pasal pencemaran nama baik. Alhamdulillah, selesai dengan cara yang arif nan bijak sekali dengan cara kekeluargaan. Harta yang paling berharga bagi pejabat-pejabat Indonesia di luar sana.
Kita tentu patut bersyukur telah hidup sezaman dengan Pak Rektor Unnes yang begitu tegar menghadapi gelombang kebencian. Dan uniknya, kok bisa ada orang yang tidak suka kepada beliau? Ngapain sih? Dengki ya?
Ah, tapi itu tidak penting. Karena yang terpenting adalah semangat api yang ada dalam tubuhnya, dan bagaimana ia melindungi reputasi diri dan nama baik kampusnya.
Barangkali, berkaitan dengan semangat anti-korupsi yang sering diteriakkan itu, Anda akan kesusahan menerima logika Bapak Rektor yang harus “merumahkan” seorang mahasiswa lewat Dekan Fakultas karena mengadukan korupsi adalah hak masyarakat dan dilindungi UU.
Apalagi gara-gara perbuatannya itu, lagi-lagi Pak Rektor Unnes harus berurusan dengan masyarakat setelah sikapnya ditentang oleh KPK. Tapi tenang saja Pak Rektor Unnes, untuk urusan ini biar saya yang menjelaskan.
Begini ya masyarakat, Semarang itu terkenal dengan paradigma hukum progresif. Alhasil, kampus-kampus Semarang seperti Unnes adalah ahli waris paradigma yang dicetuskan Sartjipto Rahardjo itu.
Nah, hukum progresif itu adalah hukum yang mengritik positivisme yang mengakar dalam tradisi berhukum Indonesia, dengan membawa tawaran menarik yakni “melampaui bunyi teks hukum” sebab keadilan tidak tersandera dalam teks.
Oleh karena itu, perbuatan Rektor Unnes yang telah melampaui teks hukum yang melindungi si mahasiswa tersebut merupakan tindakan progresif yang beliau lakukan. Tidak peduli dilindungi UU, terabas saja dulu, kira-kira begitu.
Toh, keadilan itu terletak pada nama baik, bukan pada perjuangan seorang mahasiswa.
Ingat, nama baik Pak Rektor Unnes itu memengaruhi nama baik kampus, nama baik kampus memengaruhi nama baik Semarang, nama baik Semarang memengaruhi nama baik Indonesia.
Maka, ketika Pak Rektor Unnes telah berjuang sepanjang itu demi bangsa dan negara, tentu saja jabatan menteri sangat layak diberikan padanya. Apalagi Rektor Unnes terbukti kokoh dan paling “hehehe” di antara rektor-rektor lainnya.
BACA JUGA Bukan Undip atau Unnes, Kampus Paling Unggul di Semarang Adalah UIN Walisongo dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.