Lulusan Jurusan Psikologi Itu Nggak Spesial: Lapangan Pekerjaan yang Linier Sedikit, Gajinya Juga Kecil

Lulusan Sarjana Psikologi Itu Nggak Spesial MOJOK.CO

Ilustrasi Lulusan Sarjana Psikologi Itu Nggak Spesial. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKalau bisa, jangan ambil Jurusan Psikologi. Mending kuliah yang peluang kariernya lebar dan gajinya lebih besar. Menjadi Sarjana Psikologi itu nggak spesial-spesial amat.

Masa SMA adalah waktu di mana saya kali pertama berdebat cukup sengit dengan bapak. Topiknya terbilang serius, karena berkaitan dengan masa depan saya. Tentang, saat kuliah, jurusan apa yang akan saya ambil, pelajari, sekaligus tekuni. Perdebatan ini bukan tanpa dasar.

Bapak sangat ingin sekali saya mengambil kesempatan jalur undangan dari kampus negeri yang punya nama besar di Bogor, inisialnya IPB. Toh, kala itu, saya tinggal masuk dan mengurus administrasi saja, pikir bapak. Sedangkan saya pribadi, lebih memilih, menyukai, dan maunya kuliah di Jurusan Psikologi, di mana saja kampusnya. Pokoknya, tidak bisa tidak. Harus Psikologi.

Perdebatan akhirnya dimenangkan oleh saya dengan satu syarat dari bapak. Saya harus bersungguh-sungguh dan berprestasi selama kuliah. Syarat tersebut berhasil saya penuhi. Bahkan, mau bekerja sebagai apa nantinya, sudah saya pikirkan sejak tingkat awal. 

Tentu, pilihannya jatuh kepada pekerjaan yang linier dengan Jurusan Psikologi. Posisi yang, kebanyakan dicita-citakan oleh seseorang yang menyandang gelar S.Psi: menjadi seorang HRD, rekruter, atau apa saja yang masih di lingkup serupa. Dan tentunya di perusahaan bonafide.

Baca halaman selanjutnya: Jurusan yang ternyata nggak sesuai angan dan harapan.

Menjadi lulusan Jurusan Psikologi nggak sesuai angan

Setidaknya, angan itu bertahan hingga saya lulus kuliah. Sampai akhirnya saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa, setelah mendapat gelar S.Psi, adalah salah satu masa tersulit dalam merealisasikan cita-cita dan harapan sebelumnya dalam bekerja—menjadi seorang HRD.

Jika kalian masih belum menemukan benang merahnya, akan coba saya jelaskan. Sederhananya begini, adik-adik.

Setelah bekerja dalam kurun waktu nyaris selama 9 tahun, saya menyadari satu hal. Kebutuhan HRD di banyak perusahaan itu selalu tidak banyak. Entah untuk posisi generalis, rekruter, atau lainnya yang masih berkaitan. Tidak berhenti sampai di situ. Berbanding terbalik dengan premis awal, kandidat untuk menjadi seorang HRD itu selalu banyak. Iya, banyak betul.

Agar semakin jelas, biar saya pertegas lagi

Pertama, nggak perlu jauh-jauh. Teman satu angkatan dari kampus kalian, ketika lulus, suka atau tidak, sedikit banyaknya akan menjadi kompetitor untuk merebut posisi HRD. Belum lagi senior kalian di 1, 3, bahkan 5 tahun sebelumnya. Itu baru yang dari satu kampus. Belum lagi dari kampus lainnya yang punya beragam kompetensi.

Bahkan, karena alasan tersebut, sahabat saya dari Jurusan Psikologi sampai berucap, “Setelah lulus, aku nggak mau kerja jadi HRD. Saingannya banyak, salah satunya kamu.” Akhirnya, dia memilih untuk menjadi dosen di kampus.

Kedua, punya gelar S.Psi dan saklek pengin jadi HRD itu sangat sulit. Sebab, ada 2 jurusan lain yang menjadi pesaing berat. Di antaranya adalah lulusan Jurusan Hukum (yang bisa diandalkan untuk memahami peraturan UU sekaligus praktiknya) dan Jurusan Manajemen yang lekat sekali dengan personalia, SDM, atau sebangsanya.

Bahkan saat ini, lulusan IT pun bisa jadi seorang HRD (Technical Recruiter) dengan nominal gaji yang kompetitif dan mentereng! Belum lagi perusahaan lain yang mencantumkan persyaratan “semua jurusan” untuk posisi HRD. Menyebalkan, tapi kenyataannya demikian.

Jadi, saat ini, siapa saja bisa menjadi seorang HRD, bukan hanya lulusan Jurusan Psikologi saja. Lantaran, kompetensinya bisa didapat melalui learning by doing, kursus, atau banyak pelatihan. Saingannya makin banyak, kan? Hehehe. Kecuali untuk hal yang spesifik seperti asesmen alat tes, akan menjadi jatah dari lulusan Jurusan Psikologi (utamanya Psikolog).

Ketiga, gaji untuk posisi staf HRD dan turunannya ini tergolong kecil dibanding posisi lain. Kalian bisa cek secara mandiri. Cukup cek rata-rata gaji untuk posisi HRD di beberapa job portal atau googling. Hasilnya, nggak akan jauh dari UMR.

Apakah hanya bisa pasrah?

Itu baru gambaran ketika bekerja di sektor formal saja. Belum lagi di sektor informal. Menjadi influencer kesehatan mental, misalnya. Apakah semuanya berasal dari Jurusan Psikologi? Nggak juga. Banyak yang bermodalkan pengalaman, jumlah followers, dan/atau ketahanan konten. Siapa saja, jika ada kemauan, bisa melakukan hal ini.

Di sisi lain, entah bisa dikatakan sebuah anomali atau tidak, para lulusan Jurusan Psikologi justru disenangi oleh banyak user untuk ditempatkan di posisi marketing, sales, telemarketing, atau sebangsanya. Sebab, para user menilai bahwa, sense dan intuisi yang dimiliki lulusan Jurusan Psikologi dalam berinteraksi dengan manusia cukup bisa diandalkan. Salah satunya, ilmu mengenai observasi dan wawancara untuk menarik para calon pelanggan. Hal ini pada akhirnya saya ketahui setelah bekerja menjadi sebagai rekruter dan berdiskusi dengan banyak User.

Tapi, ya, di lapangan, seberapa banyak, sih, lulusan Jurusan Psikologi yang secara sukarela bekerja di posisi marketing? Lantas, apakah lulusan Psikologi harus pasrah dengan kenyataan yang ada untuk menjadi seorang HRD atau bekerja secara linier?

Tentu tidak. Secara teknis, bagi kalian yang masih ngotot bekerja secara linier—sesuai latar belakang sebagai S.Psi—ada beberapa alternatif. Selain menjadi HRD generalis atau rekruter, kalian bisa bekerja untuk divisi Learning & Development, HCBP (Human Capital Business Partner), Talent Development, sebagai Headhunter, atau Culture.

Apakah saya menyesal?

Lulusan Psikologi sangat kuat ditempatkan di beberapa posisi tersebut. Apalagi jika kalian sudah punya pengalaman di area HRD sekira 3 sampai 5 tahun. Soal gaji, sudah pasti akan di atas, bahkan jauh melampaui UMR. Ditambah dengan benefit keseluruhan yang sangat menggiurkan.

Sebagian dari kalian boleh menggunakan ucapan, “Semua tergantung mindset dan skill yang dimiliki,” sebagai tameng. Tapi, maaf saja, Bung. Hal tersebut tidak bisa menyembunyikan beberapa realitas yang terjadi di lapangan mengenai betapa makin sulitnya lowongan kerja sebagai HRD dan gaji yang hanya mepet UMR.

Jika ditanya, “Apakah saya menyesal menjadi seorang lulusan Jurusan Psikologi dan bekerja sebagai HRD?” Sejujurnya, sih, tidak sepenuhnya. Apalagi setelah menggeluti profesi ini selama beberapa tahun. Tentu ada penyesuaian benefit secara keseluruhan, posisi yang lebih baik, dan jenjang karir yang semakin terbuka.

Kendati demikian, dengan segala plus-minusnya tentang Jurusan Psikologi dan perkembangan kariernya, dengan keyakinan penuh dan agar kesalahan yang sama tidak menurun, kelak saya akan berpesan kepada anak saya. 

“Saat kuliah nanti, kalau bisa jangan ambil Jurusan Psikologi. Coba yang lain saja. Yang peluang kariernya lebih terbuka lebar, bisa eksplore banyak, dan gajinya lebih besar.” Sebab, pada akhirnya, lulusan Sarjana Psikologi nggak spesial-spesial amat. Hehehe.

Penulis: Seto Wicaksono

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 8 Macam Derita Anak Psikologi dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI

Exit mobile version